Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo meluncurkan buku berjudul Demokrasi dan Kedaruratan untuk mengajak pembaca menelaah pemikiran ahli filsafat asal Italia Giorgio Agamben terhadap status darurat dalam negara demokrasi.
"Buku ini adalah disertasi yang diuji dalam sidang terbuka Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara pada 9 Desember 2017. Selama dua tahun saya selesaikan disertasi ini," kata Agus pada peluncuran buku di Gedung Dewan Pers Jakarta, Selasa.
Buku setebal 326 halaman ini mengulas hubungan antara keadaan darurat, status darurat dan keadaan pengecualian pada negara yang menganut demokrasi berdasarkan pemikiran Giorgio Agamben.
Dalam penelitian Agemben, kata Agus, rezim demokrasi tidak secara konsekuen menempatkan keadaan darurat sebagai momentum sejarah yang tidak boleh terulang kembali. Namun kedaruratan itu kerap dinyatakan dalam keadaan sesungguhnya tidak benar-benar darurat.
"Dapat disebut di sini darurat keamanan nasional, darurat konstitusi, darurat terorisme, darurat radikalisme dan sebagainya diidentifikasi sebagai keadaan normal," katanya.
Merujuk pada pemikiran Agamben, kata Agus, fakta yang ganjil tersebut merupakan kecenderungan yang cukup dominan di banyak negara demokrasi seperti di negara bagian barat.
"Deklarasi status darurat sejatinya merupakan pengakuan bahwa negara tidak berhasil menjalankan janji demokrasi. Keadaan darurat juga menjadi alasan pembenar bagi kelompok masyarakat untuk melawan hukum dan kekuasaan resmi," kata Agus mengutip pemikiran Agamben.
Ketika status darurat tidak sungguh-sungguh merujuk pada keadaan krisis, maka secara ontologis sulit membedakan keadaan krisis dan keadaan normal.
Agus mengatakan buku yang mengangkat tema Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben ini mengoreksi tesis tersebut.
"Terlepas dari pesimisme Agamben terhadap demokrasi yang agak berlebihan, pemikiran Agamben sangat relevan sebagai titik tolak menyoroti negara demokrasi dewasa ini yang direpotkan keadaan darurat secara berlebihan," kata Agus.
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengapresiasi peluncuran buku tersebut sebagai bentuk pembelajaran bagi masyarakat dalam melihat arah demokrasi Indonesia saat ini.
"Buku ini menunjukkan semangat akademis yang konsisten untuk mendukung proses pembelajaran demokrasi serta memperkaya wawasan. Buku ini jadi arah tentang bagaimana arah demokrasi kita," ujarnya.
Apresiasi peluncuran buku juga disampaikan Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh.
"Dalam kehidupan itu selalu ada pengecualian, termasuk darurat. Sesuatu yang halal bisa jadi haram kalau kondisinya darurat," ujar Nuh.
Buku tersebut, kata Nuh, bisa memperkaya pengetahuan pembaca untuk membedakan situasi darurat dan situasi aman.
"Pada prinsip demokrasi itu kita harus tahu mana yang darurat, mana yang aman. Buku ini merupakan pengayaan pengetahuan kita," ujarnya.
Acara peluncuran buku ini turut dihadiri politisi Golkar Marzuki Darusman, budayawan Sujiwo Tejo serta sejumlah praktisi industri media di Indonesia.
Baca juga: Nuh luncurkan tiga buku saat peringati ulang tahun
Baca juga: Penyair Jengki luncurkan buku puisi "Petualang Sabang"
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
"Buku ini adalah disertasi yang diuji dalam sidang terbuka Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara pada 9 Desember 2017. Selama dua tahun saya selesaikan disertasi ini," kata Agus pada peluncuran buku di Gedung Dewan Pers Jakarta, Selasa.
Buku setebal 326 halaman ini mengulas hubungan antara keadaan darurat, status darurat dan keadaan pengecualian pada negara yang menganut demokrasi berdasarkan pemikiran Giorgio Agamben.
Dalam penelitian Agemben, kata Agus, rezim demokrasi tidak secara konsekuen menempatkan keadaan darurat sebagai momentum sejarah yang tidak boleh terulang kembali. Namun kedaruratan itu kerap dinyatakan dalam keadaan sesungguhnya tidak benar-benar darurat.
"Dapat disebut di sini darurat keamanan nasional, darurat konstitusi, darurat terorisme, darurat radikalisme dan sebagainya diidentifikasi sebagai keadaan normal," katanya.
Merujuk pada pemikiran Agamben, kata Agus, fakta yang ganjil tersebut merupakan kecenderungan yang cukup dominan di banyak negara demokrasi seperti di negara bagian barat.
"Deklarasi status darurat sejatinya merupakan pengakuan bahwa negara tidak berhasil menjalankan janji demokrasi. Keadaan darurat juga menjadi alasan pembenar bagi kelompok masyarakat untuk melawan hukum dan kekuasaan resmi," kata Agus mengutip pemikiran Agamben.
Ketika status darurat tidak sungguh-sungguh merujuk pada keadaan krisis, maka secara ontologis sulit membedakan keadaan krisis dan keadaan normal.
Agus mengatakan buku yang mengangkat tema Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben ini mengoreksi tesis tersebut.
"Terlepas dari pesimisme Agamben terhadap demokrasi yang agak berlebihan, pemikiran Agamben sangat relevan sebagai titik tolak menyoroti negara demokrasi dewasa ini yang direpotkan keadaan darurat secara berlebihan," kata Agus.
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengapresiasi peluncuran buku tersebut sebagai bentuk pembelajaran bagi masyarakat dalam melihat arah demokrasi Indonesia saat ini.
"Buku ini menunjukkan semangat akademis yang konsisten untuk mendukung proses pembelajaran demokrasi serta memperkaya wawasan. Buku ini jadi arah tentang bagaimana arah demokrasi kita," ujarnya.
Apresiasi peluncuran buku juga disampaikan Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh.
"Dalam kehidupan itu selalu ada pengecualian, termasuk darurat. Sesuatu yang halal bisa jadi haram kalau kondisinya darurat," ujar Nuh.
Buku tersebut, kata Nuh, bisa memperkaya pengetahuan pembaca untuk membedakan situasi darurat dan situasi aman.
"Pada prinsip demokrasi itu kita harus tahu mana yang darurat, mana yang aman. Buku ini merupakan pengayaan pengetahuan kita," ujarnya.
Acara peluncuran buku ini turut dihadiri politisi Golkar Marzuki Darusman, budayawan Sujiwo Tejo serta sejumlah praktisi industri media di Indonesia.
Baca juga: Nuh luncurkan tiga buku saat peringati ulang tahun
Baca juga: Penyair Jengki luncurkan buku puisi "Petualang Sabang"
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019