Warga Desa Adat Busungbiu, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Bali, melaksanakan ritual Nyepi Desa dan Nyakan Diwang (memasak di luar rumah).

"Ritual Nyepi Desa dan Nyakan Diwang dilaksanakan pada Minggu (29/9) dalam rangkaian upacara besar atau Pujawali Agung," kata Kelian Desa Adat Busungbiu Nyoman Dekter di Buleleng, Senin pagi.

Ia menjelaskan puncak upacara besar atau Pujawali Agung akan diselenggarakan pada Purnama Kapat pertengahan Oktober mendatang.

"Ritual Nyepi Desa ini dilaksanakan sebagai bentuk penyucian karang desa di wilayah Desa Adat Busungbiu, khususnya di pekarangan masing-masing rumah keluarga," katanya.

Baca juga: Setelah Nyepi, masyarakat desa di Buleleng tradisikan "Nyakan Diwang"

Pada prinsipnya, Nyepi Desa ini sama dengan Hari Nyepi yang biasanya dilaksanakan warga Hindu. Hanya saja, Nyepi ini hanya dilakukan di Desa Adat Busungbiu yang bertujuan untuk menyucikan pekarangan.

Pada saat Nyepi, aktivitas seluruh warga ditiadakan, dan malam harinya juga tidak boleh menyalakan lampu. "Yang berbeda, pada saat Nyepi, warga masih tetap boleh memasak, hanya saja dilakukan di luar rumah, atau di dekat pintu masuk ke rumah sehingga disebut Nyakan Diwang," katanya.

Sehari sebelum pelaksanaan Nyepi Desa, krama Desa Pakraman Busungbiu menggelar upacara Melabuh Gentuh, ritual mecaru desa dengan beberapa hewan yang sudah ditentukan. Adapun hewan yang digunakan yaitu sapi, kambing, kucit (anak babi), angsa, anjing.

Sebelum digunakan sebagai caru, hewan-hewan tersebut disucikan ke Pura Pebijian, dirias, kemudian diarak mengelilingi Pura Puseh.

"Pecaruan dengan daging hewan-hewan tersebut dilakukan di beberapa titik tempat sesuai dengan dresta yang sudah kami terima secara turun temurun. Misalnya, angsa itu digunakan caru di jaba tengah Pura Desa, kucit di Pura Pebijian, kambing di Pengubengan, dan sapi di dekat setra atau kuburan," katanya.

Baca juga: Pecalang lakukan patroli saat malam Nyepi

Hal unik lainnya dari ritual Nyepi Desa di Desa Pakraman Busungbiu adalah, di dekat pintu masuk wajib membuat sanggah cucuk dengan menggantungkan replika senjata tajam yang terbuat dari kayu seperti pisau, blakas, keris, ataupun pedang.

"Replika senjata tajam itu diyakini sebagai simbol untuk menghalau bhuta kala yang bermaksud jahat yang akan memasuki pekarangan rumah warga. Sampai saat ini, tradisi dan keyakinan krama desa adat Busungbiu itupun masih dilestarikan," ujarnya.

Baca juga: Wapres: Perbedaan agama justru persatukan bangsa (video)

Pewarta: Made Adnyana

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019