Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bali, A.A Alit Wiraputra akhirnya ditahan Ditreskrimum Polda Bali dalam kasus penipuan pengurusan izin pelebaran kawasan Pelabuhan Pelindo Benoa, Bali, yang merugikan pengembang Sutrisno Lukito Disastro (korban) hingga Rp16 miliar lebih.

"Setelah tersangka kami periksa, kami langsung tahan di Rutan Polda Bali agar tidak melarikan diri, selama 20 hari kedepan," kata Direktur Reskrimum Polda, Kombes Pol Andi Fairan di Mapolda Bali, Kamis sore.

Ia menuturkan tersangka sempat dikirimi surat pemanggilan pada 9 April 2019, namun tersangka tidak datang memenuhi panggilan Polda Bali. Kemudian, pada 10 April 2019, tersangka mengirim surat untuk dilakukan penundaan pemanggilan hingga 18 April 2019.

Namun, saat dimonitor jajaran Polda Bali pada 8 April 2019 tersangka justru ketahuan mau melarikan diri.  "Jadi, Rabu (10/4), kami langsung membuat surat penangkapan, karena kami khawatir tersangka melarikan diri," ujarnya.

Andi menegaskan penetapan Alit Wiraputra menjadi tersangka sudah dikeluarkan Polda Bali pada Kamis (11/4), setelah dilakukan gelar perkara pada Jumat (6/4) lalu dan  juga telah mengeluarkan daftar cekal  agar dia tidak bepergian ke luar Bali.

Sementara itu, tersangka Alit Wiraputra membantah dirinya pergi ke Jakarta untuk melarikan diri keluar negeri. "Kalau saya melarikan diri, tidak mungkin saya ada di sini," ujar Alit.

Pihaknya berdalih pergi ke Jakarta karena ada urusan bisnis, jadi tidak benar dirinya melarikan diri dalam kasus ini karena pihaknya ada jadwal pemeriksaan pada 18 April 2019.

Kasus ini bermula terjadi kesepakatan saling pengertian tentang kerja sama antara tersangka dengan korban Sutrisno Lukito Disastro dan Abdul Satar selaku pengembang dan pemilik dana untuk mengurus proses perizinan ke Pemprov Bali terkait izin pelebaran kawasan Pelabuhan Pelindo Benoa, pada 26 Januari 2016.

Antara tersangka dan korban lantas membentuk PT Bangun Segitiga Mas (BSM) yang rencananya bekerja sama dengan PT Pelindo III, dimana tersangka yang akan membuat drafnya untuk diajukan ke PT Pelindo III.

"Yang mengurus izin-izin audiensi dengan Gubernur dan Wagub Bali  saat itu adalah tersangka dan yang mengurus rekomendasi dari Gubernur juga tersangka," ujarnya.

Namun dalam kesepakatan itu, korban akan mencairkan uang Rp30 miliar untuk biaya operasional sampai izin itu keluar dari Gubernur Bali saat itu, namun pembayaran pertama diberikan korban kepada tersangka Rp6 miliar untuk audiensi dengan Gubernur Bali saat itu. Pembayaran tahap kedua Rp10 miliar juga diterima tersangka untuk mendapatkan izin rekomendasi dari Gubernur.

"Yang menjadi masalah, sampai kucuran dana tahap kedua ini diberikan korban kepada tersangka, rekomendasi dari Gubernur Bali saat itu tidak kunjung keluar. Sehingga saat batas waktu perjanjian enam bulan lamanya, izin rekomendasi itu tidak keluar dari Gubernur, maka korban melaporkan," ujarnya.

Polda Bali juga sempat menyelidiki dan bertanya kepada pihak Pelindo III terkait apakah adanya kerja sama dengan pihak ketiga atau PT BSM itu, namun ditegaskan dari Pelindo III tidak ada kerja, karena proyek itu langsung dari Kementerian Perhubungan, karena dana untuk pengembangan pelabuhan itu sudah diambilalih BUMN.

"Dari informasi inilah, kami menyimpulkan ada unsur penipuan yang dilakukan tersangka dan Pelindo III juga tidak ada niat kerja sama dengan swasta karena di sana untuk pengembangan pelabuhan Benoa langsung dari kementerian," ujarnya.

Tersangka dalam kasus ini, menunjuk dirinya sendiri sebagai pihak kedua dalam pengurusan izin prinsip itu dan tidak ada orang lain, sehingga uang itu patut diduga dinikmati tersangka sendiri. Namun, kalau tersangka berdalih dibagikan kepada orang lain itu urusan tersangka.

Selain itu, dari Bapedda Bali sendiri saat pihak Polda Bali meminta keterangan menyebut tidak pernah memberikan rekomendasi dari Gubernur Bali kepada PT BSM untuk mengerjakan proyek pengembangan Pelabuhan Benoa seluar 400 hektare.

Pewarta: I Made Surya Wirantara Putra

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019