Oleh M Irfan Ilmie

Denpasar (Antara Bali) - Mata Ata masih tertuju pada layar kaca yang menayangkan beragam acara anak-anak, meskipun kedua orang tuanya terlihat lelah setelah seharian bekerja.
    
Pandangan bocah berusia lima tahun itu tak pernah lepas dari layar datar di kamar kedua orang tuanya. Padahal jarum jam telah menunjuk angka 11 malam, bukan waktu yang dianjurkan bagi anak-anak untuk menonton televisi.
   
I Gusti Ngurah Budi Paramartha (33) dan istrinya, Diah Dewi Juniarti Mendala, tetap sabar menunggui anak semata wayangnya, I Gusti Ngurah Ragnala Pratama Paramartha atau yang biasa dipanggil dengan nama Ata.
    
"Dia tidak mau tidur karena tahu kalau besok sekolahnya libur," kata Budi yang tetap setia menemani anaknya menonton televisi di rumahnya, Jalan Gatot Subroto I Nomor 27/A Denpasar, Sabtu (26/5) malam.
    
Budi dan Diah tergolong orang tua yang sangat selektif dan ketat dalam mengawasi anaknya menonton acara televisi, meskipun keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. "Sesibuk apa pun, kami berusaha untuk mengawasi anak di depan televisi," kata Budi menuturkan.
    
Pada pagi hingga sore hari, Diah yang bertugas mengawasi anaknya, sedangkan malam harinya giliran Budi karena sang istri bekerja hingga pukul 23.30 Wita.
    
Keduanya tidak bisa memasrahkan anaknya yang duduk di bangku TK Negeri Pembina Denpasar begitu saja kepada nenek dan pamannya yang tinggal serumah.
    
Oleh karena itu, Budi memilih saluran televisi berbayar sebagai media hiburan yang efektif bagi Ata. "Bukan apa, karena memang tayangan stasiun televisi kita tidak ada yang bisa menjamin keamanan anak," ujarnya beralasan mengenai dipilihnya saluran televisi berbayar.
    
Tayangan berbau sadisme, cabul, dan gosip sudah menjadi syarat wajib bagi industri pertelevisian di Tanah Air.
    
Oleh karena itu, bagi keluarga kelas menengah perkotaan seperti Budi tidak ada cara lain untuk mengalihkan tontonan sang anak, kecuali melalui siaran berbayar yang tarif langganannya hanya Rp192 ribu per bulan itu.
    
Di siaran berbayar itu, dia bisa mendapatkan tayangan berkualitas dan merangsang pertumbuhan otak si anak.
    
Setidaknya melalui siaran berbayar, Ata mendapat pilihan tayangan Cbeebies, Disney Junior, Cartoon Network, dan Nickelodeon yang menyuguhkan film kartun dan acara yang dapat merangsang saraf motorik, meskipun semua itu produk impor.
    
"Kalau habis nonton acara-acara itu, biasanya kamar langsung berantakan karena ingin menirukan kreasi yang digambarkan di televisi," katanya.
    
Walau begitu, Budi dan Diah tak ingin membiarkan si anak sendirian di depan layar kaca. "Bagaimana pun tetap harus didampingi," kata Budi seraya menambahkan bahwa dalam paket berlangganan itu juga ada tayangan khusus orang dewasa.

Kecenderungan Meniru
Perilaku meniru sebenarnya bukan hal negatif bagi anak karena proses meniru atau imitasi sangat berguna bagi perkembangan otak secara optimal.
    
Tindakan anak usia TK, sekitar 60-70 persen merupakan proses meniru kepada orang-orang di sekitarnya, termasuk objek yang ditontonnya di layar kaca.
    
"Oleh karena itu tayangan televisi sangat mudah ditiru oleh anak-anak. Tidak hanya pada anak usia TK, melainkan juga anak yang duduk di bangku SD hingga SMP," kata Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Bali Ni Nyoman Masni.
    
Justru dua melihat anak kelas IV SD hingga kelas III SMP sebagai usia labil sehingga sangat mudah dipengaruhi oleh tayangan televisi.
    
"Anak-anak sekarang ngomongnya sudah pakai 'loe-guwe' kayak di sinetron itu. Tidak jarang pula perkataan itu ditujukan kepada orang tua mereka," katanya prihatin.
    
Belum lagi cara berpakaian yang menurut dia, kalangan remaja di Bali sudah menjadikan idolanya di televisi sebagai "role model".
    
"Kalau dulu, tak ada siswi SMP yang berani mengeluarkan bajunya. Sekarang sudah bajunya tidak dimasukkan, roknya mini banget. Ini bukan budaya masyarakat kita," kata mantan politikus Partai Golkar itu.
    
Anak zaman sekarang pun, lanjut dia, tidak bisa dikerasi seperti pada masa-masa sebelumnya. "Remaja masa kini, kalau ngambek bisa berbuat nekat," kata Masni.
    
Perilaku nekat itu, menurut dia, ditiru dari adegan sinetron dan perilaku menyimpang yang kerap menghiasi layar televisi.
    
Apalagi tayangan televisi sekarang sudah tidak ada batas lagi antara fiksi dan fakta sebagaimana dikemukakan Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Alois Agus Nugroho. Bahkan yang sering kali ditampilkan di televisi adalah fakta mengikuti fiksi, seperti tayangan "reality show".
    
Masni menilai Ata, bocah berusia lima tahun itu, tergolong anak yang beruntung karena memiliki orang tua yang punya kepedulian terhadap tayangan televisi.
    
"Tapi tidak semua seperti itu. Masih banyak orang tua yang tidak peduli sehingga membiarkan anaknya teracuni oleh tayangan televisi," katanya.
    
Memang tidak semua tayangan televisi mengandung racun. "Masih ada siaran televisi yang mendidik, tapi persentasenya sangat kecil," katanya menambahkan.
    
Oleh sebab itu, Masni berharap banyak pada stasiun televisi lokal yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai budaya masyarakat setempat.
    
"Kami juga menginginkan televisi lokal dan nasional menghidupkan kembali permainan tradisional anak-anak yang nyaris punah," katanya.
    
Namun, harapan itu tidak akan mudah terwujud mengingat siaran televisi sampai sekarang masih menganut asas kapitalisme.
    
Terlebih lagi, selama masyarakat kita masih banyak yang tidak menyadari bahwa frekuensi televisi adalah milik publik, maka jangan harap siaran televisi akan sesuai keinginan dan harapan anak-anak dan orang tua.(M038/T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012