Lembaga Udayana Central Center for NCDs Tobacco Control and Lung Health menilai pemerintah gagal melindungi anak-anak muda dari rokok dan menurunkan prevalensi perokok di kalangan generasi muda.
"Kami menilai pemerintah gagal mengendalikan angka penurunan perokok di kalangan generasi muda. Sebab melihat dari data bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sejak tahun 2018 yang ditargetkan bisa menurunkan, justru yang terjadi peningkatan hingga 9,1 persen," kata Ketua Udayana Central Center for NCDs Tobacco Control and Lung Health, I Made Kerta Duana dalam acara Evaluasi akhir Tahun 2020 terkait Pengendalian rokok, di Denpasar, Sabtu.
Ia mendesak pemerintah ke depan sesuai dengan target RPJM, agar terjadi penurunan prevalensi perokok bisa tercapai, lewat berbagai upaya tertentu untuk menurunkan angka perokok dini atau anak.
Menurut dia, peningkatan secara masif perokok pada kalangan generasi muda sangat dipengaruhi banyak faktor, salah satunya, kemudahan akses dan daya beli.
"Akses dan daya beli yang terjangkau juga menjadi salah satu faktor terjadinya peningkatan perokok," katanya.
Duana mengatakan kemampuan daya beli harus menjadi perhatian semua pihak. Semestinya harga rokok harus dipatok mahal sehingga tidak terjangkau oleh anak-anak.
Baca juga: Pakar Unair: Anemia saat hamil dan asap rokok picu "stunting" bayi
Saat ini, harga rokok relatif murah berkisar Rp25 ribu, setidaknya dinaikkan hingga Rp50 ribu. Sehingga harga semakin malah akan mengurungkan niat merokok di semua elemen masyarakat.
"Kita perbandingkan dengan negara tetangga. Di sana harga rokok cukup mahal. Selain itu bagi perokok tidak disediakan tempat, bahkan jika melanggar dikenakan sanksi denda cukup mahal," ujarnya.
Jika langkah itu di tiru, maka akan dapat menekan perokok untuk membeli rokok dan merokok di sembarang tempat. Memang sudah ada larangan dalam bentuk KTR. Namun sampai saat ini belum efektif dan membuat jera bagi merokok.
Selain itu, kata dia, yang paling penting disoroti, adalah bagaimana masuknya iklan promosi sponsorship dari industri rokok yang begitu masif ke daerah-daerah akhirnya mendorong anak-anak untuk menjadi perokok pemula.
"Pemerintah harus lebih tegas dalam menerbitkan regulasi misalnya dalam pengaturan iklan rokok dalam ruang dan luar ruang, agar tidak mudah diakses anak-anak atau generasi muda," ujarnya.
Duana mencontohkan iklan-iklan rokok di toko-toko ritel modern, agar ditampilkan secara tertutup tidak dicampur dengan barang kebutuhan sehari-hari. Demikian juga, pemerintah harus tegas mengatur iklan rokok luar ruang.
"Pemerintah juga dinilai ambigu, dalam kebijakan pengaturan iklan rokok bergambar dan regulasi bahan-bahan yang mengandung zak adiktif, belum total diterapkan," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020
"Kami menilai pemerintah gagal mengendalikan angka penurunan perokok di kalangan generasi muda. Sebab melihat dari data bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sejak tahun 2018 yang ditargetkan bisa menurunkan, justru yang terjadi peningkatan hingga 9,1 persen," kata Ketua Udayana Central Center for NCDs Tobacco Control and Lung Health, I Made Kerta Duana dalam acara Evaluasi akhir Tahun 2020 terkait Pengendalian rokok, di Denpasar, Sabtu.
Ia mendesak pemerintah ke depan sesuai dengan target RPJM, agar terjadi penurunan prevalensi perokok bisa tercapai, lewat berbagai upaya tertentu untuk menurunkan angka perokok dini atau anak.
Menurut dia, peningkatan secara masif perokok pada kalangan generasi muda sangat dipengaruhi banyak faktor, salah satunya, kemudahan akses dan daya beli.
"Akses dan daya beli yang terjangkau juga menjadi salah satu faktor terjadinya peningkatan perokok," katanya.
Duana mengatakan kemampuan daya beli harus menjadi perhatian semua pihak. Semestinya harga rokok harus dipatok mahal sehingga tidak terjangkau oleh anak-anak.
Baca juga: Pakar Unair: Anemia saat hamil dan asap rokok picu "stunting" bayi
Saat ini, harga rokok relatif murah berkisar Rp25 ribu, setidaknya dinaikkan hingga Rp50 ribu. Sehingga harga semakin malah akan mengurungkan niat merokok di semua elemen masyarakat.
"Kita perbandingkan dengan negara tetangga. Di sana harga rokok cukup mahal. Selain itu bagi perokok tidak disediakan tempat, bahkan jika melanggar dikenakan sanksi denda cukup mahal," ujarnya.
Jika langkah itu di tiru, maka akan dapat menekan perokok untuk membeli rokok dan merokok di sembarang tempat. Memang sudah ada larangan dalam bentuk KTR. Namun sampai saat ini belum efektif dan membuat jera bagi merokok.
Selain itu, kata dia, yang paling penting disoroti, adalah bagaimana masuknya iklan promosi sponsorship dari industri rokok yang begitu masif ke daerah-daerah akhirnya mendorong anak-anak untuk menjadi perokok pemula.
"Pemerintah harus lebih tegas dalam menerbitkan regulasi misalnya dalam pengaturan iklan rokok dalam ruang dan luar ruang, agar tidak mudah diakses anak-anak atau generasi muda," ujarnya.
Duana mencontohkan iklan-iklan rokok di toko-toko ritel modern, agar ditampilkan secara tertutup tidak dicampur dengan barang kebutuhan sehari-hari. Demikian juga, pemerintah harus tegas mengatur iklan rokok luar ruang.
"Pemerintah juga dinilai ambigu, dalam kebijakan pengaturan iklan rokok bergambar dan regulasi bahan-bahan yang mengandung zak adiktif, belum total diterapkan," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020