Polemik soal Esport menjadi salah satu sorotan perayaan Hari Olah Raga Nasional (Haornas) ke-36 yang berlangsung di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Sejumlah pakar dari dunia turnamen video games, psikologi, keilmuan olah raga, ekonomi hingga budayawan menjadi pembicara di dalam Simposium Interpretasi Esport dalam Wacana Keolahragaan Nasional di Banjarmasin, Sabtu.
Deputi Pembudayaan Olah Raga Kementerian Pemuda dan Olah Raga Raden Isnanta berharap simposium itu bisa memberikan masukan dan solusi kepada Kemenpora terkait kebijakan pemerintah dalam mengatur esport.
"PR terbesar adalah bagaimana kita mengkaji dan mengawal supaya tidak terjadi malpraktik sehingga tidak mengganggu dimensi kesehatan sosial, psikologis dan lainnya," kata Isnanta
"Ini barang baru dan kita harus menghadapi tantangan global karena faktanya esport ini digandrungi berjuta-juta orang."
Baca juga: Kemenpora gelar simposium bahas masa depan eSport di Indonesia
Salah satu pembicara simposium itu adalah presiden Asosiasi Esport Indonesia (IESPA) Eddy Lim, yang memberikan gambaran umum perbedaan esport dan permainan video secara umum.
Eddy mengungkapkan jika permainan video itu hanya untuk kesenangan sedangkan esport itu membutuhkan konsentrasi, kecepatan otak dan reaksi.
Latihan bermain gim satu hingga dua jam saja bagi atlet esport sudah berat karena menuntut skil belajar dan adu strategi. Mereka juga membutuhkan kondisi badan yang fit untuk menjaga konsentrasi mereka di dalam kompetisi.
Latihan fisik dan strategi itu lah yang menjadi makanan sehari-hari atlet esport.
"Itu lah kenapa esport dijadikan sebagai olah raga dan diterima sebagai olah raga," kata Eddy.
Di satu sisi, permainan video bisa menawarkan potensi dan peluang besar untuk berkembang menjadi suatu industri olah raga dan jalan meraih prestasi.
Namun di sisi lain, jika tidak dikelola secara profesional dan dipahami batasannya, maka permainan elektronik itu bisa menimbulkan dampak kesehatan mulai kecanduan, gangguan fisik dan mental, hingga dampak sosial dan budaya.
Baca juga: Tim ROC Bali sabet juara e-sport "Piala Presiden 2019" (video)
Benar jika permainan video bisa melatih ketrampilan motorik, koordinasi tangan dan mata, serta melatih penggunanya untuk berfikir kritis, ungkap Dr. Cempaka Thursina dari Divisi Neuropediatri, Departemen Neurologi FKKMK UGM.
Namun, permainan video juga bisa menimbulkan efek negatif seperti cedera, kecanduan, penggunaan obat-obatan stimulan dan sejumlah penyakit seperti gangguan kesehatan mata, degenerasi otot, sindrom metabolik hingga osteoporosis.
"Idealnya bermain gim jangan lebih dari 20 jam per minggu. Karena kalau sudah lebih dari itu bisa dimasukkan ke dalam kriteria gaming disorder," kata Cempaka.
Di sini pengawasan dan pendampingan orang tua juga menjadi salah satu faktor penting.
Masalah fundamental yang menjadi pokok bahasan adalah apakah esport bisa didefinisikan sebagai olah raga.
Pakar keilmuan olah raga Adang Suherman mengungkapkan jika saat ini tidak ditemukan elemen penting bahwa esport adalah olah raga terutama karena minimnya kegiatan fisik sebagaimana dimaksud dalam olah raga.
Benar ada gerakan tangan dan cara merespon permainan, "namun masih diperlukan data empiris yang dikaji dalam perspektif tertentu termasuk tuntutan aktifitas fisik minimal dari WHO," kata Adang.
Aktifitas fisik menurut WHO adalah kegiatan badaniah yang dilakukan oleh otot-otot rangka yang butuh pengeluaran energi.
"Namun demikian, kepentingan komersial dan bisnis yang cukup tinggi bisa menjadi kelemahan bagi komunitas olah raga untuk bisa menerima esport menjadi olah raga," kata Adang.
Dalam diskusi panel tersebut, para pembicara sepakat jika Esport adalah industri baru yang tak bisa dihindari.
Oleh karenanya harus dikontrol dan perlu dibuatkan regulasi tentang pembatasan dan aturan main serta bagaimana bentuk industrinya ke depan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
Sejumlah pakar dari dunia turnamen video games, psikologi, keilmuan olah raga, ekonomi hingga budayawan menjadi pembicara di dalam Simposium Interpretasi Esport dalam Wacana Keolahragaan Nasional di Banjarmasin, Sabtu.
Deputi Pembudayaan Olah Raga Kementerian Pemuda dan Olah Raga Raden Isnanta berharap simposium itu bisa memberikan masukan dan solusi kepada Kemenpora terkait kebijakan pemerintah dalam mengatur esport.
"PR terbesar adalah bagaimana kita mengkaji dan mengawal supaya tidak terjadi malpraktik sehingga tidak mengganggu dimensi kesehatan sosial, psikologis dan lainnya," kata Isnanta
"Ini barang baru dan kita harus menghadapi tantangan global karena faktanya esport ini digandrungi berjuta-juta orang."
Baca juga: Kemenpora gelar simposium bahas masa depan eSport di Indonesia
Salah satu pembicara simposium itu adalah presiden Asosiasi Esport Indonesia (IESPA) Eddy Lim, yang memberikan gambaran umum perbedaan esport dan permainan video secara umum.
Eddy mengungkapkan jika permainan video itu hanya untuk kesenangan sedangkan esport itu membutuhkan konsentrasi, kecepatan otak dan reaksi.
Latihan bermain gim satu hingga dua jam saja bagi atlet esport sudah berat karena menuntut skil belajar dan adu strategi. Mereka juga membutuhkan kondisi badan yang fit untuk menjaga konsentrasi mereka di dalam kompetisi.
Latihan fisik dan strategi itu lah yang menjadi makanan sehari-hari atlet esport.
"Itu lah kenapa esport dijadikan sebagai olah raga dan diterima sebagai olah raga," kata Eddy.
Di satu sisi, permainan video bisa menawarkan potensi dan peluang besar untuk berkembang menjadi suatu industri olah raga dan jalan meraih prestasi.
Namun di sisi lain, jika tidak dikelola secara profesional dan dipahami batasannya, maka permainan elektronik itu bisa menimbulkan dampak kesehatan mulai kecanduan, gangguan fisik dan mental, hingga dampak sosial dan budaya.
Baca juga: Tim ROC Bali sabet juara e-sport "Piala Presiden 2019" (video)
Benar jika permainan video bisa melatih ketrampilan motorik, koordinasi tangan dan mata, serta melatih penggunanya untuk berfikir kritis, ungkap Dr. Cempaka Thursina dari Divisi Neuropediatri, Departemen Neurologi FKKMK UGM.
Namun, permainan video juga bisa menimbulkan efek negatif seperti cedera, kecanduan, penggunaan obat-obatan stimulan dan sejumlah penyakit seperti gangguan kesehatan mata, degenerasi otot, sindrom metabolik hingga osteoporosis.
"Idealnya bermain gim jangan lebih dari 20 jam per minggu. Karena kalau sudah lebih dari itu bisa dimasukkan ke dalam kriteria gaming disorder," kata Cempaka.
Di sini pengawasan dan pendampingan orang tua juga menjadi salah satu faktor penting.
Masalah fundamental yang menjadi pokok bahasan adalah apakah esport bisa didefinisikan sebagai olah raga.
Pakar keilmuan olah raga Adang Suherman mengungkapkan jika saat ini tidak ditemukan elemen penting bahwa esport adalah olah raga terutama karena minimnya kegiatan fisik sebagaimana dimaksud dalam olah raga.
Benar ada gerakan tangan dan cara merespon permainan, "namun masih diperlukan data empiris yang dikaji dalam perspektif tertentu termasuk tuntutan aktifitas fisik minimal dari WHO," kata Adang.
Aktifitas fisik menurut WHO adalah kegiatan badaniah yang dilakukan oleh otot-otot rangka yang butuh pengeluaran energi.
"Namun demikian, kepentingan komersial dan bisnis yang cukup tinggi bisa menjadi kelemahan bagi komunitas olah raga untuk bisa menerima esport menjadi olah raga," kata Adang.
Dalam diskusi panel tersebut, para pembicara sepakat jika Esport adalah industri baru yang tak bisa dihindari.
Oleh karenanya harus dikontrol dan perlu dibuatkan regulasi tentang pembatasan dan aturan main serta bagaimana bentuk industrinya ke depan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019