Hari ini, 42 tahun silam, trofi NBA diboyong ke ibu kota Amerika Serikat, Washington DC, selepas keberhasilan Washington Bullets mengalahkan Seattle SuperSonics 4-3 di rangkaian final.
Bullets --tim yang sejak 1997 mengganti namanya menjadi Wizards-- tiba di final 1978 dengan memori kurang menyenangkan dari dua penampilan mereka di dua kesempatan sebelumnya pada 1971 dan 1975.
Dalam dua kesempatan itu Bullets dua kali kalah tanpa memenangi satu gim pun melawan Milwaukee Bucks dan Golden State Warriors.
Namun, yang terjadi di rangkaian final 1978 adalah pertunjukan semangat pantang menyerag dari Wes Unseld dkk.
Baca juga: NBA dilaporkan targetkan kompetisi selesai pertengahan Oktober
Baca juga: Antetokounmpo dan pemain Bucks bergabung dalam demo Milwaukee
Tiga kali dalam keadaan tertinggal dari SuperSonics, tiga kali pula Bullets menyamakan kedudukan hingga akhirnya trofi Larry O'Brien sukses dibawa pulang ke Washington.
Pada gim pertama, Bullets membuang keunggulan 19 poin yang mereka miliki pada awal kuarter keempat dan malah menelan kekalahan 102-106.
Gim kedua berhasil dimenangi Bullets, setelah Unseld sukses mengawal pertahanan mereka dengan mengamankan 15 rebound untuk meredam bahaya yang diperlihatkan Marvin Webster dan Jack Sikma.
Kerja pertahanan itu dibarengi kontribusi 34 poin dari Bob Dandridge dan 25 poin milik Elvin Hayes untuk membawa Bullets menang 106-98 dan menyamakan kedudukan 1-1.
Dandridge kemudian beroleh peluang melepaskan tembakan buzzer-beater untuk memenangkan Bullets, tapi lemparannya meleset dan gim ketiga dikantungi SuperSonics dengan skor akhir 93-92.
Dandridge kembali berpeluang memastikan kemenangan Bullets pada gim keempat saat kuarter pemungkas menyisakan dua detik, tapi tembakannya diblok oleh Dennis Johnson mempertahankan skor 106-106 sehingga laga dilanjutkan ke babak overtime.
Bullets berhasil memenangi gim keempat berkat tiga lemparan cepat Charles Johnson untuk menundukkan SuperSonics 120-116. Kedudukan imbang 2-2.
Buruknya akurasi lemparan bebas, hanya melesakkan sembilan dari 20 kesempatan, harus dibayar mahal oleh Bullets yang kalah 94-98 di gim kelima.
Namun, gim keenam menjelma jadi penampilan dominan Bullets yang menang 117-82 atas SuperSonics. Tak kurang dari 70 poin yang dicetak pada paruh kedua membawa Bullets berhasil memaksakan gim ketujuh dimainkan.
Gim penentuan yang berlangsung di Seattle Center Coliseum diwarnai penampilan mengecewakan dari bintang tuan rumah, Dennis Johnson, yang tak sekalipun mencetak poin dari 14 percobaan tembakannya.
Bullets tampil cukup dominan meski keunggulan mereka terpangkas menjadi empat poin saja pada sisa waktu 90 detik pertandingan. Dandridge jadi pengunci kemenangan dengan menghempaskan dunk untuk menutup laga dengan skor 105-99 dan memastikan gelar juara NBA bagi Bullets.
Trofi NBA 1978 menjadi pemuas dahaga bagi Washington DC atas gelar olahraga profesional, mengingat terakhir kali kota itu menjadi juara pada 1942 lewat gelar juara NFL bagi Washington Redskins (kala itu belum ada Super Bowl sebab merger AFL-NFL baru terjadi tahun 1966).
Opera
Kegigihan yang diperlihatkan Bullets membuat sang pelatih kepala Dick Motta mengasosiasikan rangkaian final NBA 1978 bak sebuah lakon opera.
"Opera belum berakhir sampai nona gempal bernyanyi," kata Motta sebagaimana dilansir laman resmi Wizards pada 8 April 2003.
Tak pelak, ketika bel tanda laga usai berbunyi menandai berakhirnya gim ketujuh final 1978 para pemain Bullets melakukan selebrasi dengan kaos yang bersematkan tulisan "The Opera Isn't Over 'Til The Fat Lady Sings".
Menempati peringkat ketiga klasemen akhir Wilayah Timur musim reguler dengan catatan 44 kemenangan dan 38 kekalahan (44-38), Bullets memposisikan diri mereka sebagai tim nonunggulan kala memasuki fase playoff.
Hal itu tidak lepas torehan nirkemenangan dalam penampilan di dua edisi final 1971 dan 1975.
Oleh karena itu pula, Motta menyebut trofi NBA 1978 yang mereka raih begitu manis sebab menurutnya tak banyak pihak yang menganggap Bullets berpeluang jadi juara kala itu.
"Yang membuat gelar ini begitu sempurna adalah kami dianggap tak patut memenanginya," kata Motta.
"Tapi kami melangkah jauh. Banyak orang tak memberi kami kesempatan, tapi saya selalu merasa kami bisa. Sungguh," ujarnya menambahkan.
Bullets kembali menjejaki partai final di musim berikutnya, tapi berakhir menjadi korban revans SuperSonics yang menang 4-2 kala itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020
Bullets --tim yang sejak 1997 mengganti namanya menjadi Wizards-- tiba di final 1978 dengan memori kurang menyenangkan dari dua penampilan mereka di dua kesempatan sebelumnya pada 1971 dan 1975.
Dalam dua kesempatan itu Bullets dua kali kalah tanpa memenangi satu gim pun melawan Milwaukee Bucks dan Golden State Warriors.
Namun, yang terjadi di rangkaian final 1978 adalah pertunjukan semangat pantang menyerag dari Wes Unseld dkk.
Baca juga: NBA dilaporkan targetkan kompetisi selesai pertengahan Oktober
Baca juga: Antetokounmpo dan pemain Bucks bergabung dalam demo Milwaukee
Tiga kali dalam keadaan tertinggal dari SuperSonics, tiga kali pula Bullets menyamakan kedudukan hingga akhirnya trofi Larry O'Brien sukses dibawa pulang ke Washington.
Pada gim pertama, Bullets membuang keunggulan 19 poin yang mereka miliki pada awal kuarter keempat dan malah menelan kekalahan 102-106.
Gim kedua berhasil dimenangi Bullets, setelah Unseld sukses mengawal pertahanan mereka dengan mengamankan 15 rebound untuk meredam bahaya yang diperlihatkan Marvin Webster dan Jack Sikma.
Kerja pertahanan itu dibarengi kontribusi 34 poin dari Bob Dandridge dan 25 poin milik Elvin Hayes untuk membawa Bullets menang 106-98 dan menyamakan kedudukan 1-1.
Dandridge kemudian beroleh peluang melepaskan tembakan buzzer-beater untuk memenangkan Bullets, tapi lemparannya meleset dan gim ketiga dikantungi SuperSonics dengan skor akhir 93-92.
Dandridge kembali berpeluang memastikan kemenangan Bullets pada gim keempat saat kuarter pemungkas menyisakan dua detik, tapi tembakannya diblok oleh Dennis Johnson mempertahankan skor 106-106 sehingga laga dilanjutkan ke babak overtime.
Bullets berhasil memenangi gim keempat berkat tiga lemparan cepat Charles Johnson untuk menundukkan SuperSonics 120-116. Kedudukan imbang 2-2.
Buruknya akurasi lemparan bebas, hanya melesakkan sembilan dari 20 kesempatan, harus dibayar mahal oleh Bullets yang kalah 94-98 di gim kelima.
Namun, gim keenam menjelma jadi penampilan dominan Bullets yang menang 117-82 atas SuperSonics. Tak kurang dari 70 poin yang dicetak pada paruh kedua membawa Bullets berhasil memaksakan gim ketujuh dimainkan.
Gim penentuan yang berlangsung di Seattle Center Coliseum diwarnai penampilan mengecewakan dari bintang tuan rumah, Dennis Johnson, yang tak sekalipun mencetak poin dari 14 percobaan tembakannya.
Bullets tampil cukup dominan meski keunggulan mereka terpangkas menjadi empat poin saja pada sisa waktu 90 detik pertandingan. Dandridge jadi pengunci kemenangan dengan menghempaskan dunk untuk menutup laga dengan skor 105-99 dan memastikan gelar juara NBA bagi Bullets.
Trofi NBA 1978 menjadi pemuas dahaga bagi Washington DC atas gelar olahraga profesional, mengingat terakhir kali kota itu menjadi juara pada 1942 lewat gelar juara NFL bagi Washington Redskins (kala itu belum ada Super Bowl sebab merger AFL-NFL baru terjadi tahun 1966).
Opera
Kegigihan yang diperlihatkan Bullets membuat sang pelatih kepala Dick Motta mengasosiasikan rangkaian final NBA 1978 bak sebuah lakon opera.
"Opera belum berakhir sampai nona gempal bernyanyi," kata Motta sebagaimana dilansir laman resmi Wizards pada 8 April 2003.
Tak pelak, ketika bel tanda laga usai berbunyi menandai berakhirnya gim ketujuh final 1978 para pemain Bullets melakukan selebrasi dengan kaos yang bersematkan tulisan "The Opera Isn't Over 'Til The Fat Lady Sings".
Menempati peringkat ketiga klasemen akhir Wilayah Timur musim reguler dengan catatan 44 kemenangan dan 38 kekalahan (44-38), Bullets memposisikan diri mereka sebagai tim nonunggulan kala memasuki fase playoff.
Hal itu tidak lepas torehan nirkemenangan dalam penampilan di dua edisi final 1971 dan 1975.
Oleh karena itu pula, Motta menyebut trofi NBA 1978 yang mereka raih begitu manis sebab menurutnya tak banyak pihak yang menganggap Bullets berpeluang jadi juara kala itu.
"Yang membuat gelar ini begitu sempurna adalah kami dianggap tak patut memenanginya," kata Motta.
"Tapi kami melangkah jauh. Banyak orang tak memberi kami kesempatan, tapi saya selalu merasa kami bisa. Sungguh," ujarnya menambahkan.
Bullets kembali menjejaki partai final di musim berikutnya, tapi berakhir menjadi korban revans SuperSonics yang menang 4-2 kala itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020