Jakarta (Antara Bali) - Alasan pemerintah memberikan grasi kepada Schapelle Corby merupakan hal yang janggal, karena menginginkan para WNI yang ditahan oleh otoritas dari Australia dibebaskan.
"Kejanggalan pertama adalah para WNI yang ditahan oleh otoritas Australia adalah para nelayan yang karena upah tidak seberapa melakukan penyeberangan bagi imigran gelap dari Indonesia ke Australia," kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana di Jakarta, Kamis.
Para nelayan bukanlah pimpinan sindikat atau aktor intelektual sehingga kejahatan yang dilakukan tidak sepadan dengan kejahatan yang dilakukan oleh Corby yang dapat merusak generasi muda bangsa, katanya.
"Tanpa pemberian grasi kepada Corby sekalipun, Otoritas Australia akan mengembalikan para nelayan," kata Hikmahanto seraya menjelaskan, jumlah mereka yang ratusan telah menjadi beban tersendiri, baik secara keuangan maupun fasilitas penampungan di Australia.
"Bahkan pemerintah Australia di mata dunia dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena sebagian para nelayan ditahan tanpa diketahui kapan akan di sidang," katanya.
Dia mengatakan bahwa persetujuan antara pemerintah Australia dengan eksekutif Indonesia untuk mengembalikan para nelayan adalah pemerintah di negeri ini akan melakukan proses hukum terhadap mereka sesampainya di Tanah Air.
"Oleh karena itu pemerintah Australia telah 'memesan' pasal dalam undang-undang Imigrasi yang baru untuk mengkriminalkan para pelaku penyelundupan manusia, termasuk para nelayan. Penghukuman ini diharapkan menjadi efek jera bagi para nelayan," kata Hikmahanto.
Alasan ketiga yang membuat janggal adalah seorang Corby seolah dibarter dengan ratusan tahanan asal Indonesia. Di sini ada diskriminasi terhadap warga sendiri. Seorang WN Australia dihargai dengan ratusan WNI, katanya.
"Keempat, apabila benar bahwa ada 'barter' dalam pemberian grasi Corby maka pemerintah telah melakukan hubungan antar negara yang bersifat transaksional namun tidak sebanding. Australia lebih banyak mendapat keuntungan daripada Indonesia," kata Hikmahanto.(*/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012
"Kejanggalan pertama adalah para WNI yang ditahan oleh otoritas Australia adalah para nelayan yang karena upah tidak seberapa melakukan penyeberangan bagi imigran gelap dari Indonesia ke Australia," kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana di Jakarta, Kamis.
Para nelayan bukanlah pimpinan sindikat atau aktor intelektual sehingga kejahatan yang dilakukan tidak sepadan dengan kejahatan yang dilakukan oleh Corby yang dapat merusak generasi muda bangsa, katanya.
"Tanpa pemberian grasi kepada Corby sekalipun, Otoritas Australia akan mengembalikan para nelayan," kata Hikmahanto seraya menjelaskan, jumlah mereka yang ratusan telah menjadi beban tersendiri, baik secara keuangan maupun fasilitas penampungan di Australia.
"Bahkan pemerintah Australia di mata dunia dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena sebagian para nelayan ditahan tanpa diketahui kapan akan di sidang," katanya.
Dia mengatakan bahwa persetujuan antara pemerintah Australia dengan eksekutif Indonesia untuk mengembalikan para nelayan adalah pemerintah di negeri ini akan melakukan proses hukum terhadap mereka sesampainya di Tanah Air.
"Oleh karena itu pemerintah Australia telah 'memesan' pasal dalam undang-undang Imigrasi yang baru untuk mengkriminalkan para pelaku penyelundupan manusia, termasuk para nelayan. Penghukuman ini diharapkan menjadi efek jera bagi para nelayan," kata Hikmahanto.
Alasan ketiga yang membuat janggal adalah seorang Corby seolah dibarter dengan ratusan tahanan asal Indonesia. Di sini ada diskriminasi terhadap warga sendiri. Seorang WN Australia dihargai dengan ratusan WNI, katanya.
"Keempat, apabila benar bahwa ada 'barter' dalam pemberian grasi Corby maka pemerintah telah melakukan hubungan antar negara yang bersifat transaksional namun tidak sebanding. Australia lebih banyak mendapat keuntungan daripada Indonesia," kata Hikmahanto.(*/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012