UNICEF menyebut promosi atau iklan produk susu formula di Indonesia dilakukan dengan tidak pantas karena memberikan informasi yang salah terhadap pentingnya memberikan ASI kepada anak alih-alih menjual produk susu pengganti ASI.
Chief of Nutrition UNICEF Indonesia Jee Hyun Rah dalam telekonferensi tentang Pekan Menyusui Dunia di Jakarta, Selasa, menyatakan bahwa promosi produk susu formula pengganti ASI di Indonesia juga dilakukan dengan cara menawarkan langsung kepada ibu yang memiliki anak untuk disusui ataupun kepada calon ibu yang akan menyusui nantinya.
Penyebaran informasi yang salah tentang susu formula yang digunakan sebagai pengganti ASI terus dilakukan di berbagai media termasuk media sosial. "Misinformasi ini, miskomunikasi terkait pentingnya ASI akan sangat berdampak besar pada ibu hamil dan ibu menyusui yang jadi memilih untuk tidak menyusui anaknya," kata Hyun Rah.
Ketua Asosiasi Ibu Menyusui (Aimi) Nia Umar mengungkapkan sampai saat ini masih terjadi promosi susu formula pengganti ASI yang sangat masif di Indonesia. Bahkan Nia mengungkapkan promosi tersebut dikemas tidak dalam bentuk promosi pemasaran pada umumnya melainkan dalam bentuk donasi.
"Berdasarkan rekomendasi WHO susu anak satu tahun ke atas itu tidak diperlukan sebetulnya. Tapi di sini seakan-akan sangat diperlukan, kalau tidak minum itu anak tidak tumbuh optimal, tidak cerdas," kata Nia.
Baca juga: Penyebab gangguan tidur pada anak balita
Seiring dengan tema Pekan Menyusui Dunia: Ibu Terlindungi, Anak Kuat, Bumi Sehat, Nia menambahkan bahwa ASI adalah sumber makanan yang sangat murah dan ramah lingkungan sehingga sangat membantu dalam membangun bumi yang sehat.
"Menyusui tidak meninggalkan limbah apapun. Sangat berbeda dan susu formula," kata Nia. Dia menjelaskan proses produksi hingga distribusi susu formula menghasilkan limbah dari pabrik, menggunakan bahan bakar yang menghasilkan emisi saat proses transportasi pendistribusian, penggunaan gas di rumah untuk memasaknya, dan juga sampah dari kemasan susu formula itu sendiri.
Sebelumnya Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Dhian Probhoyekti menyebutkan bahwa praktik pemberian susu formula malah terjadi di fasilitas layanan kesehatan. Dhian mengingatkan bahwa pemberian susu formula pada bayi hanya boleh dilakukan jika ada indikasi medis.
"Jangan sampai ada ibu-ibu yang bisa memberikan ASI tidak jadi memberikan ASI karena ada promosi susu tadi. Jangan sampai lebih kuat promosinya daripada pemberian ASI dari ibu," katanya.
Baca juga: Susu kental manis dan persepsi keliru masyarakat
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020
Chief of Nutrition UNICEF Indonesia Jee Hyun Rah dalam telekonferensi tentang Pekan Menyusui Dunia di Jakarta, Selasa, menyatakan bahwa promosi produk susu formula pengganti ASI di Indonesia juga dilakukan dengan cara menawarkan langsung kepada ibu yang memiliki anak untuk disusui ataupun kepada calon ibu yang akan menyusui nantinya.
Penyebaran informasi yang salah tentang susu formula yang digunakan sebagai pengganti ASI terus dilakukan di berbagai media termasuk media sosial. "Misinformasi ini, miskomunikasi terkait pentingnya ASI akan sangat berdampak besar pada ibu hamil dan ibu menyusui yang jadi memilih untuk tidak menyusui anaknya," kata Hyun Rah.
Ketua Asosiasi Ibu Menyusui (Aimi) Nia Umar mengungkapkan sampai saat ini masih terjadi promosi susu formula pengganti ASI yang sangat masif di Indonesia. Bahkan Nia mengungkapkan promosi tersebut dikemas tidak dalam bentuk promosi pemasaran pada umumnya melainkan dalam bentuk donasi.
"Berdasarkan rekomendasi WHO susu anak satu tahun ke atas itu tidak diperlukan sebetulnya. Tapi di sini seakan-akan sangat diperlukan, kalau tidak minum itu anak tidak tumbuh optimal, tidak cerdas," kata Nia.
Baca juga: Penyebab gangguan tidur pada anak balita
Seiring dengan tema Pekan Menyusui Dunia: Ibu Terlindungi, Anak Kuat, Bumi Sehat, Nia menambahkan bahwa ASI adalah sumber makanan yang sangat murah dan ramah lingkungan sehingga sangat membantu dalam membangun bumi yang sehat.
"Menyusui tidak meninggalkan limbah apapun. Sangat berbeda dan susu formula," kata Nia. Dia menjelaskan proses produksi hingga distribusi susu formula menghasilkan limbah dari pabrik, menggunakan bahan bakar yang menghasilkan emisi saat proses transportasi pendistribusian, penggunaan gas di rumah untuk memasaknya, dan juga sampah dari kemasan susu formula itu sendiri.
Sebelumnya Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Dhian Probhoyekti menyebutkan bahwa praktik pemberian susu formula malah terjadi di fasilitas layanan kesehatan. Dhian mengingatkan bahwa pemberian susu formula pada bayi hanya boleh dilakukan jika ada indikasi medis.
"Jangan sampai ada ibu-ibu yang bisa memberikan ASI tidak jadi memberikan ASI karena ada promosi susu tadi. Jangan sampai lebih kuat promosinya daripada pemberian ASI dari ibu," katanya.
Baca juga: Susu kental manis dan persepsi keliru masyarakat
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020