Sejak meninggalkan stasiun Xining, jendela kereta api yang melaju, berhias panorama alam yang elok dipandang mata.
Tak seorang pun penumpang di dalam gerbong kelima pada rangkaian kereta jurusan Lanzhou-Urumqi menurunkan tirai meskipun siang itu sinar terik matahari menembus kaca jendela.
Di antara mereka sibuk dengan kamera ponselnya masing-masing untuk mengabadikan deretan puncak pegunungan yang memutih berselimutkan salju. Kontras dengan lerengnya yang menghijau oleh tetumbuhan.
Lazimnya, bulan Juni di China sudah memasuki musim panas. Pada Sabtu (5/6/2021) siang itu suhu udara yang terpampang di layar monitor kereta menunjukkan angka 27 derajat Celcius.
Bukan salah musim juga jika puncak pegunungan Qinlian bersalju pada musim panas ini. Pemandangan itulah yang menyita perhatian para penumpang kereta api cepat tersebut.
Bagi orang yang baru pertama kali menyusuri jalan darat di wilayah barat daya China itu tentu sangat mengesankan karena kereta api cepat bernomor D55 yang ditumpangi dari Lanzhou ke Zhangye ternyata harus memutar melewati Xining.
Lanzhou dan Zhangye merupakan dua kota dalam satu provinsi, yakni Gansu. Sementara Xining adalah Ibu Kota Provinsi Qinghai.
"Mari kita turun sejenak, biar bisa merasakan suasana Qinghai," ajak Sekretaris Jenderal ASEAN-China Center (ACC) Chen Dehai yang menyertai perjalanan ANTARA di Provinsi Gansu pada 3-9 Juni 2021 itu saat kereta berhenti beberapa menit di Stasiun Xining.
Kereta terus melanjutkan perjalanan menuju Urumqi, Ibu Kota Daerah Otonomi Xinjiang, setelah menurunkan penumpang di Stasiun Zhangye saat jarum jam menunjuk angka 12 lebih.
"Caca Boli....!" teriak seorang gadis melambaikan tangan pada kereta yang terus melaju hingga tertelan ujung cakrawala.
Caca Boli merupakan ucapan anak muda kekinian di China saat berpisah dengan teman atau kekasihnya diikuti dengan gerakan tangan seperti sedang mengelap kaca jendela.
Sementara beberapa penumpang menuruni anak tangga stasiun dengan kopernya masing-masing, meninggalkan emplasemen.
Mungkin karena jam makan siang sudah lewat sehingga hidangan yang disuguhkan pemilik rumah makan halal di kota itu hampir semuanya tandas.
"Jangan ragu, semua makanan ini halal," kata Hui Ming, pemilik restoran halal tak jauh dari Stasiun Zhangye.
"Kiblatnya di sana," ujarnya sambil menunjuk arah barat di satu ruangan kecil yang berfungsi sebagai ruang kerja sang pemilik restoran.
Selain kecil, ruangan itu juga tidak terlalu rapi untuk ukuran seorang bos.
Namun adanya tumpukan sajadah menandakan ruang kerja itu biasa digunakan untuk shalat. Di China sangat tidak lazim sebuah restoran menyediakan tempat shalat, sekali pun restoran halal.
Meskipun demikian, para pelayan sigap manakala ada pengunjung berkewarganegaraan asing membutuhkan tempat untuk shalat.
Setidaknya ANTARA dua kali mendapatkan perlakuan seperti ini di Provinsi Gansu yang banyak dihuni etnis minoritas Muslim Hui.
Dua tahun lalu di sebuah restoran halal di pinggir jalan raya di pegunungan Lanzhou pelayannya juga memberikan tempat shalat di salah satu ruangan yang sepertinya juga dimanfaatkan oleh para karyawannya yang Muslim.
Baca juga: Menapaki jejak Uighur di bukit Yarghul
Trauma Maraton Maut
Cuaca cerah saat delegasi ASEAN dan China meninggalkan pusat Kota Zhangye menuju Kabupaten Sunan pada Minggu (6/6) pagi.
Struktur administrasi kewilayahan di China, pemerintah kabupaten berada satu tingkat di bawah pemerintah kota. Wali kota atau Shizhang lebih dominan kekuasaannya dibandingkan dengan bupati atau Xianzhang.
Di Kabupaten Sunan inilah etnis minoritas Yugur berada. Etnis ini menghuni wilayah pegunungan Qinlian yang berbagi wilayah di antara Gansu, Qinghai, dan Tibet.
Jangan sampai salah. Etnis Yugur berbeda dengan etnis Uighur yang menghuni Daerah Otonomi Xinjiang. Bedanya lagi, Yugur memeluk agama Buddha Tibet, sedangkan Uighur beragama Islam. Konon, Yugur merupakan orang-orang Uighur yang beragama Buddha yang melarikan diri ke Gansu sejak Kerajaan Khaganate Uighur tumbang pada tahun 840 Masehi.
Secara fisik, Yugur lebih mirip bangsa Mongol atau Tibet, sedangkan Uighur agak keturki-turkian atau kearab-araban.
Bus yang ditumpangi para delegasi sempat tidak kuat menanjak saat memasuki wilayah perbukitan Qinlian.
"Bagaimana kalau kita turun dulu?" usul seorang penumpang yang tidak mendapatkan respons apa pun dari sopir karena memang posisi bus sedang di tikungan lembah yang curam.
Dengan tenang sopir memundurkan busnya pelan-pelan sampai di ujung jalan yang agak rata. Dimatikannya mesin sejenak, lalu dinyalakannya lagi.
Bus pun mulus menaklukkan tanjakan menikung menjelang waduk besar yang dari kejauhan airnya berwarna hijau memikat mata agar tak lepas memandangnya.
Setelah tiga jam perjalanan, bus berhenti di desa terakhir di lereng Qinlian. Pada siang hari yang panas itu, semua penumpang mengenakan jaket pelindung udara dingin sebelum melanjutkan perjalanan dengan kendaraan yang lebih kecil.
Berkelompok-kelompok domba dan lembu di atas padang savana tak menghiraukan keriuhan di dalam mobil.
Kuda dan keledai berkejaran di hamparan hijau nan luas. Burung-burung pun berterbangan di atasnya.
Persis di ujung savana, jalan sudah tidak lagi beraspal dan terjal. Tak ada lagi tumbuhan kecuali bunga-bunga edelweis yang tetap abadi meskipun tak terawat.
Mentari pada siang itu juga sudah tidak lagi menampakkan wajahnya, terhalang oleh kabut.
Puncak di atas ketinggian 3.830 meter dari permukaan laut itu dinamai Ba'ersi Xueshan yang dalam bahasa Yugur adalah gunung suci bersalju. Zhang Xiaoping, penduduk setempat yang membuka jalur menuju puncak yang saat ini dikenal dengan nama Bars Snow itu.
"Sejak saya dan teman-teman menemukan jalur ini pada 2013 lalu, banyak orang berdatangan," ujar pria Yugur berusia 57 tahun yang hobi mendaki itu.
Di puncak Bars Snow terpasang bendera doa yang mudah dijumpai di Tibet atau puncak Himalaya. Benderanya kecil-kecil, lima warna berbeda terdiri dari merah, putih, hijau, biru muda, dan kuning. Dipasang mirip umbul-umbul tujuh belasan, namun setiap ujungnya dipertemukan pada di satu titik hingga menyerupai piramida.
Dua perempuan etnis Yugur berdoa sejenak di depan bendera tersebut sebelum diajak foto bersama anggota delegasi.
Dinding perbukitan salju tidak lagi terlihat karena tertutup kabut yang makin tebal. Beberapa delegasi dari negara-negara ASEAN hanya bisa foto-foto dengan latar belakang kabut, bukan salju seperti yang diidam-idamkannya.
Dua sampai tiga orang harus mendapatkan bantuan oksigen setelah mengalami kesulitan bernapas akibat tipisnya udara di puncak Bars Snow. Ambulans berikut tim medis memang sudah dipersiapkan sejak dari keberangkatan di pos lembah desa.
Pemerintah Provinsi Gansu sangat sigap agar tragedi maraton maut di Kota Baiyin dua pekan sebelumnya tidak terulang.
Meskipun masih dalam satu provinsi, Kota Baiyin dan Kabupaten Sunan berbeda wilayah. Baiyin di timur laut, sedangkan Sunan di barat laut. Namun, keduanya sama-sama di puncak gunung.
Sedikitnya 21 peserta lomba maraton 100 kilometer di Baiyin pada 22 Mei 2021 tewas dan delapan lainnya cedera setelah cuaca tiba-tiba berubah drastis.
Baca juga: Menembus Ombak Melewati Badai, Tiongkok-Indonesia Masuki Babak Baru
Sebelum Bars Snow benar-benar gelap oleh kabut tebal, pejabat pendamping dari Pemprov Gansu dan Pemkab Sunan menginstruksikan para delegasi segera turun.
Baru beberapa menit mobil delegasi meninggalkan kawasan puncak, badai es datang yang didahului hujan deras dari arah samping.
Mungkin karena kemiringan jalan yang curam sehingga tetesan hujan menyamping.
Disusul bongkahan-bongkahan es sebesar ibu jari yang menghujani dari segala arah, termasuk bagian kaca depan mobil. Bongkahan es di seluruh permukaan mobil itu perlahan luruh seiring dengan gerakan mobil yang berguncang di atas jalan terjal .
Ada yang senang merasakan fenomena alam seperti itu, namun sebagian lagi khawatir kalau-kalau mobil melaju tidak terkendali, apalagi jurang menganga di kanan-kiri.
Sopir yang memang warga setempat sudah terbiasa dengan situasi itu sehingga sebagian penumpang merasa aman.
Setelah satu jam menuruni medan curam dan menikung, akhirnya sampai juga di pos pemberhentian desa terakhir tadi.
Tiga perempuan berpakaian adat Yugur menyambut setiap anggota delegasi dengan mengalungkan selendang warna putih dan membimbingnya menuju rumah-rumah tenda khas Tibet.
Di situ sudah tersedia berbagai jenis makanan, minuman, dan buah-buahan lokal. Daging-dagingan seperti sapi, kambing, dan ayam menjadi pelengkap mi dan roti gandum. Tidak ada nasi karena di Kabupaten Sunan tidak ada sawah.
Ramuan teh dan jahe yang direbus dengan Coca-Cola sedikit membuat badan terasa hangat. "Ini minuman khas orang Yugur," kata seorang tokoh adat setempat di dalam tenda jamuan mengajak tamunya bersulang.
Di sela-sela jamuan, ketiga perempuan Yugur tadi menembang sambil menyuguhkan secawan arak putih kepada beberapa anggota delegasi diplomat dan jurnalis ASEAN sampai pesta makan siang pada sore hari itu berakhir.
Dari ujung jalan desa, puncak Bars Snow samar-samar terlihat setelah awan hitam tersibak perlahan. Namun tampak kesepian setelah sekian lama tidak ada lagi orang-orang yang datang.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
Tak seorang pun penumpang di dalam gerbong kelima pada rangkaian kereta jurusan Lanzhou-Urumqi menurunkan tirai meskipun siang itu sinar terik matahari menembus kaca jendela.
Di antara mereka sibuk dengan kamera ponselnya masing-masing untuk mengabadikan deretan puncak pegunungan yang memutih berselimutkan salju. Kontras dengan lerengnya yang menghijau oleh tetumbuhan.
Lazimnya, bulan Juni di China sudah memasuki musim panas. Pada Sabtu (5/6/2021) siang itu suhu udara yang terpampang di layar monitor kereta menunjukkan angka 27 derajat Celcius.
Bukan salah musim juga jika puncak pegunungan Qinlian bersalju pada musim panas ini. Pemandangan itulah yang menyita perhatian para penumpang kereta api cepat tersebut.
Bagi orang yang baru pertama kali menyusuri jalan darat di wilayah barat daya China itu tentu sangat mengesankan karena kereta api cepat bernomor D55 yang ditumpangi dari Lanzhou ke Zhangye ternyata harus memutar melewati Xining.
Lanzhou dan Zhangye merupakan dua kota dalam satu provinsi, yakni Gansu. Sementara Xining adalah Ibu Kota Provinsi Qinghai.
"Mari kita turun sejenak, biar bisa merasakan suasana Qinghai," ajak Sekretaris Jenderal ASEAN-China Center (ACC) Chen Dehai yang menyertai perjalanan ANTARA di Provinsi Gansu pada 3-9 Juni 2021 itu saat kereta berhenti beberapa menit di Stasiun Xining.
Kereta terus melanjutkan perjalanan menuju Urumqi, Ibu Kota Daerah Otonomi Xinjiang, setelah menurunkan penumpang di Stasiun Zhangye saat jarum jam menunjuk angka 12 lebih.
"Caca Boli....!" teriak seorang gadis melambaikan tangan pada kereta yang terus melaju hingga tertelan ujung cakrawala.
Caca Boli merupakan ucapan anak muda kekinian di China saat berpisah dengan teman atau kekasihnya diikuti dengan gerakan tangan seperti sedang mengelap kaca jendela.
Sementara beberapa penumpang menuruni anak tangga stasiun dengan kopernya masing-masing, meninggalkan emplasemen.
Mungkin karena jam makan siang sudah lewat sehingga hidangan yang disuguhkan pemilik rumah makan halal di kota itu hampir semuanya tandas.
"Jangan ragu, semua makanan ini halal," kata Hui Ming, pemilik restoran halal tak jauh dari Stasiun Zhangye.
"Kiblatnya di sana," ujarnya sambil menunjuk arah barat di satu ruangan kecil yang berfungsi sebagai ruang kerja sang pemilik restoran.
Selain kecil, ruangan itu juga tidak terlalu rapi untuk ukuran seorang bos.
Namun adanya tumpukan sajadah menandakan ruang kerja itu biasa digunakan untuk shalat. Di China sangat tidak lazim sebuah restoran menyediakan tempat shalat, sekali pun restoran halal.
Meskipun demikian, para pelayan sigap manakala ada pengunjung berkewarganegaraan asing membutuhkan tempat untuk shalat.
Setidaknya ANTARA dua kali mendapatkan perlakuan seperti ini di Provinsi Gansu yang banyak dihuni etnis minoritas Muslim Hui.
Dua tahun lalu di sebuah restoran halal di pinggir jalan raya di pegunungan Lanzhou pelayannya juga memberikan tempat shalat di salah satu ruangan yang sepertinya juga dimanfaatkan oleh para karyawannya yang Muslim.
Baca juga: Menapaki jejak Uighur di bukit Yarghul
Trauma Maraton Maut
Cuaca cerah saat delegasi ASEAN dan China meninggalkan pusat Kota Zhangye menuju Kabupaten Sunan pada Minggu (6/6) pagi.
Struktur administrasi kewilayahan di China, pemerintah kabupaten berada satu tingkat di bawah pemerintah kota. Wali kota atau Shizhang lebih dominan kekuasaannya dibandingkan dengan bupati atau Xianzhang.
Di Kabupaten Sunan inilah etnis minoritas Yugur berada. Etnis ini menghuni wilayah pegunungan Qinlian yang berbagi wilayah di antara Gansu, Qinghai, dan Tibet.
Jangan sampai salah. Etnis Yugur berbeda dengan etnis Uighur yang menghuni Daerah Otonomi Xinjiang. Bedanya lagi, Yugur memeluk agama Buddha Tibet, sedangkan Uighur beragama Islam. Konon, Yugur merupakan orang-orang Uighur yang beragama Buddha yang melarikan diri ke Gansu sejak Kerajaan Khaganate Uighur tumbang pada tahun 840 Masehi.
Secara fisik, Yugur lebih mirip bangsa Mongol atau Tibet, sedangkan Uighur agak keturki-turkian atau kearab-araban.
Bus yang ditumpangi para delegasi sempat tidak kuat menanjak saat memasuki wilayah perbukitan Qinlian.
"Bagaimana kalau kita turun dulu?" usul seorang penumpang yang tidak mendapatkan respons apa pun dari sopir karena memang posisi bus sedang di tikungan lembah yang curam.
Dengan tenang sopir memundurkan busnya pelan-pelan sampai di ujung jalan yang agak rata. Dimatikannya mesin sejenak, lalu dinyalakannya lagi.
Bus pun mulus menaklukkan tanjakan menikung menjelang waduk besar yang dari kejauhan airnya berwarna hijau memikat mata agar tak lepas memandangnya.
Setelah tiga jam perjalanan, bus berhenti di desa terakhir di lereng Qinlian. Pada siang hari yang panas itu, semua penumpang mengenakan jaket pelindung udara dingin sebelum melanjutkan perjalanan dengan kendaraan yang lebih kecil.
Berkelompok-kelompok domba dan lembu di atas padang savana tak menghiraukan keriuhan di dalam mobil.
Kuda dan keledai berkejaran di hamparan hijau nan luas. Burung-burung pun berterbangan di atasnya.
Persis di ujung savana, jalan sudah tidak lagi beraspal dan terjal. Tak ada lagi tumbuhan kecuali bunga-bunga edelweis yang tetap abadi meskipun tak terawat.
Mentari pada siang itu juga sudah tidak lagi menampakkan wajahnya, terhalang oleh kabut.
Puncak di atas ketinggian 3.830 meter dari permukaan laut itu dinamai Ba'ersi Xueshan yang dalam bahasa Yugur adalah gunung suci bersalju. Zhang Xiaoping, penduduk setempat yang membuka jalur menuju puncak yang saat ini dikenal dengan nama Bars Snow itu.
"Sejak saya dan teman-teman menemukan jalur ini pada 2013 lalu, banyak orang berdatangan," ujar pria Yugur berusia 57 tahun yang hobi mendaki itu.
Di puncak Bars Snow terpasang bendera doa yang mudah dijumpai di Tibet atau puncak Himalaya. Benderanya kecil-kecil, lima warna berbeda terdiri dari merah, putih, hijau, biru muda, dan kuning. Dipasang mirip umbul-umbul tujuh belasan, namun setiap ujungnya dipertemukan pada di satu titik hingga menyerupai piramida.
Dua perempuan etnis Yugur berdoa sejenak di depan bendera tersebut sebelum diajak foto bersama anggota delegasi.
Dinding perbukitan salju tidak lagi terlihat karena tertutup kabut yang makin tebal. Beberapa delegasi dari negara-negara ASEAN hanya bisa foto-foto dengan latar belakang kabut, bukan salju seperti yang diidam-idamkannya.
Dua sampai tiga orang harus mendapatkan bantuan oksigen setelah mengalami kesulitan bernapas akibat tipisnya udara di puncak Bars Snow. Ambulans berikut tim medis memang sudah dipersiapkan sejak dari keberangkatan di pos lembah desa.
Pemerintah Provinsi Gansu sangat sigap agar tragedi maraton maut di Kota Baiyin dua pekan sebelumnya tidak terulang.
Meskipun masih dalam satu provinsi, Kota Baiyin dan Kabupaten Sunan berbeda wilayah. Baiyin di timur laut, sedangkan Sunan di barat laut. Namun, keduanya sama-sama di puncak gunung.
Sedikitnya 21 peserta lomba maraton 100 kilometer di Baiyin pada 22 Mei 2021 tewas dan delapan lainnya cedera setelah cuaca tiba-tiba berubah drastis.
Baca juga: Menembus Ombak Melewati Badai, Tiongkok-Indonesia Masuki Babak Baru
Sebelum Bars Snow benar-benar gelap oleh kabut tebal, pejabat pendamping dari Pemprov Gansu dan Pemkab Sunan menginstruksikan para delegasi segera turun.
Baru beberapa menit mobil delegasi meninggalkan kawasan puncak, badai es datang yang didahului hujan deras dari arah samping.
Mungkin karena kemiringan jalan yang curam sehingga tetesan hujan menyamping.
Disusul bongkahan-bongkahan es sebesar ibu jari yang menghujani dari segala arah, termasuk bagian kaca depan mobil. Bongkahan es di seluruh permukaan mobil itu perlahan luruh seiring dengan gerakan mobil yang berguncang di atas jalan terjal .
Ada yang senang merasakan fenomena alam seperti itu, namun sebagian lagi khawatir kalau-kalau mobil melaju tidak terkendali, apalagi jurang menganga di kanan-kiri.
Sopir yang memang warga setempat sudah terbiasa dengan situasi itu sehingga sebagian penumpang merasa aman.
Setelah satu jam menuruni medan curam dan menikung, akhirnya sampai juga di pos pemberhentian desa terakhir tadi.
Tiga perempuan berpakaian adat Yugur menyambut setiap anggota delegasi dengan mengalungkan selendang warna putih dan membimbingnya menuju rumah-rumah tenda khas Tibet.
Di situ sudah tersedia berbagai jenis makanan, minuman, dan buah-buahan lokal. Daging-dagingan seperti sapi, kambing, dan ayam menjadi pelengkap mi dan roti gandum. Tidak ada nasi karena di Kabupaten Sunan tidak ada sawah.
Ramuan teh dan jahe yang direbus dengan Coca-Cola sedikit membuat badan terasa hangat. "Ini minuman khas orang Yugur," kata seorang tokoh adat setempat di dalam tenda jamuan mengajak tamunya bersulang.
Di sela-sela jamuan, ketiga perempuan Yugur tadi menembang sambil menyuguhkan secawan arak putih kepada beberapa anggota delegasi diplomat dan jurnalis ASEAN sampai pesta makan siang pada sore hari itu berakhir.
Dari ujung jalan desa, puncak Bars Snow samar-samar terlihat setelah awan hitam tersibak perlahan. Namun tampak kesepian setelah sekian lama tidak ada lagi orang-orang yang datang.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021