Denpasar (Antaranews Bali) - Sebanyak 164 dosen milenial magang di delapan perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka di Tanah Air melalui Program Magang Dosen di Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti.

"Tahun ini terdapat 164 dosen muda yang rata-rata usianya masih di bawah 40 tahun selama empat bulan terakhir magang di delapan perguruan tinggi, seperti ITB, IPB, Unair, dan UGM," kata Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti, Ali Ghufron Mukti, dalam siaran pers yang diterima Antara di Denpasar, Minggu.

Menurut dia, program magang di bawah bimbingan dosen-dosen senior dapat memberikan pembelajaran bagi dosen muda, baik dalam hal mengajar, meneliti, dan pengabdian masyarakat, maupun bagaimana cara manajemen kampus hingga membangun relasi dan kemitraan.

Oleh sebab itu, dengan segala ilmu yang telah diraih selama program, ia berpesan agar alumni dosen magang dapat menjadi duta bagi perguruan tinggi asalnya.

"Potensi para dosen muda sungguh luar biasa. Mereka memiliki ide-ide yang kreatif. Saya ingin para dosen magang setelah kembali ke universitas asal dapat menjadi duta yang bersinar, menghasilkan prestasi dan dapat membawa dosen-dosen lainnya ikut berkembang," ujarnya.

Dirjen menjelaskan Program Magang Dosen kedepan harus lebih banyak mendapat perhatian dari kalangan dosen muda, karena tidak sedikit dosen yang selama ini waktunya habis untuk mengajar sehingga kerap melewatkan informasi penting yang berpengaruh terhadap peningkatan kapasitasnya.

Selain itu, pihaknya juga akan mengevaluasi capaian dosen magang, termasuk potensi mereka dalam mengembangkan karier.

"Pengalaman dari dosen-dosen senior dan berbagai hal yang dipelajari selama program magang dapat menjadi modal dan semangat bagi para dosen muda untuk memiliki karier yang baik, bahkan bukan tidak mungkin suatu saat dipercaya menjalankan tugas tambahan, seperti menjadi pimpinan perguruan tinggi," katanya.

Saat menutup rangkaian Program Magang Dosen Tahun 2018 di Bali (9/11) itu, Dirjen Ghufron juga menyinggung mengenai dosen-dosen yang umumnya mengajar dan berkarier di almamaternya, padahal kampus-kampus kelas dunia, seperti Massachusetts Institute of Technology (MIT) merekrut dosen hebat dari berbagai institusi di dunia.

Dirjen Ghufron yang mantan Dekan FK UHM itu menilai, semakin beragam asal perguruan tinggi seorang dosen di suatu perguruan tinggi, maka akan memperkaya pengalaman yang dapat dipelajari satu sama lain antardosen.

"Kalau perguruan tinggi di Indonesia rata-rata seperti itu, sebarannya berbeda dari negara-negara maju, seperti di Amerika Serikat. Misalnya, lulusan Unpad mengajar di Unpad, lulusan ITB mengajar di ITB, lulusan UGM mengajar di UGM. Entah itu lulus dari S-1, S-2, atau S-3, mereka akan mengajar kembali ke situ sehingga terkadang kurang kompetitif. Mungkin ke depan kami perlu membuat penghargaan bagi kampus yang 10-15 persen dari total dosennya tidak berasal dari lulusan perguruan tinggi bersangkutan," katanya.

Selain itu, potensi dosen muda jebolan Program Magang Dosen sendiri dapat menjadi pertimbangan perguruan tinggi terbaik bangsa untuk melihat kompetensi dosen dari kampus lain sehingga tidak hanya lulusannya yang direkrut menjadi dosen.

Salah satu peserta Program Magang Dosen asal Universitas Singaperbangsa Karawang, Deri Teguh Santoso mengakui, mengajar dan meneliti di kampus besar seperti UGM memberikan banyak pengalaman.  Beberapa yang ia pelajari yakni cara mengelola kampus yang lebih tertata dan profesional.

Hal serupa juga dirasakan oleh dosen muda asal Universitas Sains dan Teknologi Jayapura bernama Inaya yang berkesempatan magang di ITB.

"Program ini sangat bermanfaat. Selain belajar tata kelola kampus, juga kami diajarkan bagaimana menjalankan Tri Darma perguruan tinggi. Tidak kalah seru juga untuk kegiatan pendukungnya, seperti kunjungan ke industri," katanya. 

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : I Komang Suparta


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018