Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menekankan pentingnya melestarikan ikan hiu dan pari yang rentan mengalami kepunahan, padahal keberadaan dua spesies tersebut merupakan salah satu indikator dari kesehatan laut.
“Keberadaan jenis ikan ini di suatu perairan merupakan salah satu indikator kunci kesehatan laut," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Tb. Haeru Rahayu, dalam siaran pers di Jakarta, Kamis.
Ia mengemukakan, sejumlah karakteristik seperti faktor biologis yang lambat matang seksual hingga pertumbuhan yang lambat membuat hiu dan pari rentan mengalami kepunahan.
Karenanya, KKP mengajak pula berbagai pemangku kepentingan untuk bersama-sama bersinergi melakukan konservasi hiu dan pari di Indonesia.
Hal itu, ujar dia, juga sejalan dengan arahan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono untuk mengelola sumber daya perikanan, termasuk hiu dan pari, secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat pesisir.
Menyadari pentingnya keberadaan hiu dan pari, KKP telah memasukan hiu dan pari ke dalam 20 jenis ikan yang menjadi target konservasi nasional pada tahun 2020-2024.
Terlebih, lanjutnya, hiu dan pari telah menjadi isu internasional sejak masuknya beberapa jenis hiu dan pari manta dalam Apendiks Konvensi Perdagangan Fauna dan Flora Terancam Punah/CITES sebagai akibat tingginya tingkat pemanfaatan ikan tersebut baik sebagai tangkapan target maupun tangkapan sampingan.
"Pemerintah Indonesia sangat serius menangani keberadaan hiu dan pari melalui sejumlah kebijakan termasuk pengembangan kawasan konservasi, perlindungan jenis ikan hiu dan pari tertentu yang terancam punah dan pengaturan pemanfaatan melalui kuota,” tegas Tb Haeru.
Sementara itu, CEO Yayasan WWF Indonesia, Dicky P. Simorangkir mengatakan tantangan terberat dalam konservasi jenis ini adalah data yang sulit diperoleh, sementara data tersebut sangat penting untuk menyusun rencana aksi konservasi yang efektif.
"Laut kita sangat luas, kita perlu kolaborasi dari semua pihak, mulai dari nelayan, petugas penyuluh perikanan, mahasiswa, sampai pengelola wisata selam bersama hiu," ujar Dicky.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
“Keberadaan jenis ikan ini di suatu perairan merupakan salah satu indikator kunci kesehatan laut," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Tb. Haeru Rahayu, dalam siaran pers di Jakarta, Kamis.
Ia mengemukakan, sejumlah karakteristik seperti faktor biologis yang lambat matang seksual hingga pertumbuhan yang lambat membuat hiu dan pari rentan mengalami kepunahan.
Karenanya, KKP mengajak pula berbagai pemangku kepentingan untuk bersama-sama bersinergi melakukan konservasi hiu dan pari di Indonesia.
Hal itu, ujar dia, juga sejalan dengan arahan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono untuk mengelola sumber daya perikanan, termasuk hiu dan pari, secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat pesisir.
Menyadari pentingnya keberadaan hiu dan pari, KKP telah memasukan hiu dan pari ke dalam 20 jenis ikan yang menjadi target konservasi nasional pada tahun 2020-2024.
Terlebih, lanjutnya, hiu dan pari telah menjadi isu internasional sejak masuknya beberapa jenis hiu dan pari manta dalam Apendiks Konvensi Perdagangan Fauna dan Flora Terancam Punah/CITES sebagai akibat tingginya tingkat pemanfaatan ikan tersebut baik sebagai tangkapan target maupun tangkapan sampingan.
"Pemerintah Indonesia sangat serius menangani keberadaan hiu dan pari melalui sejumlah kebijakan termasuk pengembangan kawasan konservasi, perlindungan jenis ikan hiu dan pari tertentu yang terancam punah dan pengaturan pemanfaatan melalui kuota,” tegas Tb Haeru.
Sementara itu, CEO Yayasan WWF Indonesia, Dicky P. Simorangkir mengatakan tantangan terberat dalam konservasi jenis ini adalah data yang sulit diperoleh, sementara data tersebut sangat penting untuk menyusun rencana aksi konservasi yang efektif.
"Laut kita sangat luas, kita perlu kolaborasi dari semua pihak, mulai dari nelayan, petugas penyuluh perikanan, mahasiswa, sampai pengelola wisata selam bersama hiu," ujar Dicky.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021