New York (Antaranews Bali) - Harga minyak melonjak lebih dari dua dolar AS per barel pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), mencapai tingkat tertinggi sejak November 2014, sebagai respons akan diterapkannya sanksi-sanksi AS terhadap Iran serta kesepakatan perdagangan Amerika Utara untuk mendorong pertumbuhan.
Minyak mentah Brent untuk pengiriman Desember naik 2,25 dolar AS atau 2,7 persen menjadi ditutup pada 84,98 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.
Dalam perdagangan pasca-penyelesaian, kontrak terus menguat, naik ke 85,45 dolar AS per barel, perdagangan pertama di atas 85 dolar AS sejak November 2014.
Sementara itu, minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember melonjak 2,05 dolar AS menjadi menetap di 75,30 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange, tertinggi sejak November 2014.
Amerika Serikat dan Kanada mencapai kesepakatan pada Minggu (30/9) untuk menyelamatkan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), sebuah perjanjian trilateral dengan Meksiko.
Phil Flynn, seorang analis di Price Futures Group di Chicago, kepada Reuters, mengatakan kesepakatan NAFTA akan mengangkat harga minyak karena "meningkatkan prospek pertumbuhan tidak hanya untuk Kanada dan AS, tetapi juga untuk Amerika Utara secara keseluruhan."
Investor telah membeli banyak pada opsi yang memberikan pemegang hak untuk membeli Brent di 90 dolar AS pada akhir Oktober. Minat terbuka dalam call options pada 90 dolar AS telah meningkat hampir 12.000 lot dalam seminggu terakhir menjadi 38.000 lot, atau 38 juta barel.
Data bursa menunjukkan net long position gabungan para hedge funds dalam minyak mentah Brent dan minyak mentah AS serta opsi pada berada di posisi terbesar sejak akhir Juli, setara dengan sekitar 850 juta barel.
Harga minyak yang lebih tinggi dan dolar AS yang kuat bisa menekan pertumbuhan permintaan tahun depan, kata para analis. Untuk saat ini pasar fokus pada sanksi-sanksi AS terhadap Iran, yang mulai berlaku pada 4 November dan dirancang untuk memangkas ekspor minyak mentah dari produsen terbesar ketiga di Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) itu.
Presiden AS Donald Trump berbicara kepada Raja Salman Saudi pada Sabtu (29/9) tentang upaya-upaya untuk menjaga kecukupan pasokan. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
Minyak mentah Brent untuk pengiriman Desember naik 2,25 dolar AS atau 2,7 persen menjadi ditutup pada 84,98 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.
Dalam perdagangan pasca-penyelesaian, kontrak terus menguat, naik ke 85,45 dolar AS per barel, perdagangan pertama di atas 85 dolar AS sejak November 2014.
Sementara itu, minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember melonjak 2,05 dolar AS menjadi menetap di 75,30 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange, tertinggi sejak November 2014.
Amerika Serikat dan Kanada mencapai kesepakatan pada Minggu (30/9) untuk menyelamatkan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), sebuah perjanjian trilateral dengan Meksiko.
Phil Flynn, seorang analis di Price Futures Group di Chicago, kepada Reuters, mengatakan kesepakatan NAFTA akan mengangkat harga minyak karena "meningkatkan prospek pertumbuhan tidak hanya untuk Kanada dan AS, tetapi juga untuk Amerika Utara secara keseluruhan."
Investor telah membeli banyak pada opsi yang memberikan pemegang hak untuk membeli Brent di 90 dolar AS pada akhir Oktober. Minat terbuka dalam call options pada 90 dolar AS telah meningkat hampir 12.000 lot dalam seminggu terakhir menjadi 38.000 lot, atau 38 juta barel.
Data bursa menunjukkan net long position gabungan para hedge funds dalam minyak mentah Brent dan minyak mentah AS serta opsi pada berada di posisi terbesar sejak akhir Juli, setara dengan sekitar 850 juta barel.
Harga minyak yang lebih tinggi dan dolar AS yang kuat bisa menekan pertumbuhan permintaan tahun depan, kata para analis. Untuk saat ini pasar fokus pada sanksi-sanksi AS terhadap Iran, yang mulai berlaku pada 4 November dan dirancang untuk memangkas ekspor minyak mentah dari produsen terbesar ketiga di Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) itu.
Presiden AS Donald Trump berbicara kepada Raja Salman Saudi pada Sabtu (29/9) tentang upaya-upaya untuk menjaga kecukupan pasokan. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018