Nusa Dua (Antaranews Bali) - PT Bio Farma (Persero) membidik ekspansi ekspor vaksin ke negara-negara di Afrika karena kawasan tersebut merupakan salah satu pasar potensial menyerap produk vaksin buatan Indonesia.
"Sekarang ini dominan di Asia, kemudian Timur Tengah dan kami akan coba nanti Afrika," kata Direktur Utama Bio Farma Rahman Roestan disela-sela pertemuan "High Level Meeting on Country-Led Knowledge Sharing" (HLM on CLKS) di Nusa Dua, Badung, Bali, Senin.
Menurut dia, vaksin yang akan diekspor ke beberapa negara Afrika diantaranya vaksin imunisasi dasar seperti tetanus, difteri, pertusis, harmophilus infuenza tipe B (HIB) serta pentabio.
Selain Afrika, perusahaan BUMN produsen vaksin dan antisera itu juga membidik pasar di Amerika Latin sehingga pihaknya optimistis ekspor tahun ini yang ditargetkan sebesar 71 juta dolar AS bisa tercapai.
"Sampai tahun ini baru tercapai sekitar 70 persen dari total target ekspor itu. Kami optimis tercapai," kata orang nomer satu dari BUMN yang berdiri sejak 6 Agustus 1890 itu.
Bio Farma, kata dia, mampu menghasilkan total kapasitas produksi lebih dari 2 miliar dosis per tahun dengan komposisi produksi masing-masing 60 persen untuk kebutuhan dalam negeri dan 40 persen untuk kebutuhan ekspor.
Hingga saat ini, imbuh Rahman, banyak negara-negara berkembang yang ingin belajar vaksin dari Indonesia setelah menjadi pusat rujukan produk vaksin, khususnya bagi negara-negara Islam atau OKI.
Dari 57 negara anggota OKI yang memiliki pabrik pembuatan vaksin, kata dia, baru ada tujuh negara yang diakui Badan Kesehatan Dunia atau WHO yang salah satunya adalah Indonesia.
Sementara itu, untuk produksi vaksin imunisasi dasar baru berhasil diproduksi oleh Bio Farma Indonesia.
Dalam kesempatan pertemuan HLM on CLKS itu, pihaknya juga berbagi pengalaman kepada ratusan peserta dari 30 negara terkait manajemen inovasi yang selama ini telah dilakukan.
Salah satu inovasi dalam produk vaksin, lanjut dia, dengan menciptakan efisiensi kemasan vaksin lima antigen dalam satu alat suntik sekali pakai yang tidak hanya memberikan keuntungan bagi perusahaan tetapi juga masyarakat.
Dengan demikian, pihaknya bisa mengurangi penggunaan sumber daya alam seperti air, listrik, dan bahan mentah lainnya yang semula lima antigen terpisah, maka sekarang menjadi dalam satu produk vaksin sehingga distrinusi dan harga bisa ditekan.
Rahman menambahkan inovasi Bio Farma lainnya dibilang teknologi informasi dengan mengintegrasikan sistem "Enterprise Resources Planning" untuk perusahaan Bio Teknologi, serta menerapkan teknologi sistem "track and trace" untuk menjamin risiko pemalsuan produk vaksin.
"Itu hanya beberapa contoh. Dalam kesempatan ini kami akan berbagi manajemen inovasi dari level atas-bawahan berupa penempatan visi dan produk yang dibuat, begitu juga sebaliknya dari manajemen bawah ke atas, lebih banyak terkait peningkatan proses," katanya. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Sekarang ini dominan di Asia, kemudian Timur Tengah dan kami akan coba nanti Afrika," kata Direktur Utama Bio Farma Rahman Roestan disela-sela pertemuan "High Level Meeting on Country-Led Knowledge Sharing" (HLM on CLKS) di Nusa Dua, Badung, Bali, Senin.
Menurut dia, vaksin yang akan diekspor ke beberapa negara Afrika diantaranya vaksin imunisasi dasar seperti tetanus, difteri, pertusis, harmophilus infuenza tipe B (HIB) serta pentabio.
Selain Afrika, perusahaan BUMN produsen vaksin dan antisera itu juga membidik pasar di Amerika Latin sehingga pihaknya optimistis ekspor tahun ini yang ditargetkan sebesar 71 juta dolar AS bisa tercapai.
"Sampai tahun ini baru tercapai sekitar 70 persen dari total target ekspor itu. Kami optimis tercapai," kata orang nomer satu dari BUMN yang berdiri sejak 6 Agustus 1890 itu.
Bio Farma, kata dia, mampu menghasilkan total kapasitas produksi lebih dari 2 miliar dosis per tahun dengan komposisi produksi masing-masing 60 persen untuk kebutuhan dalam negeri dan 40 persen untuk kebutuhan ekspor.
Hingga saat ini, imbuh Rahman, banyak negara-negara berkembang yang ingin belajar vaksin dari Indonesia setelah menjadi pusat rujukan produk vaksin, khususnya bagi negara-negara Islam atau OKI.
Dari 57 negara anggota OKI yang memiliki pabrik pembuatan vaksin, kata dia, baru ada tujuh negara yang diakui Badan Kesehatan Dunia atau WHO yang salah satunya adalah Indonesia.
Sementara itu, untuk produksi vaksin imunisasi dasar baru berhasil diproduksi oleh Bio Farma Indonesia.
Dalam kesempatan pertemuan HLM on CLKS itu, pihaknya juga berbagi pengalaman kepada ratusan peserta dari 30 negara terkait manajemen inovasi yang selama ini telah dilakukan.
Salah satu inovasi dalam produk vaksin, lanjut dia, dengan menciptakan efisiensi kemasan vaksin lima antigen dalam satu alat suntik sekali pakai yang tidak hanya memberikan keuntungan bagi perusahaan tetapi juga masyarakat.
Dengan demikian, pihaknya bisa mengurangi penggunaan sumber daya alam seperti air, listrik, dan bahan mentah lainnya yang semula lima antigen terpisah, maka sekarang menjadi dalam satu produk vaksin sehingga distrinusi dan harga bisa ditekan.
Rahman menambahkan inovasi Bio Farma lainnya dibilang teknologi informasi dengan mengintegrasikan sistem "Enterprise Resources Planning" untuk perusahaan Bio Teknologi, serta menerapkan teknologi sistem "track and trace" untuk menjamin risiko pemalsuan produk vaksin.
"Itu hanya beberapa contoh. Dalam kesempatan ini kami akan berbagi manajemen inovasi dari level atas-bawahan berupa penempatan visi dan produk yang dibuat, begitu juga sebaliknya dari manajemen bawah ke atas, lebih banyak terkait peningkatan proses," katanya. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018