Oleh I Komang Suparta

Denpasar (Antara Bali) - Jutaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mencari nafkah di luar negeri dengan harapan dapat meningkatkan taraf hidup keluarganya, namun tidak semuanya dilengkapi asuransi jiwa.

Akibatnya, ketika mereka mengalami musibah di luar negeri, seperti kecelakaan kerja hingga bernasib tragis seperti bunuh diri, tewas karena Kriminalitas, disiksa majikan dan lain-lain mereka tidak terlindungi asuransi jiwa.

Seperti korban tewasnya TKI asal Kabupaten Buleleng, Bali, Ni Luh Endang Susiani (31) karena dibunuh perampok di South Carolina, Amerika Serikat pekan lalu.

Keadaan ini tentu dari pihak keluarga sangat terpukul, karena kematian Endang Susiani ternyata sejak berakhirnya kontrak kerja dengan Pengirim Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) PT Quantum Job pada Juli 2010, ternyata bersangkutan tidak terlindungi asuransi jiwa.

Artinya, jika TKI tidak terlindungi proteksi diri berupa asuransi jiwa tentu bila terjadi sesuatu, semisal kecelakaan ditempat kerjanya atau tewas, terus siapa yang disalahkan?

Ternyata, TKI ke luar negeri tidak semuanya memiliki asuransi jiwa. Padahal Pemerintah Indonesia menyatakan akan memberikan perlindungan terhadap warganya yang mencari nafkah di luar negeri.

Sebab, dari keberangkatan TKI tersebut secara tidak langsung memberi efek perubahan terhadap taraf hidup warganya, karena dari hasil bekerja di luar negeri mereka pasti membangun taraf hidupnya lebih baik. TKI termasuk juga menyumbang devisa cukup besar terhadap negara.

Namun, sudahkan pemerintah mampu sepenuhnya mengimplementasikan dan menerapkan jaminan dan perlindungan tersebut terhadap TKI yang bekerja di luar negeri?

Peristiwa kasus kematian TKI yang bekerja di luar negeri, seperti yang menimpa korban Endang Susiani, adalah salah satu kasus yang harus patut dicermati semua pihak, baik dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Balai Pelayanan, Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) serta Pengirim Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI).

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Bali Ketut Kariyasa Adnyana meminta Balai Pelayanan, Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) untuk selektif dan mengawasi secara ketat terhadap tenaga kerja yang diberangkatkan oleh perusahaan.

"Perlu ada pengawasan yang lebih ketat. Termasuk juga perpanjangan asuransi jiwa bagi TKI. Biar tidak seperti kejadian TKI Endang Susiani yang tewas ditembak perampok di Amerika Serikat, ternyata tidak dilindungi asuransi," kata Kariyasa Adnyana.

Saat bertemu dengan Kepala BP3TKI Wayan Pageh dan Dirut PT Quantum Job Andre Hermawan itu, ia mengatakan, kejadian korban TKI seperti ini menjadi pelajaran bagi semua. Selama ini pemerintah menyatakan telah memberi jaminan terhadap TKI yang bekerja di luar negeri.

"Namun kenyataan, pemerintah tidak sepenuhnya memberikan jaminan terhadap TKI. Padahal mereka yang bekerja ke luar negeri sebagai TKI memberikan kontribusi yang cukup besar, baik devisa maupun efek setelah mereka pulang kerja," kata politikus PDIP itu.

Ia mencontohkan, TKI sepulang dari luar negeri efek yang didapat di antaranya memberikan ruang pekerjaan bagi sekitarnya, termasuk juga mengurangi tingkat pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

"Apakah pemerintah dalam hal ini sudah mengimplementasikan programnya? Karena kenyataan atau terungkapnya kelemahan pemerintah ketika ada TKI bermasalah, seperti tewasnya TKI ini," ujarnya.

Semestinya, kata dia, pemerintah jangan hanya slogan yang akan melindungi TKI ke luar negeri. Tetapi yang lebih penting bagaimana mensosialisasikan program-program proteksi diri (asuransi) dan kelengkapan dokumen ketika TKI keluar negeri.

"Pemerintah seharusnya memperhatikan jaminan asuransi terhadap TKI, sehingga jika terjadi kejadian bisa diklaim. Tapi kalau TKI tersebut tidak berasuransi ini justru akan menjadi beban keluarga mereka," ucapnya.

Oleh karena itu, kata dia, BP3TKI harus gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat arti pentingnya asuransi, khususnya bagi TKI.

"Karena selama ini warga kita masih awam, terutama TKI yang akan berangkat ke luar negeri. Terkadang diberangkatkan oleh PJTKI tanpa visa kerja. Dan kejadian ini cukup banyak terjadi, mereka diberikan visa kunjungan (wisata). Karena sudah telanjur di luar negeri akhirnya mereka cari kerja sendiri sehingga statusnya menjadi ilegal," kata Kariyasa Adnyana.


Gerbang TKI Formal

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mendeklarasikan Provinsi Bali sebagai gerbang TKI formal.

Deklarasi tersebut dilakukan oleh Kepala BNP2TKI Mohamad Jumhur Hidayat, baru-baru ini di Denpasar saat acara melepas 1.200 TKI sektor formal berkemampuan semiterampil asal Bali yang akan bekerja di 22 negara di kawasan Asia, Eropa, Amerika dan Afrika.

Mohamad Hidayat mengatakan, Bali layak dideklarasikan sebagai gerbang utama TKI formal di Indonesia karena selama ini PUlau Dewata hanya mengirim para TKI yang bekerja di sektor formal semiterampil.

"Peran pemerintah daerah sangat serius untuk melatih para tenaga kerja, membangun jaringan serta kerja sama dengan berbagai perusahan asing di dunia yang bisa menampung TKI asal Bali secara resmi," katanya.

Selain itu, kata dia, selama ini Bali sudah 100 persen mengirimkan TKI formal, dan juga tidak pernah mengirimkan TKI sektor nonformal, seperti pembantu rumah tangga.

Ia berharap, dengan dideklarasinya Bali sebagai gerbang utama TKI formal ke luar negeri maka seluruh daerah lain di Indonesia harus membangun koneksitas dengan Bali.

"Baik pemerintah daerah, para pengusaha pengerah jasa tenaga kerja dan juga para TKI formal dari berbagai daerah di Indonesia segera mungkin membangun jaringan dengan Bali," kata Hidayat.

Ada beberapa alasan membangun jaringan dengan Bali, kata dia, pertama, pengalaman selama ini menunjukkan, jika nilai jual nama Bali sudah sangat terkenal di berbagai negara di dunia.

"Sebut saja jika TKI berasal dari Bali maka akan lebih cepat direspon oleh perusahan yang bersangkutan," ujarnya.

Dikatakan, Deklarasi Bali sebagai gerbang utama TKI formal bertujuan untuk meminimalisir pengiriman TKI sektor nonformal ke luar negeri.

Dalam lima tahun terakhir, prosentase jumlah TKI formal di Indonesia terus meningkat hingga 50 persen.

"Tahun 2007 misalnya, jumlah TKI formal asal Indonesia hanya mencapai 26 persen. Namun hingga akhir tahun 2011, jumlah itu meningkat menjadi 50 persen dari jumlah saat ini yang mencapai lebih dari 6 juta orang. Kita berharap dengan menjual nama Bali, jumlah tersebut semakin meningkat," ujarnya.

Ia berharap, selain menjual nama Bali, para TKI formal baik yang sudah berada di luar negeri maupun yang akan berangkat hendaknya menjadi duta Indonesia dan Bali.

"Kami harapkan para TKI untuk mempromosikan Indonesia dan Bali di berbagai negara di dunia," kata Hidayat.(I020/T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012