Agen tiket, “tour and travel”, bahkan jadwal penerbangan nampaknya akan menjadi hal usang di industri penerbangan. Padahal komponen-komponen rantai usaha tersebut merupakan bagian penting dari sebuah proses industri penerbangan. Bagaimana bisa menyublim begitu saja?
Teknologi, itu adalah kata yang tempat untuk mewakili bagaimana rantai-rantai pendulang ekonomi penerbangan tersebut perlahan menyublim dari benak masyarakat. Semua sektor bahkan turut termakan akan adanya kemajuan teknologi, seakan seperti “si waktu” yang menjadi pemakan segala yang ada.
Namun, semua hal nampaknya harus beradaptasi jika tidak ingin tergilas peradaban. Tidak terkecuali industri penerbangan yang mulai mengusung konsep 3.0. Kajian ilmu pengetahuan dan teknologi ini mulai menemukan masa puncak jayanya ketika ditemukannya nilai tambah secara ekonomis dari apa yang disebut “Big Data”.
Seolah “Big Data”, saat ini adalah emas yang memiliki kandungan tertingginya diantara unsur logam mulia lainnya. Barang siapa menguasai pengolahan statistik big data, maka ia akan menguasai pasar. Formula tersebut yang sedang terjadi di revolusi industri penerbangan.
Salah satu peneliti big data di perusahaan penerbangan internasional, AirAsia, bahkan sudah memunculkan diversifikasi bisnis akibat olahan data-data yang dapat mampu berbicara tersebut. Head of Data Science and Insights AirAsia, Sadesh Manikam bahkan mampu menyimpulkan jika bisnis transportasi penerbangan, hanya akan menjadi salah satu bagian kecil dari usaha AirAsia Group.
Perusahaan yang berbasis di Malaysia tersebut, sudah mampu membaca tren bisnis ke depan, transformasi yang dilakukan tidak sembarangan, dari bisnis transportasi menjadi fintech atau finansial teknologi yang berbasis aplikasi. Melalui laman utamanya di dunia maya, AirAsia akan menjadi aplikasi yang bersarang di gawai para konsumen.
Dompet elektronik (e-wallet), akan menjadi konsep utama yang disebut dengan “Big Pay”, mengusung transaksi nontunai yang sudah menebar di segala sektor. Dengan olahan data-data algoritma kebiasaan para pelanggannya, AirAsia membaca peluang di sektor fintech.
Konsumen tidak perlu repot mencari konsep liburan seperti apa yang mereka inginkan, karena dengan kebiasaan personal sendiri, aplikasi dari perusahaan penerbangan tersebut akan menawarkan lokasi serta konsep liburan yang sesuai untuk konsumen melalui tawaran promosi liburan lewat aplikasi AirAsia. Dalam konteks pembacaan algoritma mengenai promosi liburan tersebut telah menghilangkan rantai jasa perencanaan liburan dari “tour and travel”.
Lebih lanjut, Group Head Communication Audrey Progastama Petriny kedepannya akan menawarkan konsep liburan yang mengutamakan gaya hidup (lifestyle) dengan menyediakan wifi dalam kabin pesawat terbang yang selama ini tabu untuk dinyalakan selama mengudara.
Mengumpulkan statistik data pelanggan akan memunculkan kesimpulan baru untuk tiap personal konsumen, bahkan pilihan makanan pun akan dapat ditawarkan seperti restoran ketika berada di pesawat. Selain itu, untuk mengutamakan pelayanan, setiap keluhan pelanggan selama penerbangan atau pasca mengudara akan terbalas otomatis melalui “Chabot”, atau tulisan yang terjawab otomatis melalui kecerdasan buatan.
“Begitulah luar biasanya riset data, bahkan robot pun sudah dapat kami latih menangani keluhan pelanggan,” kata Audrey. Selain itu, maskapai ber-plat merah Garuda Indonesia juga sedang terjun ke jalur nirkabel, dengan menghadirkan wifi di kabin burung besi.
Setidaknya 30 pesawat tengah dipersiapkan untuk mendapatkan layanan selancar di dunia maya ketika lepas landas. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Teknik dan Layanan Garuda Indonesia Iwan Juliarto.
Kecerdasan buatan dan big data akan menjadi kunci sebagai pintu revolusi dunia industri, bahkan 95 persen usaha retail sudah beralih ke tingkat on line setelah memhami peluang tersebut, menurut data Aprindo.
Memahami kebiasaan konsumen adalah langkah paling ideal dalam memberikan pelayanan bisnis jasa, karena tidak akan membuang waktu dalam memberikan program serta pilihan promosi yang sesuai.
Dengan adanya konsep traveling yang mengutamakan pengalaman, maka liburan akan menjadi kebutuhan, bukan hanya sebagai komplementer atau pelengkap. AirAsia dan Garuda Indonesia mulai menunjukkan pola perubahan industri penerbangan yang kini lebih mudah dijangkau semua kalangan denga berbagai fasilitas penunjang.
Baca juga: Maskapai Garuda rute Bandung-Denpasar pindah ke Bandara Kertajati
Pelanggan juga akan dipermudah dengan beragamnya tawaran yang bisa diakses dalam genggaman tangan, seperti tukar menukar mata uang yang sebelumnya merepotkan pelancong, ternyata bisa dilakukan dengan aplikasi secara cashless atau nontunai bahkan biaya konversinya lebih murah dibandingkan jika menuju gerai jasa penukaran uang.
Pembacaan algoritma dari kebiasaan konsumen adalah serapan dari riset pemasaran yang dilakukan memanfaatkan teknologi. Dari sebanyak ratusan ribu orang yang melakukan transaksi penerbangan.
Per individu dianalisa untuk meruncingkan pilihan-pilihan yang paling sesuai dengan pribadi masing-masing, sehingga akan lebih efisien bagi kedua pihak, baik korporasi ataupun konsumen.
Di sisi lain revolusi Industri penerbangan tersebut akan memiliki dua mata pisau yang menurunkan peran serta sumber daya manusia dengan mengatasnamakan efisiensi. Tidak dapat dihindari adaptasi yang dilakukan akan mengurangi jumlah pekerja yang ada, karena akan memaksimalkan peran robot dan teknologi.
Tetapi, adaptasi dari kemampuan korporasi dalam memanajemen skill sumber daya manusia dapat menghindarkan efek negatif tersebut. Salah satu contoh, AirAsia yang akan bertransformasi menjadi fintech, juga akan memiliki bisnis kargo serta retail restauran yang masih menjadi setali tiga uang dalam industri penerbangan.
Saat ini ekspansi fintech di Indonesia pun masih menunggu persetujuan dari Ototitas Jasa Keungan (OJK) yang memiliki wewenang di ranah usaha tersebut. Nampaknya, akan semakin banyak dibutuhkan para ilmuwan serta pakar dibidang statistik dan data teknologi yang mampu memberikan probabilitas terbaik dari setiap hal.
Baca juga: Menhub akan kaji kompetisi dengan penerbangan asing
Baca juga: Garuda tingkatkan perawatan armada Boeing 737 Max 8
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
Teknologi, itu adalah kata yang tempat untuk mewakili bagaimana rantai-rantai pendulang ekonomi penerbangan tersebut perlahan menyublim dari benak masyarakat. Semua sektor bahkan turut termakan akan adanya kemajuan teknologi, seakan seperti “si waktu” yang menjadi pemakan segala yang ada.
Namun, semua hal nampaknya harus beradaptasi jika tidak ingin tergilas peradaban. Tidak terkecuali industri penerbangan yang mulai mengusung konsep 3.0. Kajian ilmu pengetahuan dan teknologi ini mulai menemukan masa puncak jayanya ketika ditemukannya nilai tambah secara ekonomis dari apa yang disebut “Big Data”.
Seolah “Big Data”, saat ini adalah emas yang memiliki kandungan tertingginya diantara unsur logam mulia lainnya. Barang siapa menguasai pengolahan statistik big data, maka ia akan menguasai pasar. Formula tersebut yang sedang terjadi di revolusi industri penerbangan.
Salah satu peneliti big data di perusahaan penerbangan internasional, AirAsia, bahkan sudah memunculkan diversifikasi bisnis akibat olahan data-data yang dapat mampu berbicara tersebut. Head of Data Science and Insights AirAsia, Sadesh Manikam bahkan mampu menyimpulkan jika bisnis transportasi penerbangan, hanya akan menjadi salah satu bagian kecil dari usaha AirAsia Group.
Perusahaan yang berbasis di Malaysia tersebut, sudah mampu membaca tren bisnis ke depan, transformasi yang dilakukan tidak sembarangan, dari bisnis transportasi menjadi fintech atau finansial teknologi yang berbasis aplikasi. Melalui laman utamanya di dunia maya, AirAsia akan menjadi aplikasi yang bersarang di gawai para konsumen.
Dompet elektronik (e-wallet), akan menjadi konsep utama yang disebut dengan “Big Pay”, mengusung transaksi nontunai yang sudah menebar di segala sektor. Dengan olahan data-data algoritma kebiasaan para pelanggannya, AirAsia membaca peluang di sektor fintech.
Konsumen tidak perlu repot mencari konsep liburan seperti apa yang mereka inginkan, karena dengan kebiasaan personal sendiri, aplikasi dari perusahaan penerbangan tersebut akan menawarkan lokasi serta konsep liburan yang sesuai untuk konsumen melalui tawaran promosi liburan lewat aplikasi AirAsia. Dalam konteks pembacaan algoritma mengenai promosi liburan tersebut telah menghilangkan rantai jasa perencanaan liburan dari “tour and travel”.
Lebih lanjut, Group Head Communication Audrey Progastama Petriny kedepannya akan menawarkan konsep liburan yang mengutamakan gaya hidup (lifestyle) dengan menyediakan wifi dalam kabin pesawat terbang yang selama ini tabu untuk dinyalakan selama mengudara.
Mengumpulkan statistik data pelanggan akan memunculkan kesimpulan baru untuk tiap personal konsumen, bahkan pilihan makanan pun akan dapat ditawarkan seperti restoran ketika berada di pesawat. Selain itu, untuk mengutamakan pelayanan, setiap keluhan pelanggan selama penerbangan atau pasca mengudara akan terbalas otomatis melalui “Chabot”, atau tulisan yang terjawab otomatis melalui kecerdasan buatan.
“Begitulah luar biasanya riset data, bahkan robot pun sudah dapat kami latih menangani keluhan pelanggan,” kata Audrey. Selain itu, maskapai ber-plat merah Garuda Indonesia juga sedang terjun ke jalur nirkabel, dengan menghadirkan wifi di kabin burung besi.
Setidaknya 30 pesawat tengah dipersiapkan untuk mendapatkan layanan selancar di dunia maya ketika lepas landas. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Teknik dan Layanan Garuda Indonesia Iwan Juliarto.
Kecerdasan buatan dan big data akan menjadi kunci sebagai pintu revolusi dunia industri, bahkan 95 persen usaha retail sudah beralih ke tingkat on line setelah memhami peluang tersebut, menurut data Aprindo.
Memahami kebiasaan konsumen adalah langkah paling ideal dalam memberikan pelayanan bisnis jasa, karena tidak akan membuang waktu dalam memberikan program serta pilihan promosi yang sesuai.
Dengan adanya konsep traveling yang mengutamakan pengalaman, maka liburan akan menjadi kebutuhan, bukan hanya sebagai komplementer atau pelengkap. AirAsia dan Garuda Indonesia mulai menunjukkan pola perubahan industri penerbangan yang kini lebih mudah dijangkau semua kalangan denga berbagai fasilitas penunjang.
Baca juga: Maskapai Garuda rute Bandung-Denpasar pindah ke Bandara Kertajati
Pelanggan juga akan dipermudah dengan beragamnya tawaran yang bisa diakses dalam genggaman tangan, seperti tukar menukar mata uang yang sebelumnya merepotkan pelancong, ternyata bisa dilakukan dengan aplikasi secara cashless atau nontunai bahkan biaya konversinya lebih murah dibandingkan jika menuju gerai jasa penukaran uang.
Pembacaan algoritma dari kebiasaan konsumen adalah serapan dari riset pemasaran yang dilakukan memanfaatkan teknologi. Dari sebanyak ratusan ribu orang yang melakukan transaksi penerbangan.
Per individu dianalisa untuk meruncingkan pilihan-pilihan yang paling sesuai dengan pribadi masing-masing, sehingga akan lebih efisien bagi kedua pihak, baik korporasi ataupun konsumen.
Di sisi lain revolusi Industri penerbangan tersebut akan memiliki dua mata pisau yang menurunkan peran serta sumber daya manusia dengan mengatasnamakan efisiensi. Tidak dapat dihindari adaptasi yang dilakukan akan mengurangi jumlah pekerja yang ada, karena akan memaksimalkan peran robot dan teknologi.
Tetapi, adaptasi dari kemampuan korporasi dalam memanajemen skill sumber daya manusia dapat menghindarkan efek negatif tersebut. Salah satu contoh, AirAsia yang akan bertransformasi menjadi fintech, juga akan memiliki bisnis kargo serta retail restauran yang masih menjadi setali tiga uang dalam industri penerbangan.
Saat ini ekspansi fintech di Indonesia pun masih menunggu persetujuan dari Ototitas Jasa Keungan (OJK) yang memiliki wewenang di ranah usaha tersebut. Nampaknya, akan semakin banyak dibutuhkan para ilmuwan serta pakar dibidang statistik dan data teknologi yang mampu memberikan probabilitas terbaik dari setiap hal.
Baca juga: Menhub akan kaji kompetisi dengan penerbangan asing
Baca juga: Garuda tingkatkan perawatan armada Boeing 737 Max 8
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019