Denpasar (Antaranews Bali) - Real Estat Indonesia (REI) Bali mengharapkan Bank Indonesia menahan kenaikan suku bunga acuan karena apabila naik kembali akan memberikan dampak terhadap perkembangan properti dan memberatkan konsumen. 
     
"Otomatis kebijakan LTV sebelumnya tidak mempan, tidak ada efeknya, karena akhirnya mereka membayar uang muka murah tetapi cicilan mahal," kata Ketua REI Bali Pande Agus Permana Widura di Denpasar, Senin. 
     
Menurut Pande, aturan "loan to value" (LTV) atau kebijakan pelonggaran pembayaran uang muka kredit pemilikan rumah yang sepenuhnya diserahkan kepada perbankan, sebelumnya mampu mendongkrak realisasi KPR nonsubsidi diperkirakan mencapai 10-15 persen tahun ini. 
     
Dengan kebijakan itu, perbankan dapat memberikan besaran uang muka KPR kisaran 5-10 persen bahkan ada beberapa bank memberikan kebijakan tanpa uang muka meski realisasinya belum signifikan. 
     
Namun, lanjut dia, kenaikan properti nonsubsidi itu diperkirakan tidak berjalan mulus karena bank sentral menaikkan suku bunga acuan menjadi 6 persen. Di Bali,  kebutuhan rumah masih tergolong tinggi dengan ukuran paling banyak rata-rata tipe 36 dengan luasan lahan 70 meter hingga 1 are.
     
Rata-rata harga rumah nonsubsidi, lanjut dia, mencapai kisaran Rp200-500 juta yang paling banyak tersebar di Gianyar, Buleleng dan daerah pinggiran Denpasar. 
     
Bank Indonesia (BI) sebelumnya menaikkan suku bunga acuan "7-Day Reverse Repo Rate" sebesar 0,25 persen menjadi 6 persen pada Rapat Dewan Gubernur periode November 2018.
     
Kenaikan suku bunga acuan itu untuk meningkatkan daya tarik instrumen keuangan domestik dan menurunkan defisit transaksi berjalan.
     
BI menargetkan defisit transaksi berjalan dapat ditekan ke posisi di bawah tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir 2018.

Pewarta: Dewa Wiguna

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018