Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Bentrok massal antarwarga desa adat di Bali hingga kini masih sering kali muncul ke permukaan, bahkan sampai merenggut korban jiwa, meskipun awalnya konflik itu hanya dipicu masalah sepele.
Konflik adat selama tahun 2011 terjadi di sejumlah tempat di Bali, antara lain melibatkan ratusan warga Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, menyerang warga Banjar Kawan di Kota Bangli, 45 kilometer timur Denpasar.
Mendengar kentongan yang dikeramatkan itu berbunyikan sebagai tanda bahaya, warga Banjar Kawan tumpah ruah ke luar rumah dengan bersenjatakan pedang, golok, panah, pentungan kayu, potongan batu bata, dan lain-lain.
Akibatnya, bentrok fisik massal antarwarga yang datang menyerang dengan yang diserang, tidak bisa dihindarkan hingga mengakibatkan jatuhnya korban tewas dan belasan lainnya mengalami luka-luka pada peristiwa tragis pada 19 Juli 2011.
Tidak lama kemudian peristiwa yang mencoreng citra pariwisata Bali kembali dihebohkan dengan peristiwa bentrok antara warga Kemoning dan Budaga, Kecamatan Semarapura, Kabupaten Klungkung, pada Sabtu, 17 September 2011.
Peristiwa yang kedua itu juga merenggut seorang korban jiwa, I Ketut Ariaka (56) dan puluhan warga dari kedua belah pihak, termasuk polisi yang mendamaikan kedua kelompok yang bertikai itu juga mengalami luka-luka.
Bentrok antarwarga yang saling bertetangga itu dipicu perebutan tempat suci (Pura) Dalem, kuburan (Setra) dan pura Prajapati (tempat suci dalam lingkungan kuburan). Konflik antarbanjar itu sebenarnya terjadi sejak pertengahan 2010 dan berbagai pihak yakni Pemkab Klungkung, Polres, dan Mejelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Provinsi Bali berusaha mendamaikan dan mencarikan jalan yang terbaik, namun tidak membuahkan hasil sesuai yang diharapkan.
Konflik yang bernuansa adat itu terus bergulir hingga akhirnya meletus bentrok antarwarga, meskipun sebelumnya telah diantisipasi Polres Klungkung dengan menempatkan personel dibantu satuan Brimob Polda Bali.
Antisipasi itu dilakukan jauh sebelum meletusnya bentrok karena ada informasi warga Kemoning akan memasang papan batas wilayah. Sementara masyarakat Desa Budaga sebelumnya sudah memasang papan nama Adat Budaga di jalan Pudak menuju Pura Dalem.
Berbagai antisipasi sebenarnya telah dilakukan Polres Klungkung agar tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan bahkan, bahkan Kapolres Klungkung memfasilitasi rapat bersama Muspika yang melibatkan pengurus adat dan tokoh masyarakat kedua desa yang yang bersengketa itu.
Menurut Guru besar Fakultas Sastra Universitas Udayana Prof Dr I Gde Parimartha MA, maraknya kasus-kasus bernuansa adat di Bali dirasakan sejak adanya Peraturan Daerah (Perda) Desa Pekraman Nomor 3 tahun 2001.
Perda itu memberikan bobot yang tinggi atau otonomi desa adat (desa pekraman) yang berlebihan, namun tidak mampu membangun kedamaian bagi seluruh warganya. Akibat otonomi desa adat yang berlebihan itu mengakibatkan sedikit saja terjadi konflik terus berkembang, bahkan sampai melakukan pemekaran desa adat.
Oleh sebab itu perda yang mengatur tentang desa Pekraman tersebut perlu direvisi dan disempurnakan oleh DPRD Bali, sekaligus mengatur beban tugas antara desa dinas dan desa pekraman di Bali.
Revisi dan penyempurnaan itu penting, mengingat Perda Desa Pekraman Nomor 3 tahun 2001 itu hanya mengatur desa adat dan tidak menyebutkan adanya desa dinas, padahal antara desa adat dan desa dinas di Bali selama ini mengemban tugas masing-masing yang satu sama lainnya saling mendukung.
"Revisi perda itu dinilai sangat penting dan mendesak untuk menyelamatkan desa pekraman, sekaligus mengemban tugas-tugas yang semakin berat di masa mendatang," harap Prof Parimarha.
Kokoh dan kental
Meskipun konfik bernuansa adat belum berhasil ditangani secara tuntas, masyarakat Bali masih sangat kental menghargai adat dan budayanya di tengah era modernisasi dewasa ini.
"Demikian pula tradisi kehidupan desa adat (Pakraman) di Bali hingga kini tetap kokoh dan eksis sesuai perkembangan zaman, meski hal itu diwarisi jauh sebelum Indonesia merdeka," tutur Guru besar Fakultas Hukum Universitas Udayana Prof Dr Wayan P. Windia.
Masing-masing desa pekraman mempunyai adat kebiasaan atau "awig-awig" untuk mengatur tatanan kehidupan, sesuai situasi dan kondisi objektif tempat, waktu dan keadaan (desa, kala, patra).
Di Bali hingga kini tercatat 1.453 desa adat, bertambah dibanding sepuluh tahun sebelumnya yang tercatat 1.371 desa tersebar di delapan kabupaen dan satu kota.
Prof P. Windia menilai, peran desa pakraman dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul di wilayahnya masing-masing sangat besar. Jika ada masalah yang muncul, baik dipicu masalah pribadi, keluarga maupun masyarakat pertama-tama akan diselesaikan oleh perangkat pimpinan (prajuru) desa adat.
Jika kata sepakat tidak tercapai, permasalahan akan dibahas dalam rapat (paruman) yang melibatkan seluruh warga desa pekraman. Warga desa yang terbukti melakukan pelanggaran adat, namun tetap bersikukuh dengan pendiriannya, tidak bersedia menaati keputusan rapat dapat dijatuhi sanksi.
Sanksi tersebut mulai dari yang paling ringan berupa permintaan maaf kepada seluruh warga, sampai yang paling berat, berupa pemberhentian atau dikucilkan sebagai warga desa adat (kasepekang).
Desa pakraman setelah menjatuhkan sanksi menganggap permasalahannya telah selesai, tanpa perlu membahasnya lebih lanjut, apakah yang dikenakan sanksi itu menangis atau apakah sesuai atau tidak dengan hak azasi manusia (HAM).
"Apapun jenis sanksi yang dijatuhkan tidak menjadi soal bagi orang lain atau desa pekraman yang lain, karena hal itu dianggap urusan intern desa pekraman sesuai desa 'mawacara', yakni tradisi adat dan kebiasaan yang diwarisi secara turun temurun," tutur Prof Wayan P. Windia.
Terjadinya konflik bernuansa adat di Bali bukan akibat memudarnya penghargaan masyarakat akan aturan adat -istiadatnya. Bahkan tidak benar jika masyarakat Bali dikatakan tak lagi menghormati adatnya. Modernisasi memang banyak pengaruhnya pada kehidupan adat masyarakat Bali, tetapi itu lebih pada konteks yang netral.
Konteks netral yang dimaksud, kata Prof Windia, contohnya dalam investasi dan profesi. Sepanjang investasi tidak menyentuh lahan yang berhubungan dengan kepercayaan (kawasan suci), aturan yang dipakai adalah aturan pemerintah secara umum.
Namun, jika menyangkut kawasan suci, aturan yang dipakai tetap bersinergi dengan aturan dalam adat Bali, dengan harapan mampu mewujudkan kedamaian, kenyamanan dan ketentraman bagi warga desa adat, dan seluruh masyarakat Bali termasuk wisatawan yang berliburan ke daerah ini, tutur Prof Windia.(**)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
Denpasar (Antara Bali) - Bentrok massal antarwarga desa adat di Bali hingga kini masih sering kali muncul ke permukaan, bahkan sampai merenggut korban jiwa, meskipun awalnya konflik itu hanya dipicu masalah sepele.
Konflik adat selama tahun 2011 terjadi di sejumlah tempat di Bali, antara lain melibatkan ratusan warga Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, menyerang warga Banjar Kawan di Kota Bangli, 45 kilometer timur Denpasar.
Mendengar kentongan yang dikeramatkan itu berbunyikan sebagai tanda bahaya, warga Banjar Kawan tumpah ruah ke luar rumah dengan bersenjatakan pedang, golok, panah, pentungan kayu, potongan batu bata, dan lain-lain.
Akibatnya, bentrok fisik massal antarwarga yang datang menyerang dengan yang diserang, tidak bisa dihindarkan hingga mengakibatkan jatuhnya korban tewas dan belasan lainnya mengalami luka-luka pada peristiwa tragis pada 19 Juli 2011.
Tidak lama kemudian peristiwa yang mencoreng citra pariwisata Bali kembali dihebohkan dengan peristiwa bentrok antara warga Kemoning dan Budaga, Kecamatan Semarapura, Kabupaten Klungkung, pada Sabtu, 17 September 2011.
Peristiwa yang kedua itu juga merenggut seorang korban jiwa, I Ketut Ariaka (56) dan puluhan warga dari kedua belah pihak, termasuk polisi yang mendamaikan kedua kelompok yang bertikai itu juga mengalami luka-luka.
Bentrok antarwarga yang saling bertetangga itu dipicu perebutan tempat suci (Pura) Dalem, kuburan (Setra) dan pura Prajapati (tempat suci dalam lingkungan kuburan). Konflik antarbanjar itu sebenarnya terjadi sejak pertengahan 2010 dan berbagai pihak yakni Pemkab Klungkung, Polres, dan Mejelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Provinsi Bali berusaha mendamaikan dan mencarikan jalan yang terbaik, namun tidak membuahkan hasil sesuai yang diharapkan.
Konflik yang bernuansa adat itu terus bergulir hingga akhirnya meletus bentrok antarwarga, meskipun sebelumnya telah diantisipasi Polres Klungkung dengan menempatkan personel dibantu satuan Brimob Polda Bali.
Antisipasi itu dilakukan jauh sebelum meletusnya bentrok karena ada informasi warga Kemoning akan memasang papan batas wilayah. Sementara masyarakat Desa Budaga sebelumnya sudah memasang papan nama Adat Budaga di jalan Pudak menuju Pura Dalem.
Berbagai antisipasi sebenarnya telah dilakukan Polres Klungkung agar tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan bahkan, bahkan Kapolres Klungkung memfasilitasi rapat bersama Muspika yang melibatkan pengurus adat dan tokoh masyarakat kedua desa yang yang bersengketa itu.
Menurut Guru besar Fakultas Sastra Universitas Udayana Prof Dr I Gde Parimartha MA, maraknya kasus-kasus bernuansa adat di Bali dirasakan sejak adanya Peraturan Daerah (Perda) Desa Pekraman Nomor 3 tahun 2001.
Perda itu memberikan bobot yang tinggi atau otonomi desa adat (desa pekraman) yang berlebihan, namun tidak mampu membangun kedamaian bagi seluruh warganya. Akibat otonomi desa adat yang berlebihan itu mengakibatkan sedikit saja terjadi konflik terus berkembang, bahkan sampai melakukan pemekaran desa adat.
Oleh sebab itu perda yang mengatur tentang desa Pekraman tersebut perlu direvisi dan disempurnakan oleh DPRD Bali, sekaligus mengatur beban tugas antara desa dinas dan desa pekraman di Bali.
Revisi dan penyempurnaan itu penting, mengingat Perda Desa Pekraman Nomor 3 tahun 2001 itu hanya mengatur desa adat dan tidak menyebutkan adanya desa dinas, padahal antara desa adat dan desa dinas di Bali selama ini mengemban tugas masing-masing yang satu sama lainnya saling mendukung.
"Revisi perda itu dinilai sangat penting dan mendesak untuk menyelamatkan desa pekraman, sekaligus mengemban tugas-tugas yang semakin berat di masa mendatang," harap Prof Parimarha.
Kokoh dan kental
Meskipun konfik bernuansa adat belum berhasil ditangani secara tuntas, masyarakat Bali masih sangat kental menghargai adat dan budayanya di tengah era modernisasi dewasa ini.
"Demikian pula tradisi kehidupan desa adat (Pakraman) di Bali hingga kini tetap kokoh dan eksis sesuai perkembangan zaman, meski hal itu diwarisi jauh sebelum Indonesia merdeka," tutur Guru besar Fakultas Hukum Universitas Udayana Prof Dr Wayan P. Windia.
Masing-masing desa pekraman mempunyai adat kebiasaan atau "awig-awig" untuk mengatur tatanan kehidupan, sesuai situasi dan kondisi objektif tempat, waktu dan keadaan (desa, kala, patra).
Di Bali hingga kini tercatat 1.453 desa adat, bertambah dibanding sepuluh tahun sebelumnya yang tercatat 1.371 desa tersebar di delapan kabupaen dan satu kota.
Prof P. Windia menilai, peran desa pakraman dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul di wilayahnya masing-masing sangat besar. Jika ada masalah yang muncul, baik dipicu masalah pribadi, keluarga maupun masyarakat pertama-tama akan diselesaikan oleh perangkat pimpinan (prajuru) desa adat.
Jika kata sepakat tidak tercapai, permasalahan akan dibahas dalam rapat (paruman) yang melibatkan seluruh warga desa pekraman. Warga desa yang terbukti melakukan pelanggaran adat, namun tetap bersikukuh dengan pendiriannya, tidak bersedia menaati keputusan rapat dapat dijatuhi sanksi.
Sanksi tersebut mulai dari yang paling ringan berupa permintaan maaf kepada seluruh warga, sampai yang paling berat, berupa pemberhentian atau dikucilkan sebagai warga desa adat (kasepekang).
Desa pakraman setelah menjatuhkan sanksi menganggap permasalahannya telah selesai, tanpa perlu membahasnya lebih lanjut, apakah yang dikenakan sanksi itu menangis atau apakah sesuai atau tidak dengan hak azasi manusia (HAM).
"Apapun jenis sanksi yang dijatuhkan tidak menjadi soal bagi orang lain atau desa pekraman yang lain, karena hal itu dianggap urusan intern desa pekraman sesuai desa 'mawacara', yakni tradisi adat dan kebiasaan yang diwarisi secara turun temurun," tutur Prof Wayan P. Windia.
Terjadinya konflik bernuansa adat di Bali bukan akibat memudarnya penghargaan masyarakat akan aturan adat -istiadatnya. Bahkan tidak benar jika masyarakat Bali dikatakan tak lagi menghormati adatnya. Modernisasi memang banyak pengaruhnya pada kehidupan adat masyarakat Bali, tetapi itu lebih pada konteks yang netral.
Konteks netral yang dimaksud, kata Prof Windia, contohnya dalam investasi dan profesi. Sepanjang investasi tidak menyentuh lahan yang berhubungan dengan kepercayaan (kawasan suci), aturan yang dipakai adalah aturan pemerintah secara umum.
Namun, jika menyangkut kawasan suci, aturan yang dipakai tetap bersinergi dengan aturan dalam adat Bali, dengan harapan mampu mewujudkan kedamaian, kenyamanan dan ketentraman bagi warga desa adat, dan seluruh masyarakat Bali termasuk wisatawan yang berliburan ke daerah ini, tutur Prof Windia.(**)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011