Pembahasan mengenai neraca perdagangan yang masih mengalami defisit mengemuka dalam debat calon presiden kelima yang membahas isu terkini dalam bidang ekonomi.
Berbagai tema tersebut, antara lain, ekonomi dan kesejahteraan sosial, keuangan dan investasi serta perdagangan dan industri.
Dalam kesempatan ini, Calon Wakil Presiden RI Sandiaga Uno mempertanyakan tingginya defisit neraca perdagangan yang memperlihatkan adanya ketergantungan impor barang yang kuat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca perdagangan, bahkan mencapai 8,57 miliar dolar AS pada tahun 2018 atau salah satu yang tertinggi sepanjang sejarah.
Menurut Sandiaga, kondisi itu terjadi karena Indonesia belum bisa memberikan kemandirian dalam sektor energi maupun pangan yang selama ini belum terwujud secara optimal.
Ia bahkan mempertanyakan upaya pemerintah yang menekan defisit tersebut dengan mengurangi impor, terutama bahan baku yang dibutuhkan untuk pembangunan, bukan dengan mendorong ekspor.
Selain itu, impor bahan pangan yang sudah dilakukan justru tidak memberikan kestabilan harga bahan makanan yang masih tinggi di berbagai daerah.
Dalam menghadapi kondisi ini, Sandiaga menjanjikan Prabowo-Sandi akan mendorong swasembada energi maupun pangan agar kebutuhan dalam negeri tidak dipenuhi melalui impor.
Upaya mendorong swasembada pangan, kata dia, adalah dengan memperlancar pemberian pupuk dan bibit bagi petani, memberikan obat-obatan murah dan menghentikan impor saat panen raya.
Upaya swasembada energi adalah dengan menggunakan energi biofuel dan memanfaatkan kembali 10 juta hektare lahan perkebunan yang rusak serta telantar.
Ia menyakini rencana ini bisa menekan tingginya impor bahan pokok dan dalam waktu singkat menekan defisit neraca perdagangan.
Solusi Defisit
Dalam menghadapi pernyataan tersebut, Calon Presiden RI Joko Widodo menyatakan bahwa pihaknya akan mengurangi defisit neraca perdagangan dengan melakukan berbagai kebijakan.
Kebijakan itu, antara lain, dengan membangun industri berbasis ekspor dan subtitusi impor untuk memperkuat sektor manufaktur dalam negeri.
Salah satu hal yang sedang diupayakan untuk mengatasi persoalan defisit sektor migas adalah dengan memperkuat hilirisasi melalui pembangunan kilang.
Selain itu, penggunaan energi biodiesel dengan menggunakan bahan bakar B20 juga telah dilakukan untuk mengurangi impor migas terutama solar.
"Penggunaan biofuel itu sudah kita lakukan dengan B20, yang sebentar lagi akan kita naikkan jadi B50, kemudian nanti B100, sehingga impor minyak kita jadi berkurang. Cara-cara ini sudah kita mulai lakukan," kata Jokowi.
Meski demikian, calon petahana ini mengakui cara-cara seperti ini tidak bisa memberikan dampak dalam waktu singkat karena membutuhkan waktu dan tenaga yang besar.
Saat ini, sebagian besar impor terbesar Indonesia adalah bahan baku atau bahan modal yang dibutuhkan untuk membangun sarana infrastruktur.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah memang sedang gencar membangun infrastruktur seperti jalan tol maupun jembatan untuk mengurangi beban biaya logistik.
Untuk mengurangi impor bahan baku atau bahan modal ini, pemerintah berupaya membangun industri berbasis subtitusi impor dengan memperbaiki sistem perizinan terpadu (OSS).
Namun, sistem OSS yang baru terealisasi sejak pertengahan 2018 ini belum memperlihatkan hasil optimal kepada peningkatan investasi dalam waktu dekat.
Terkait dengan manajemen neraca perdagangan, Jokowi juga mengingatkan kepada Prabowo-Sandi bahwa pengelolaan ekonomi makro berbeda dengan ekonomi mikro karena terkait erat dengan sisi permintaan maupun penawaran.
Menurut dia, pengelolaan ekonomi makro harus berdasarkan pada angka-angka dan juga survei yang valid serta tidak bisa diambil hanya berdasarkan keluhan beberapa orang saja.
"Tidak mungkin kita lakukan kebijakan hanya berdasarkan satu, dua, tiga orang, yang sampaikan keluhan kepada Bapak dan sering Bapak sampaikan sebagai contoh terus-menerus. Mengelola ekonomi makro, pengalaman saya tidak bisa seperti itu," ujarnya.
Kebijakan Populis
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menilai bahwa upaya menekan defisit neraca perdagangan melalui swasembada pangan dan energi yang dijanjikan pasangan Prabowo-Sandi merupakan kebijakan populis.
"Kalau swasembada itu ide usang, ide populis. Kalaupun ingin mengejar, ya, bukan masalah swasembada, yang penting pasokan terjaga dan petani sejahtera," kata Andry saat dihubungi usai debat capres.
Andry memaparkan upaya swasembada pangan untuk komoditas strategis, seperti padi, jagung, dan kedelai masih sulit terpenuhi.
Menurut dia, Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan beras di dalam negeri dan kebutuhan kedelai nasional masih bergantung pada impor dari Amerika Serikat.
"Menurut saya yang bisa swasembada itu hanya jagung. Itupun masih banyak kebutuhan untuk industri di dalam negeri yang belum terpenuhi," ujarnya.
Ia menambahkan hal yang lebih realistis bagi pemerintahan terpilih adalah memastikan ada perbaikan tata niaga pangan dan pembaruan data agar pasokan dan permintaan dapat lebih terkendali.
Untuk swasembada energi, yang masih memungkinkan untuk swasembada adalah energi tidak terbarukan, seperti thermal, panas bumi, dan angin, meski sarana infrastruktur di dalam negeri masih belum terpenuhi.
Oleh karena itu, wacana swasembada pangan maupun energi tidak mudah untuk diwujudkan bagi siapapun pemerintahan yang terpilih.
Fokus utama yang penting adalah adanya pengelolaan manajemen ekonomi riil yang baik agar stabilitas harga pangan maupun energi tetap terjaga.
Selain itu, impor bukan merupakan hal yang tabu karena wajar dilakukan dalam sistem perdagangan global, asalkan neraca perdagangan tidak jatuh terlalu dalam. ***1***
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
Berbagai tema tersebut, antara lain, ekonomi dan kesejahteraan sosial, keuangan dan investasi serta perdagangan dan industri.
Dalam kesempatan ini, Calon Wakil Presiden RI Sandiaga Uno mempertanyakan tingginya defisit neraca perdagangan yang memperlihatkan adanya ketergantungan impor barang yang kuat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca perdagangan, bahkan mencapai 8,57 miliar dolar AS pada tahun 2018 atau salah satu yang tertinggi sepanjang sejarah.
Menurut Sandiaga, kondisi itu terjadi karena Indonesia belum bisa memberikan kemandirian dalam sektor energi maupun pangan yang selama ini belum terwujud secara optimal.
Ia bahkan mempertanyakan upaya pemerintah yang menekan defisit tersebut dengan mengurangi impor, terutama bahan baku yang dibutuhkan untuk pembangunan, bukan dengan mendorong ekspor.
Selain itu, impor bahan pangan yang sudah dilakukan justru tidak memberikan kestabilan harga bahan makanan yang masih tinggi di berbagai daerah.
Dalam menghadapi kondisi ini, Sandiaga menjanjikan Prabowo-Sandi akan mendorong swasembada energi maupun pangan agar kebutuhan dalam negeri tidak dipenuhi melalui impor.
Upaya mendorong swasembada pangan, kata dia, adalah dengan memperlancar pemberian pupuk dan bibit bagi petani, memberikan obat-obatan murah dan menghentikan impor saat panen raya.
Upaya swasembada energi adalah dengan menggunakan energi biofuel dan memanfaatkan kembali 10 juta hektare lahan perkebunan yang rusak serta telantar.
Ia menyakini rencana ini bisa menekan tingginya impor bahan pokok dan dalam waktu singkat menekan defisit neraca perdagangan.
Solusi Defisit
Dalam menghadapi pernyataan tersebut, Calon Presiden RI Joko Widodo menyatakan bahwa pihaknya akan mengurangi defisit neraca perdagangan dengan melakukan berbagai kebijakan.
Kebijakan itu, antara lain, dengan membangun industri berbasis ekspor dan subtitusi impor untuk memperkuat sektor manufaktur dalam negeri.
Salah satu hal yang sedang diupayakan untuk mengatasi persoalan defisit sektor migas adalah dengan memperkuat hilirisasi melalui pembangunan kilang.
Selain itu, penggunaan energi biodiesel dengan menggunakan bahan bakar B20 juga telah dilakukan untuk mengurangi impor migas terutama solar.
"Penggunaan biofuel itu sudah kita lakukan dengan B20, yang sebentar lagi akan kita naikkan jadi B50, kemudian nanti B100, sehingga impor minyak kita jadi berkurang. Cara-cara ini sudah kita mulai lakukan," kata Jokowi.
Meski demikian, calon petahana ini mengakui cara-cara seperti ini tidak bisa memberikan dampak dalam waktu singkat karena membutuhkan waktu dan tenaga yang besar.
Saat ini, sebagian besar impor terbesar Indonesia adalah bahan baku atau bahan modal yang dibutuhkan untuk membangun sarana infrastruktur.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah memang sedang gencar membangun infrastruktur seperti jalan tol maupun jembatan untuk mengurangi beban biaya logistik.
Untuk mengurangi impor bahan baku atau bahan modal ini, pemerintah berupaya membangun industri berbasis subtitusi impor dengan memperbaiki sistem perizinan terpadu (OSS).
Namun, sistem OSS yang baru terealisasi sejak pertengahan 2018 ini belum memperlihatkan hasil optimal kepada peningkatan investasi dalam waktu dekat.
Terkait dengan manajemen neraca perdagangan, Jokowi juga mengingatkan kepada Prabowo-Sandi bahwa pengelolaan ekonomi makro berbeda dengan ekonomi mikro karena terkait erat dengan sisi permintaan maupun penawaran.
Menurut dia, pengelolaan ekonomi makro harus berdasarkan pada angka-angka dan juga survei yang valid serta tidak bisa diambil hanya berdasarkan keluhan beberapa orang saja.
"Tidak mungkin kita lakukan kebijakan hanya berdasarkan satu, dua, tiga orang, yang sampaikan keluhan kepada Bapak dan sering Bapak sampaikan sebagai contoh terus-menerus. Mengelola ekonomi makro, pengalaman saya tidak bisa seperti itu," ujarnya.
Kebijakan Populis
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menilai bahwa upaya menekan defisit neraca perdagangan melalui swasembada pangan dan energi yang dijanjikan pasangan Prabowo-Sandi merupakan kebijakan populis.
"Kalau swasembada itu ide usang, ide populis. Kalaupun ingin mengejar, ya, bukan masalah swasembada, yang penting pasokan terjaga dan petani sejahtera," kata Andry saat dihubungi usai debat capres.
Andry memaparkan upaya swasembada pangan untuk komoditas strategis, seperti padi, jagung, dan kedelai masih sulit terpenuhi.
Menurut dia, Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan beras di dalam negeri dan kebutuhan kedelai nasional masih bergantung pada impor dari Amerika Serikat.
"Menurut saya yang bisa swasembada itu hanya jagung. Itupun masih banyak kebutuhan untuk industri di dalam negeri yang belum terpenuhi," ujarnya.
Ia menambahkan hal yang lebih realistis bagi pemerintahan terpilih adalah memastikan ada perbaikan tata niaga pangan dan pembaruan data agar pasokan dan permintaan dapat lebih terkendali.
Untuk swasembada energi, yang masih memungkinkan untuk swasembada adalah energi tidak terbarukan, seperti thermal, panas bumi, dan angin, meski sarana infrastruktur di dalam negeri masih belum terpenuhi.
Oleh karena itu, wacana swasembada pangan maupun energi tidak mudah untuk diwujudkan bagi siapapun pemerintahan yang terpilih.
Fokus utama yang penting adalah adanya pengelolaan manajemen ekonomi riil yang baik agar stabilitas harga pangan maupun energi tetap terjaga.
Selain itu, impor bukan merupakan hal yang tabu karena wajar dilakukan dalam sistem perdagangan global, asalkan neraca perdagangan tidak jatuh terlalu dalam. ***1***
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019