Oleh Tunggul Susilo
Denpasar (Antara Bali) - Seniman ternama Made Wianta akan menjadi dosen tamu di Holy Cross College, Massachusetts, dan memberikan workshop di Brown University, Amerika Serikat, pada 20 Januari-25 Mei 2012, bertepatan musim semi.
Sebelum berangkat ke AS untuk mengajar teater dan arsitektur selama empat bulan itu, seniman terkenal tersebut melakukan riset di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Bangli, demikian Made Wianta dalam penjelasan kepada ANTARA di Denpasar, Selasa.
Keberadaan penderita sakit jiwa menyodorkan berbagai pengalaman hidup dalam kondisi tekanan, stres, dan bahkan amuk. "Ini sangat menarik dan memperkaya wawasan saya tentang teater dan seni pertunjukan," katanya.
Selain menyusun silabus pengajaran, Wianta juga membuat videografi tentang candi dan bangunan yang dipengaruhi kebudayaan berlatar belakang epos Mahabarata dan Ramayana.
Menurut dia, arsitektur candi beserta reliefnya sarat dengan makna filosofis dan kajian visual yang sangat luas. Karena itu, ia mencoba menyampaikan pemaknaan secara bebas dan benang merah dengan konteks kekinian.
Di sela menyiapkan bahan mengajar tersebut, Wianta juga berbenah untuk sejumlah pameran internasional, di antaranya di Belanda (Juni-Juli) dan Milan (September-Oktober) mendatang.
Saat ini dia juga masih menggelar pameran fotografi bersama lima seniman asing di Tonyraka Gallery, Ubud, Kabupaten Gianyar, hingga 2 Februari 2012. "Kesempatan mengajar bagi saya akan lebih menantang, walaupun ini bukan hal baru," ucapnya.
Saat tinggal di Belgia pada 1970-an, Wianta mengaku sempat mengajar karawitan di Tropen Institute, Amsterdam. Dia juga pernah diundang untuk memberikan pelatihan tentang kebudayaan di Institut Seni Indonesia Denpasar dan ISI Yogyakarta, Universitas Kebangsaan Malaysia, serta California of Art Institute (CalArts), AS.
Undangan mengajar seperti itu, katanya, mengharuskan dirinya untuk belajar kembali dan membaca banyak literatur.
Untuk menyiapkan bahan kuliah arsitektur tradisional misalnya, dia memotret sejumlah bangunan kuno seperti Candi Penataran di Blitar, Candi Singosari, situs Majapahit di Trorwulan, Candi Borobudur, dan Candi Sukuh serta Kertagosa di Klungkung.
Dokumen fotografi dan video dinilai dapat memudahkan dalam menyampaikan bahan ajar kepada mahasiswa perguruan tinggi terkemuka yang menawarkan pendidikan ketat dalam tradisi "jesuit" atau hasrat besar itu.
"Saya punya cara sendiri untuk memperkenalkan seni Bali dan arsitektur agar gampang diserap mahasiswa," kata Wianta yang mendapat gelar profesor dari Academico Internationale Greci Marino, Italia, pada 1996.
Wianta menjelaskan bahwa semasa kecilnya terbiasa menari, belajar gamelan, dan sastra pedalangan. Minat di bidang seni pertunjukan itu berkembang ke bidang seni yang lain, termasuk kegemaran mengamati perkembangan arsitektur.
Wianta akan memanfaatkan kesempatan mengajar itu sekaligus untuk mengamati perkembangan seni kontemporer, sebagaimana kebiasaannya saat bepergian ke luar negeri.
Holy Cross memiliki program bagi mahasiswanya untuk mengikuti kursus jangka pendek tentang Asia, yang mencakup tujuh negara dan tujuh departemen, termasuk pengajaran seni karawitan dan seni tari Bali.
Dalam persiapan tahun lalu, Made Wianta sempat berkolaborasi dengan Prof Lynn Kremer, dosen Holy Cross untuk suatu pertunjukan drama tari yang akan dipergelarkan di Massachusetts, April 2012.
Pertunjukan drama tari multimedia itu terinspirasi oleh wawancara dengan sejumlah narapidana dan pasien RSJ Bangli, Bali.
Dia menambahkan, Bali idealnya menjadi pintu bagi Indonesia untuk berkontribusi dan ambil bagian dalam percaturan seni di tingkat internasional.
Hal itu dinilai penting guna mendorong masuk dalam era globalisasi seni yang perlu diarahkan lebih kuat dalam hal kreativitas dan apresiasi. Untuk mendukung hal itu, Bali memerlukan infrastruktur representatif dan strategi yang tepat.
"Bali sebagai tujuan wisata dunia sudah dilengkapi banyak hotel berbintang lima, namun kita tidak memiliki galeri, museum, dan gedung pertunjukan bintang lima. Ini menjadi keprihatinan kita bersama," ucapnya.(T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012
Denpasar (Antara Bali) - Seniman ternama Made Wianta akan menjadi dosen tamu di Holy Cross College, Massachusetts, dan memberikan workshop di Brown University, Amerika Serikat, pada 20 Januari-25 Mei 2012, bertepatan musim semi.
Sebelum berangkat ke AS untuk mengajar teater dan arsitektur selama empat bulan itu, seniman terkenal tersebut melakukan riset di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Bangli, demikian Made Wianta dalam penjelasan kepada ANTARA di Denpasar, Selasa.
Keberadaan penderita sakit jiwa menyodorkan berbagai pengalaman hidup dalam kondisi tekanan, stres, dan bahkan amuk. "Ini sangat menarik dan memperkaya wawasan saya tentang teater dan seni pertunjukan," katanya.
Selain menyusun silabus pengajaran, Wianta juga membuat videografi tentang candi dan bangunan yang dipengaruhi kebudayaan berlatar belakang epos Mahabarata dan Ramayana.
Menurut dia, arsitektur candi beserta reliefnya sarat dengan makna filosofis dan kajian visual yang sangat luas. Karena itu, ia mencoba menyampaikan pemaknaan secara bebas dan benang merah dengan konteks kekinian.
Di sela menyiapkan bahan mengajar tersebut, Wianta juga berbenah untuk sejumlah pameran internasional, di antaranya di Belanda (Juni-Juli) dan Milan (September-Oktober) mendatang.
Saat ini dia juga masih menggelar pameran fotografi bersama lima seniman asing di Tonyraka Gallery, Ubud, Kabupaten Gianyar, hingga 2 Februari 2012. "Kesempatan mengajar bagi saya akan lebih menantang, walaupun ini bukan hal baru," ucapnya.
Saat tinggal di Belgia pada 1970-an, Wianta mengaku sempat mengajar karawitan di Tropen Institute, Amsterdam. Dia juga pernah diundang untuk memberikan pelatihan tentang kebudayaan di Institut Seni Indonesia Denpasar dan ISI Yogyakarta, Universitas Kebangsaan Malaysia, serta California of Art Institute (CalArts), AS.
Undangan mengajar seperti itu, katanya, mengharuskan dirinya untuk belajar kembali dan membaca banyak literatur.
Untuk menyiapkan bahan kuliah arsitektur tradisional misalnya, dia memotret sejumlah bangunan kuno seperti Candi Penataran di Blitar, Candi Singosari, situs Majapahit di Trorwulan, Candi Borobudur, dan Candi Sukuh serta Kertagosa di Klungkung.
Dokumen fotografi dan video dinilai dapat memudahkan dalam menyampaikan bahan ajar kepada mahasiswa perguruan tinggi terkemuka yang menawarkan pendidikan ketat dalam tradisi "jesuit" atau hasrat besar itu.
"Saya punya cara sendiri untuk memperkenalkan seni Bali dan arsitektur agar gampang diserap mahasiswa," kata Wianta yang mendapat gelar profesor dari Academico Internationale Greci Marino, Italia, pada 1996.
Wianta menjelaskan bahwa semasa kecilnya terbiasa menari, belajar gamelan, dan sastra pedalangan. Minat di bidang seni pertunjukan itu berkembang ke bidang seni yang lain, termasuk kegemaran mengamati perkembangan arsitektur.
Wianta akan memanfaatkan kesempatan mengajar itu sekaligus untuk mengamati perkembangan seni kontemporer, sebagaimana kebiasaannya saat bepergian ke luar negeri.
Holy Cross memiliki program bagi mahasiswanya untuk mengikuti kursus jangka pendek tentang Asia, yang mencakup tujuh negara dan tujuh departemen, termasuk pengajaran seni karawitan dan seni tari Bali.
Dalam persiapan tahun lalu, Made Wianta sempat berkolaborasi dengan Prof Lynn Kremer, dosen Holy Cross untuk suatu pertunjukan drama tari yang akan dipergelarkan di Massachusetts, April 2012.
Pertunjukan drama tari multimedia itu terinspirasi oleh wawancara dengan sejumlah narapidana dan pasien RSJ Bangli, Bali.
Dia menambahkan, Bali idealnya menjadi pintu bagi Indonesia untuk berkontribusi dan ambil bagian dalam percaturan seni di tingkat internasional.
Hal itu dinilai penting guna mendorong masuk dalam era globalisasi seni yang perlu diarahkan lebih kuat dalam hal kreativitas dan apresiasi. Untuk mendukung hal itu, Bali memerlukan infrastruktur representatif dan strategi yang tepat.
"Bali sebagai tujuan wisata dunia sudah dilengkapi banyak hotel berbintang lima, namun kita tidak memiliki galeri, museum, dan gedung pertunjukan bintang lima. Ini menjadi keprihatinan kita bersama," ucapnya.(T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012