Diakui atau tidak, dampak COVID-19 paling parah dari sisi ekonomi adalah kawasan pariwisata, karena kawasan pariwisata seperti Pulau Bali berharap orang datang, sedangkan COVID-19 justru melarang orang untuk datang dengan alasan kesehatan. Buktinya, ekonomi Bali mengalami kontraksi 10,98 persen, padahal Jakarta hanya minus 8 persen.

Sebaliknya dampak COVID-19 paling parah dari sisi kesehatan adalah kawasan perkotaan. Buktinya, data Satgas COVID-19 per 29 Agustus 2020 mencatat sembilan kawasan paling parah, adalah Kota Semarang 2.317, Jakarta Pusat 1.916, Kota Medan 1.432, Kota Surabaya 1.355, Jakarta Selatan 1.338, Jakarta Timur 1.327, Jakarta Utara 1.276, Makassar 1209, Jakarta Barat 1.135 kasus.

Artinya kesehatan atau ekonomi itu bukan harus dipilih salah satu, karena COVID-19 itu bukan soal matematis, meski kadang ada yang meningkahi dengan sangat politis. Dibilang bukan matematis, karena COVID-19 memang ibarat buah simalakama antara kesehatan dan ekonomi.

Ya kesehatan dan ekonomi itu sama-sama penting yang tidak bisa dipilih salah satu. Ibarat buah simalakama, kalau memilih kesehatan berarti akan banyak yang mati kelaparan, tapi kalau memilih ekonomi berarti akan banyak yang mati sakit (terpapar COVID-19)

Jadi, COVID-19 itu bukan hal sederhana yang bisa diselesaikan seperti perkalian atau pertambahan yakni 2x2=4 atau 2+2=4. Persoalannya tidak berbeda dengan orang naik kendaraan yang harus memainkan gas dan rem sedemikian rupa agar imbang. Kalau gas saja bisa kecelakaan, tapi kalau rem saja juga bisa macet atau tidak bisa jalan.

Artinya, kalau gas kencang, maka rem harus dipersiapkan, agar laju tidak kebablasan. Kalau rem terlalu ditekan, maka gas harus segera dipersiapkan secara perlahan, agar tidak kebablasan macetnya. Jadi, apapun persoalan yang mengait dengan COVID-19, janganlah ditarik ke politisasi, karena politisasi untuk COVID-19 itu jahat sekali.

Baca juga: Presiden minta Menkes audit protokol kesehatan di RS

Agaknya, langkah yang ditempuh Pemprov DKI Jakarta dengan "buka-tutup" PSBB, atau langkah Pemprov Bali, Pemprov NTB, dan Pemprov dengan "sanksi/denda" Rp100.000 (Bali), Rp250.000 (Jatim), dan Rp500.000 (NTB), bagi pelanggar protokol kesehatan (masker, cuci tangan/hand sanitizier, jaga jarak/kerumunan), bahkan pemberlakuan rapid test bagi pendatang ke Pulau Bali, agaknya dapat dipahami dalam konteks "gas-rem" kesehatan atau ekonomi itu.

Bahkan, keputusan 59 negara yang menutup pintu bagi WNI masuk ke negaranya, serta sebaliknya keputusan pemerintah Indonesia sendiri yang menutup kunjungan mancanegara di sejumlah lokasi wisata hingga akhir tahun 2020, juga dapat dipahami dalam konteks yang sama, dan untuk sementara menepis argumentasi konteks perpolitikan internasional.

Misalnya, Pemerintah Malaysia melarang pemegang visa jangka panjang Warga Negara Indonesia (WNI), India dan Filipina masuk ke negaranya terhitung mulai 7 September 2020. Bahkan, Maklumat Larangan Lawatan ke Malaysia bagi negara yang positif melebih 150.000 per 7 September 2020 juga bertambah menjadi 23 negara, yakni AS, Brazil, India. Rusia, Peru, Colombia, Afsel, Mexico, Spanyol, Argentina, Chile, UK, Bangladesh, Arab Saudi, Pakistan. Perancis, Turki, Italia, Jerman, Irak, Filip[ina, Indonesia.

"Mempertimbangkan peningkatan kasus yang mendadak di beberapa negara, Musyawarah Khusus Menteri-Menteri Mengenai Pelaksanaan PKP hari ini telah membuat keputusan untuk mengenakan pembatasan masuk pemegang visa jangka panjang bagi tiga negara (Indonesia, India, Filipina)," ujar Menteri Pertahanan Malaysia, Datuk Seri Ismail Sabri Yaakob, dalam jumpa pers Perintah Kawalan Pergerakan(PKP) Hari Ke-168 di Putrajaya (1/9).

Hal itu dinilai anggota Komisi I DPR RI Syaifullah Tamliha sebagai warning bagi Indonesia, karena bisa saja persepsi dunia akan mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang tidak disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan yang telah dipandu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Menteri Kesehatan.

"Bisa saja kebijakan 59 negara tersebut berdampak pada sektor ekonomi, terutama bantuan dari luar negeri dan berpengaruh terhadap bursa saham dan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, karena itu Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR perlu mempertimbangkan kembali pelaksanaan pilkada yang bisa saja dianggap sebagai 'biang kerok' peningkatan signifikan COVID-19 di Indonesia," katanya di Jakarta (2/9/2020).

Menurut dia, para pemimpin negeri ini jangan membandingkan negara yang tidak menunda pemilu seperti di negara lain yang jumlah penduduknya tidak sebesar jumlah rakyat Indonesia. "Lebih baik menunjuk pelaksana tugas kepala daerah sehingga kita bisa fokus menangani pandemi ini dan ekonomi terkendali sesuai protokol COVID-19," katanya.

Baca juga: Wakapolri: Polri siap tindak tegas warga yang langgar protokol kesehatan

Ya, pertimbangan politik harus ditepis dalam situasi darurat seperti era pandemi COVID-19 saat ini, karena pilihan dalam mencegah COVID-19 memang bukan tanpa risiko. Kalau memilih kesehatan, maka risikonya adalah ekonomi. Sebaliknya, kalau memilih ekonomi, maka risikonya adalah kesehatan. Tapi, kalau memilih politik, maka akan gaduh terus, karena ekonomi atau kesehatan sama-sama memiliki risiko dan hanya bisa dilakukan pengendalian secara imbang.


Pariwisata "bermasker"

Dalam konteks gas dan rem itu agaknya masyarakat masih memahami protokol kesehatan secara salah (salah paham), terutama masyarakat ala "Bu Tedjo" dalam "Tilik" yang sebenarnya cukup komunikatif ketika diajak bicara, namun ada unsur ngeyel (bersikeras) tanpa melihat hikmah atau manfaat dibalik peristiwa.

Sosok ngeyel dalam masyarakat itulah yang agaknya menyulitkan upaya mencegah penularan COVID-19. Sejak 31 Juli 2020, pariwisata Bali memang sudah dibuka untuk wisatawan Nusantara dan aktivitas masyarakat lokal antar-kabupaten/kota di Pulau Dewata pun sudah dilonggarkan mulai 9 Juli 2020, sehingga Bali pun mulai menggeliat.

Saat menghadiri Rapat Koordinasi Tingkat Menteri (RKTM) yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan dihadiri sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju di Nusa Dua, Bali (21/8), Gubernur Bali Wayan Koster pun menyebut pertumbuhan ekonomi Bali pada kuartal pertama mengalami kontraksi 1,14 persen.

Bahkan, pertumbuhan ekonomi Bali pada kuartal kedua justru mengalami kontraksi yang bertambah parah hingga 10,98 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 berdampak serius terhadap perekonomian di kawasan pariwisata seperti Bali yang menggantungkan "nasib" pada kunjungan wisata.

Baca juga: Wagub Bali minta tingkatkan kepatuhan protokol kesehatan

Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali juga memulai dari hal-hal yang memang memungkinkan untuk bisa dilakukan dalam pemulihan perekonomian yang bukan bergantung pada pariwisata, diantaranya menghidupkan industri kerajinan rakyat, UMKM dan koperasi, termasuk pertanian.

"Saat ini produk pertanian Bali itu ekspornya mulai tumbuh dengan baik. Kami mohon dukungan transportasi darat maupun udara, terutama sekali karena pandemi COVID-19 penerbangan itu mengalami gangguan sehingga ekspornya turun padahal permintaannya juga ada dari luar negeri," ucap Gubernur Koster yang baru saja melepas ekspor produk kakao ke Jepang, ekspor buah naga ke Tiongkok, dan buah salak dan manggis ke beberapa negara di Eropa itu.

Apalagi, harapan Bali untuk membuka kunjungan wisatawan mancanegara pada 11 September 2020 juga sudah tidak memungkinkan, karena maskapai penerbangan internasional baru membuka diri pada akhir tahun 2020, sehingga pariwisata di Pulau Dewata akan benar-benar sepi sejak Maret hingga Desember 2020 atau setahun kurang 2-3 bulan. Lama, bukan?.

Faktanya memang begitu, kunjungan wisatawan ke Bali hingga minggu pertama September 2020 pun terlihat sangat sepi, seperti di Pantai Kuta (Badung), Pantai Kusamba (Klungkung), dan sebagainya. Kunjungan wisatawan ke pantai yang agak ramai terlihat di Pantai Jimbaran dan Kedonganan (Badung). Selain itu, sepi.

"Ya, kami baru datang pada Rabu (2/9/2020) lalu. Kami ke sini (Pantai Jimbaran), karena pantainya memang bagus," ucap seorang wisatawan mancanegara dalam Bahasa Indonesia yang fasih sambil buru-buru menuju ke Pantai Jimbaran yang mulai terlihat ramai dengan wisatawan Nusantara, namun ada juga beberapa wisatawan mancanegara.

Namun, pariwisata dalam era pandemi COVID-19 yang seharusnya menjadi "pariwisata bermasker" agaknya tidak mudah terlaksana di tengah masyarakat "republik" Bu Tedjo yang ngeyel. Buktinya, sejumlah Warga Negara Asing (WNA) pun terjaring inspeksi mendadak (sidak) penerapan disiplin dan penegakan hukum protokol kesehatan.

"Setelah Peraturan Bupati Badung Nomor 52 Tahun 2020 resmi diterapkan, ada sejumlah WNA yang kami tindak karena tidak disiplin protokol kesehatan khususnya pemakaian masker. Saat sidak kemarin di wilayah Desa Pererenan saja hampir 80 persen yang terjaring adalah WNA," ujar Kepala Satpol PP Badung, I Gusti Agung Ketut Suryanegara, di Mangupura (9/9/2020).

Baca juga: Puluhan WNA terjaring sidak masker di Bali

Dalam sidak tersebut, masyarakat termasuk warga negara asing yang tidak memiliki atau membawa masker dikenakan sanksi denda sebesar Rp100 ribu, sedangkan apabila ada yang membawa masker namun tidak dikenakan atau dikenakan dengan posisi yang tidak benar, akan diberikan teguran dan dilakukan pendataan.

"Kami tidak pilih-pilih dalam menegakkan peraturan atau hanya berani melakukan penindakan terhadap warga negara Indonesia tapi juga tegas terhadap warga negara asing. Di media sosial ramai dibahas kalau kami hanya berani dengan orang lokal saja dan bule bebas, padahal tidak seperti itu. Peraturan ini untuk semua," katanya.

Ya, pola "gas dan rem" memang harus berbasis data, namun, apapun pilihannya, maka disiplin dengan protokol kesehatan adalah "vaksin" COVID-19 yang mungkin saja dikeluhkan masyarakat ala Bu Tedjo, karena ribet bila harus memakai masker, hand sanitizier, dan jaga jarak, namun tidak ada pilihan selain "protokol" Bu Tedjo itu hingga ada vaksin. Bahkan, pariwisata pun harus "bermasker" agar aman/selamat.


 

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020