Seorang Nelayan yang bekerja di perairan Danau Tamblingan, I Putu Edy Setyawan mengatakan hasil tangkapan ikan mengalami penurunan kalau dibandingkan tahun sebelumnya sebagai akibat perubahan iklim yang sulit diprediksi.
Edy mengatakan pendapatan sebagai nelayan dengan hasil yang tidak menentu membuatnya menjadikan harus beralih profesi sebagai buruh lepas, bangunan.
"Iya jadi saya terpaksa kerja ikut borongan bikin batako, dan nggak tentu juga dapetnya kapan, setelah ngerjain itu saya biasanya langsung cari ikan, kalau banyak dijual di pasar, tapi kalau sedikit ditawarkan ke warga sekitar saja," katanya.
Ia menuturkan bila dibandingkan dengan tahun lalu, memasuki bulan Juli - September penangkapan ikan seperti mujair meningkat hingga 40-50 kg, berbeda dengan tahun ini, yang hanya mencapai 30 kg.
Selain ada ikan mujair, ikan lele, ikan kaper biasanya juga menjadi hasil tangkapan disaat musim sedang mendukung. Perkilo gramnya, Edy menjual seharga Rp25 ribu, dengan menyasar warga sekitar dan juga pasar di desa Munduk. Dengan hasil keuntungan, sekitar Rp150 ribu, tergantung dari besarnya hasil tangkapan.
Edy mengaku musim yang sangat dinanti, yaitu saat menjelang memasuki bulan mati atau tilem. Hal ini ditandai dengan mudahnya ikan - ikan naik di atas permukaan danau dan memudahkan nelayan dalam menebar jaring.
Sedangkan jika pada saat musim hujan di bulan Maret, ikan lele lebih banyak didapatkan di perairan danau Tamblingan.
Edy bersama tujuh Nelayan lainnya yang masih bertahan ini, memulai perjalanan untuk menangkap ikan sekitar pukul 07.00 pagi. Para nelayan juga menangkap ikan menggunakan jaring, dan menjaringnya pun juga ditentukan berdasarkan kedalamannya. Sekitar pukul 11.00 wita pihaknya kembali ke pinggir untuk mengeluarkan hasil tangkapannya untuk dijual.
Baca juga: Wisata perahu di Danau Tamblingan mampu gaet turis asing
Selain itu, setiap Nelayan yang ingin melaut untuk menangkap ikan, harus memiliki perahu jukung pribadi untuk bekerja. Harga persatuan kapal itu, sekitar Rp2,5 Juta, ditambah lagi kelengkapan jaring dengan total Rp5 Juta.
"Perahu jukung ini saya beli dengan harga Rp2,5 juta. Selain itu, perawatannya juga ditanggung nelayan masing - masing, dan biasanya saya cat ulang, dan di cek bagian - bagian perahu sampai aman dan layak jalan,"ucapnya.
Perahu yang digunakan Edy biasanya hanya bertahan 2,5 hingga 3 tahun sebagai perahu yang layak dijalankan. Karena Edy menuturkan bahwa tidak diperbolehkan menggunakan perahu dengan mesin.
Baca juga: Danau Buyan-Tamblingan Bali dikembangkan jadi kawasan ekoturisme
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
Edy mengatakan pendapatan sebagai nelayan dengan hasil yang tidak menentu membuatnya menjadikan harus beralih profesi sebagai buruh lepas, bangunan.
"Iya jadi saya terpaksa kerja ikut borongan bikin batako, dan nggak tentu juga dapetnya kapan, setelah ngerjain itu saya biasanya langsung cari ikan, kalau banyak dijual di pasar, tapi kalau sedikit ditawarkan ke warga sekitar saja," katanya.
Ia menuturkan bila dibandingkan dengan tahun lalu, memasuki bulan Juli - September penangkapan ikan seperti mujair meningkat hingga 40-50 kg, berbeda dengan tahun ini, yang hanya mencapai 30 kg.
Selain ada ikan mujair, ikan lele, ikan kaper biasanya juga menjadi hasil tangkapan disaat musim sedang mendukung. Perkilo gramnya, Edy menjual seharga Rp25 ribu, dengan menyasar warga sekitar dan juga pasar di desa Munduk. Dengan hasil keuntungan, sekitar Rp150 ribu, tergantung dari besarnya hasil tangkapan.
Edy mengaku musim yang sangat dinanti, yaitu saat menjelang memasuki bulan mati atau tilem. Hal ini ditandai dengan mudahnya ikan - ikan naik di atas permukaan danau dan memudahkan nelayan dalam menebar jaring.
Sedangkan jika pada saat musim hujan di bulan Maret, ikan lele lebih banyak didapatkan di perairan danau Tamblingan.
Edy bersama tujuh Nelayan lainnya yang masih bertahan ini, memulai perjalanan untuk menangkap ikan sekitar pukul 07.00 pagi. Para nelayan juga menangkap ikan menggunakan jaring, dan menjaringnya pun juga ditentukan berdasarkan kedalamannya. Sekitar pukul 11.00 wita pihaknya kembali ke pinggir untuk mengeluarkan hasil tangkapannya untuk dijual.
Baca juga: Wisata perahu di Danau Tamblingan mampu gaet turis asing
Selain itu, setiap Nelayan yang ingin melaut untuk menangkap ikan, harus memiliki perahu jukung pribadi untuk bekerja. Harga persatuan kapal itu, sekitar Rp2,5 Juta, ditambah lagi kelengkapan jaring dengan total Rp5 Juta.
"Perahu jukung ini saya beli dengan harga Rp2,5 juta. Selain itu, perawatannya juga ditanggung nelayan masing - masing, dan biasanya saya cat ulang, dan di cek bagian - bagian perahu sampai aman dan layak jalan,"ucapnya.
Perahu yang digunakan Edy biasanya hanya bertahan 2,5 hingga 3 tahun sebagai perahu yang layak dijalankan. Karena Edy menuturkan bahwa tidak diperbolehkan menggunakan perahu dengan mesin.
Baca juga: Danau Buyan-Tamblingan Bali dikembangkan jadi kawasan ekoturisme
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019