Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyebut dua solusi untuk memperbaiki kelemahan sistem Pemilu 2019, yang menimbulkan korban jiwa hingga lebih dari 450 orang petugas penyelenggara, yakni pemisahan jenis pemilu dan sistem pileg proporsional tertutup.
"Evaluasinya dua itu, bahwa jangan disatukan, kemudian jangan lagi (proporsional) terbuka supaya yang dihitung hanya partainya. Supaya partai juga memilih orang yang baik, karena banyak isu tentang biaya yang besar," kata Wapres JK kepada wartawan di Kantor Wapres Jakarta, Senin.
Menurut JK, salah satu penyebab banyaknya penyelenggara dan petugas pemilu meninggal dunia adalah rumitnya penghitungan perolehan suara pileg DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten.
Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) harus mencatat perolehan suara dari setiap caleg di setiap entitas pileg, apakah itu tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten.
"Yang paling berat sebenarnya tiga sistem yang tergabung itu, sehingga makin banyak. Kedua, sistemnya terbuka, sehingga nama pun harus dicatat, sehingga butuh waktu bagi mereka bekerja lama sekali," jelasnya.
Selain itu, lanjut politikus senior Partai Golkar itu, jumlah partai politik yang menjadi peserta di Pemilu 2019 bertambah dibandingkan Pemilu 2014. Akibatnya, waktu yang diperlukan petugas KPPS untuk menghitung perolehan suara caleg juga lebih lama.
"Jadi yang terberat sebenarnya bukan pilpresnya, yang terberat justru pileg itu karena sistemnya terbuka. Jadi (sekarang) 16 partai, dulu cuma 10 partai, jadi bertambah lebih 60 persen," katanya.
Oleh karena itu, evaluasi terhadap penyelenggaraan Pemilu 2019 perlu dilakukan untuk memperoleh sistem terbaik di pemilu berikutnya yang sesuai dengan kondisi Indonesia.
Baca juga: JK: tuduhan KPPS diracun itu berlebihan
Baca juga: Kemenkes ungkapkan 13 penyakit penyebab meninggal petugas KPPS
Baca juga: BPN tegaskan tidak rencanakan "people power"
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019