Denpasar (Antaranews Bali) - Pakar agribisis yang yang juga Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra Denpasar, Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc.MMA., menilai Pergub Nomor 99/2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian merupakan terobosan untuk meningkatkan kesejahteraan petani yang perlu didukung dengan pertanian inklusif.
    
"Terobosan baru Gubernur Bali melalui Pergub Nomor 99/2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian merupakan angin segar di awal tahun 2019 khususnya bagi para petani di Bali," katanya di Denpasar, Selasa, menanggapi pergub yang implementasinya diresmikan Gubernur Bali Wayan Koster di Desa Pengotan, Kabupaten Bangli (7/1) itu.
    
Secara prinsip, menurut Wakil Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bali itu, pergub itu mendorong produk-produk lokal petani akan dapat diserap hotel, restoran, villa, dan swalayan di Bali dengan harga yang layak ekonomis dengan kesiapan Perusda untuk membeli produk-produk tersebut.
    
"Pergub itu mewujudkan keterkaitan antara pertanian dengan pariwisata dengan sistem dan regulasi, namun pergub yang sangat bagus perlu diterapkan dengan dukungan pengawasan yang ketat dan sanksi sehingga masing-masing pihak dapat memainkan perannya, yakni petani dan kelompok petani sebagai produsen, lalu hotel, restoran, dan sebagainya sebagai buyer, dan perusda sebagai perantara," katanya.
    
Oleh karena itu, perlu adanya dukungan berbagai pihak, termasuk konsumen produk-produk lokal tersebut. Untuk mewujudkan keberhasilan tujuan Pergub itu sangat perlu adanya penguatan program pertanian inklusif yang artinya bahwa pembangunan pertanian tersebut harus mengintegrasikan antara sektor-sektor di hulu dengan di hilir.
    
Di hulu ada sektor pertanian (pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan), lalu sektor-sektor di hilir ada pengolahan, penyimpanan, kemasan pemasaran, yang melibatkan pemerintah sebagai regulator kebijakan pendukung pertanian inklusif, termasuk dengan lembaga penelitian.
    
"Pihak-pihak yang terkait dalam pertanian inklusif ini agar duduk bersama untuk menetapkan model bisnis yang memberikan gambaran adanya peran masing-masing pihak dan keuntungan ekonomis bagi mereka sebagai insentif untuk menjamin keberlanjutan rantai pasar yang menguntungkan," katanya.
    
Alumnus Universitas Udayana Bali itu menjelaskan pertanian inklusif ini diarahkan untuk meningkatkan pendapatan para petani, peternak, nelayan, pemelihara ikan melalui peningkatan produktivitas lahan, tenaga kerja dan produk, serta menjamin kualitas produk yang dibutuhkan oleh pasar (konsumen) melalui peningkatan nilai tambah pada setiap aktor pasar di dalam rantai nilai produk-produk lokal tersebut.
    
"Untuk itu, sektor-sektor di hulu wajib menyediakan berbagai sarana dan prasarana produksi, termasuk alat dan mesin pertanian, yang tepat guna bagi para petani (kelompok petani) dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produknya," katanya.
    
Dalam penyediaan dan pemanfaatan sarana dan prasarana produksi ini, pemerintah atau lembaga penelitian atau lembaga swadaya masyarakat perlu memberikan asistensi teknis melalui penyuluhan dan pelatihan sehingga kapasitas (pengetahuan, sikap dan ketrampilan teknis, administrasi, keuangan dan manajemen) petani menjadi semakin kuat.
    
"Pendampingan-pendampingan di awal sangat dibutuhkan dalam menjamin terbentuknya kemitraan bisnis yang saling menguntungkan antara petani/kelompok petani dengan perusahaaan penyedia sarana, prasarana dan alat serta mesin pertanian," katanya.
    
Sementara itu, pihak buyer diwajibkan memiliki peran untuk memberikan informasi pasar (jumlah, mutu, harga produk) yang dibutuhkan pasar kepada para petani/kelompok petani. Informasi ini akan menjadi sangat signifikan terhadap keberlanjutan kemitraan antara petani/kelompok petani dengan pihak-pihak perusahaan (hotel, restoran, perusda, dan sebagainya).
    
"Mereka agar menyiapkan SOP produksi dan pascapanen sehingga kualitas yang diminta dapat disediakan atau dipenuhi oleh petani/kelompok petani. Penguatan pemanfaatan sistem informasi dan teknologi menjadi bagian yang tidak terpisahkan guna memudahkan adanya akses terhadap informasi pasar (harga) dan teknologi budidaya," katanya.
    
Peran lain dari buyer adalah dapat melakukan pengolahan produk-produk pertanian (terutama pada saat panen raya) menjadi berbagai bentuk olahan yang menarik bagi konsumen. Dengan demikian, para petani masih diharapkan untuk memperoleh harga yang layak ekonomis pada saat produksinya melimpah.
    
"Aktivitas pasca-panen ini sangat signifikan terhadap keberlangsungan pertanian inklusif yang telah dibangun. Pemerintah senantiasa berperan dalam membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung berjalannya pertanian inklusif ini, misalnya adanya kredit, subsidi, kebijakan penyuluhan, irigasi dan lain sebagainya," katanya.
    
Sebenarnya, Pergub ini hanya salah satu bagian untuk meningkatkan pendapatan petani. Dalam pertanian inklusif, peran konsumen sangat penting. Konsumen perlu diedukasi agar memberikan apresiasi terhadap produk-produk pertanian yang berkualitas yang telah dihasilkan oleh para petani. Misalnya melalui gerakan konsumsi produk lokal, dan memiliki "wilingness to pay" yang tinggi terhadap produk-produk yang berkualitas tersebut.
    
"Ini berarti kesadaran dan apresiasi konsumen akan menjadi tantangan sekaligus peluang bagi petani untuk berproduksi secara baik untuk memenuhi kebutuhan konsumen dan memberikan kepuasan yang tinggi pada konsumen, sehingga pendapatan petani akan semakin tinggi," kata pakar agribisnis yang pernah studi 'Social Development' di Ateneo de Manila University, Filipina, dan juga studi agribisnis selama tiga bulan di Wageningen University, Belanda itu. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019