Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI Made Mangku Pastika bertemu dengan sejumlah pemangku kepentingan di bidang pertanian untuk mendengarkan dan menyerap aspirasi terkait persoalan yang dihadapi selama ini di Bali, yang kemudian akan diperjuangkan kepada pemerintah pusat.

"Melalui acara rembug tani ini, saya ingin tahu, apa saja yang bisa saya lakukan untuk mengangkat dan menggairahkan sektor pertanian di Bali. Di DPD, saya memiliki kewenangan atau bisa mengundang Menteri Pertanian ataupun Menteri Perdagangan," kata Pastika saat mengadakan acara bertajuk Rembug Tani itu di Kantor Sekretariat DPD RI Provinsi Bali, di Denpasar, Jumat sore.

Dalam kesempatan itu, Pastika mengaku sangat senang mendapat kepercayaan ditempatkan di Komite II DPD RI yang membidangi pertanian, perhubungan, UMKM, dan BUMN-BUMD itu.

"Saya dari dulu cinta pada sektor pertanian, apalagi budaya Bali itu adalah budaya agraris," ucap senator kelahiran Desa Patemon, Kabupaten Buleleng, Bali itu.

Sewaktu menjabat menjadi Gubernur Bali dua periode dari 2008-2018, dia juga telah menggagas pembentukan Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri), yang kini jumlahnya ratusan di delapan kabupaten di Bali.

Menurut Pastika, sektor pertanian sampai saat ini belum begitu dilirik kalangan generasi milenial di Pulau Dewata, karena realitasnya mereka yang menjadi petani mayoritas yang sudah tua-tua.

"Daya tarik pekerjaan di bidang yang lain masih sangat kuat, sedangkan kehidupan sebagai petani masih dipandang tidak menggairahkan karena identik dengan kondisi kotor, miskin, bau dan panas," ujarnya pada acara yang dihadiri kalangan HKTI Bali, perwakilan petani, kalangan akademisi dan komunitas pencinta pertanian.

Baca juga: Wagub Bali minta pelaku pariwisata berkontribusi pada pertanian

Oleh karena itu, kata Pastika, harus ada regulasi di tingkat pusat yang bisa memperbaiki situasi ini, khususnya lagi bisa mengurangi impor pertanian.

"Program dan dana di pusat untuk pertanian sebenarnya juga banyak dan mereka sering bingung untuk menyalurkan. Maka dari itu, menjadi tugas DPD juga untuk mengkritisi kebijakan pemerintah pusat yang seringkali kebijakannya tidak sejalan dengan kebutuhan daerah," ucapnya.

Setelah pertemuan hari ini, Pastika juga siap mewadahi semua yang hadir tersebut jika ingin kumpul-kumpul menindaklanjuti, mengimplementasikan dan mengembangkan berbagai hal menyangkut pertanian Bali. 

Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardhana mengatakan Pemerintah Provinsi Bali saat ini di bawah kepemimpinan Gubernur Wayan Koster juga menempatkan pertanian menjadi salah satu program prioritas.

"Membangun pertanian itu susah-susah gampang. Apalagi di tengah tantangan alih fungsi lahan di Bali sekitar 500-800 hektare pertahun. Di samping itu juga dihadapkan pada persoalan persaingan sumber daya air untuk pertanian dengan sektor domestik dan industri," ucapnya.

Persoalan lainnya dari sisi pemasaran terutama di saat musim panen. Menurut Wisnuardhana, petani bukannya mendapat untung karena harga komoditas menjadi sangat rendah. Belum lagi petani dihadapkan pada persoalan modal usaha.

"Untuk mengatasi sejumlah persoalan di bidang pertanian, khususnya di hilir, telah pula dikeluarkan Peraturan Gubernur Bali No 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan, dan Industri Lokal Bali," ucapnya.

Baca juga: Wagub Bali inginkan pertanian dapat sejajar industri pariwisata

Sementara itu, akademisi Universitas Udayana Dr Diah Kencana mengatakan diperlukan "jembatan" untuk mengatasi persoalan hulu dan hilir pertanian. "Hasil-hasil kajian dari akademisi ini yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan hulu dan hilir. Gunakan uang-uang dari pemerintah untuk mendukung menyelesaikan persoalan petani," ucapnya.

Selain itu, kata Diah, harus dipetakan dengan jelas, misalnya untuk komoditas kopi, hulunya itu siapa dan disiapkan produk yang berkualitas. Tetapi jangan dipaksa yang di hulu untuk memikirkan pasarnya secara maksimal. Kapasitas di hulu itu petani, yang di hilir itu pelaku usaha.

Made Sumertana, salah satu praktisi urban farming mengatakan, dengan terbatasnya lahan, sesungguhnya dengan perkembangan teknologi pertanian yang pesat saat ini bukan menjadi persoalan besar lagi.

"Ada model-model pertanian yang bisa dikembangkan di lahan sempit perkotaan, seperti tambulampot, vertikal garden, hidroponik, dan rooftop farming yang semuanya itu sudah saya terapkan," katanya.

Bahkan Sumertana telah menyosialisasikan pada 100 sekolah di Bali dengan harapan akan lahir ribuan petani dari kalangan generasi milenial.

Baca juga: Mentan buat program cetak pengusaha muda pertanian

Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali I Wayan Mardiana mengatakan meskipun Bali sangat kaya dengan plasma nutfahnya, namun belum bisa mengembangkan produk peternakannya dengan maksimal.

"Di satu sisi kita harus mempertahankan kemurnian ternak kita, di sisi lain juga dihadapkan pada kualitas daging dari daerah-daerah lain, belum lagi ancaman sejumlah isu penyakit yang menyerang unggas maupun hasil ternak," ucapnya.

Untuk komoditas ayam pedaging misalnya, kata Mardiana, harganya masih berfluktuasi dan cenderung lebih mahal dibandingkan produk daerah luar Bali karena mayoritas peternak di Bali adalah peternak mandiri.

"Akibatnya Bali sering dibanjiri daging ayam dari luar Bali yang menawarkan harga lebih rendah. Kalau peternak kita, baru bisa menjual perkilogram Rp29 ribu, sedangkan yang didatangkan dari Jawa bisa Rp25 ribu," ujar Mardiana.

Jika di sektor pertanian sawah generasi milenial kurang meminati, tetapi menurut Mardiana, dewasa ini ada kecenderungan generasi milenial justru menggandrungi sektor peternakan. "Bahkan ada sejumlah anak muda Bali bisa membeli Fortuner dari hasil beternak ayam," ucapnya. 

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019