Negara (Antaranews Bali) - Ihktiar budaya dipilih masyarakat melayu Kampung Loloan, Kabupaten Jembrana, Bali, untuk menyikapi globalisasi, khususnya untuk membentengi generasi terkini dari sisi negatif gelombang zaman.
Apalagi, budaya Kampung Loloan juga memiliki keunikan dari bahasa, arsitektur bangunan hingga perilaku sehari-hari masyarakat dengan unsur melayu yang kental.
"Perilaku keseharian masyarakat Loloan adalah budaya yang juga merupakan bagian dari kebudayaan Bali, meskipun nuansa kami lebih dominan unsur melayunya. Justru ini yang membuat keunikan di Kabupaten Jembrana," kata H. Musadat Johar, budayawan sekaligus sesepuh Kampung Loloan, Selasa.
Ia mengatakan, keunikan budaya loloan dengan bahasa, rumah panggung, tradisi serta seni melayunya banyak membawa berbagai kalangan untuk berkunjung ke kampung ini, termasuk dari akademisi yang melakukan penelitian.
Terletak tidak jauh dari jantung Kota Negara sebagai ibukota Kabupaten Jembrana, Kampung Loloan yang terbagi menjadi dua kelurahan yaitu Loloan Timur dan Loloan Barat, menurut Musadat, saat ini pantas khawatir dengan kelestarian budayanya yang beberapa diantaranya terancam punah.
Ia mencontohkan rumah panggung, yang merupakan warisan leluhur berikut dengan nilai-nilai filosofi arsitekturnya, saat ini tinggal puluhan unit yang ia prediksi jika tidak dilindungi akan segera punah.
"Faktor paling besar yang membuat rumah panggung semakin langka adalah kecenderungan beberapa generasi bekalangan yang memilih membangun rumah dengan arsitektur modern, selain itu rumah panggung sering dijual saat terjadi pembagian warisan," katanya.
Ironisnya, katanya, pembeli rumah panggung dengan harga jual yang tidak seberapa dibandingkan nilai budayanya justru orang-orang jauh yang menangkap keunikan rumah tersebut.
Tidak heran, dengan hanya bermodalkan dana Rp60 juta sampai Rp70 juta, pemilik atau pengelola villa maupun tempat penginapan sudah bisa memboyong rumah panggung, yang beberapa diantaranya sudah berusia ratusan tahun.
"Banyak lagi tradisi atau budaya Loloan yang pudar atau bahkan punah. Namun ciri khas kampung ini setelah bahasa memang rumah panggung. Kalau tidak ada rumah panggung, Loloan akan kehilangan identitas budaya terbesarnya," katanya.
Untuk mempertahankan rumah panggung dengan bahan-bahan utamanya dari kayu, dibutuhkan gerakan yang masif serta kesadaran kolektif dari masyarakat Loloan, karena jumlah rumah tersebut saat ini sudah pada titik kritis.
Harapan tersebut bisa dibebankan kepada Gerakan Pemuda Loloan, yang beberapa tahun belakangan sangat aktif melakukan berbagai kegiatan termasuk budaya dengan melibatkan masyarakat.
"Kami juga merasa gelisah dengan budaya Loloan khususnya yang berbentuk fisik seperti rumah panggung, yang sekarang sudah semakin langka. Apa yang terjadi terhadap budaya Loloan saat ini, membutuhkan proses kebersamaan dengan sesering mungkin membuat kegiatan budaya asli kampung ini," kata Mustaidin, salah seorang tokoh Gerakan Pemuda Loloan.
Beberapa upaya dari gerakan pemuda ini, katanya, antara lain dengan rutin menggelar berbagai kegiatan seperti lomba mainan tradisional, mengajak masyarakat sejenak membangun suasana kampung tempo dulu dan lain-lain yang dicita-citakan akan tumbuh menjadi parade budaya Loloan.
"Ada momentum-momentum hari-hari besar seperti tahun baru Islam, yang kami manfaatkan untuk mengajak dan mengingatkan masyarakat Kampung Loloan terhadap peninggalan budaya, tradisi dan seni dari nenek moyang, atau istilah kami dari nenek dan datuk," katanya.
Salah satu kegiatan budaya yang sudah rutin dilakukan setiap tahun, menurutnya, parade mainan tradisional mobil-mobilan berbahan dasar utama bambu yang penyelenggaraan tahun ini sudah memasuki yang ke empat kali. Ia mengakui, sekilas parade mainan tradisional ini merupakan hal yang sepele, namun sebenarnya cukup efektif untuk menumbuhkan pengetahuan serta minat dari generasi yang saat ini masih bocah untuk mencintai tradisi lokal.
"Sasaran kami tidak hanya pemuda seperti kami, tapi juga generasi setelah kami. Dengan parade atau lomba mainan tradisional, akan menumbuhkan mental budaya yang tidak hanya didominasi kultur modern tapi juga tradisional yang bersanding selaras," katanya.
Pada tahun ini, parade mainan tradisional oleh panitia dikombinasikan dengan budaya Loloan dengan keberadaan sepasang remaja putra dan putri yang mengenakan pakaian adat Kampung Loloan, dengan iringan belasan orang membawa obor. Tidak hanya kegiatan fisik, geliat budaya Loloan juga mulai dibangun dengan rembug budaya yang mengundang sejumlah budayawan untuk merumuskan strategi melestarikan budaya kampung ini, yang disepakati sebagai salah satu kekayaan budaya Kabupaten Jembrana.
"Masyarakat umum juga kami ajak, salah satunya dengan membangun suasana Loloan tempo dulu. Konsepnya, selama beberapa jam masyarakat kami ajak mematikan listrik, serta melakukan kegiatan seperti zaman dulu yang diikuti anak-anak, remaja sampai orang tua," kata Mustaidin.
Karena baru dilaksanakan, ia mengatakan, suasana Loloan tempo dulu akan mengambil wilayah terbatas di salah satu kampung di Kelurahan Loloan Timur pada tanggal 20 September mulai pukul 19.00 wita hingga 23.00 wita. Agar tercipta suasana seperti jaman dulu, selain ketiadaan listrik, seluruh masyarakat termasuk pengguna jalan yang akan melintasi kampung dilarang mengendarai kendaraan bermotor, hanya boleh berjalan kaki atau naik sepeda gayung dan dokar.
"Rumah-rumah akan diterangi dengan penerangan tradisional, termasuk ketika masyarakat berjalan-jalan atau berkunjung ke tetangganya. Dengan target kami yang akan melakukan kegiatan ini secara rutin, kami berharap sebagai generasi muda bisa memberikan sumbangan besar terhadap pelestarian budaya Loloan," katanya.
Gerakan untuk melestarikan budaya Loloan yang mulai masif dilakukan generasi muda ini, mendapatkan apresiasi yang positif dari DS. Putra, salah seorang budayawan Kabupaten Jembrana yang pernah diundang dalam rembug budaya Loloan. Ia mengatakan, keinginan untuk mengembalikan lambang, simbol yang bermuara pada kesejatian budaya melayu Loloan sudah selayaknya mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, khususnya masyarakat Loloan.
"Masyarakat Loloan sebagai komunitas harus sepakat secara kolektif untuk mengembalikan lambang, simbol dan budaya yang memang unik di kampung tersebut," katanya.
Namun ia mengingatkan, semua pihak yang terlibat dalam pembangunan budaya ini jangan hanya terpaku pada pelestarian, tapi juga pengembangan dan penggalian. Pengembangan terhadap budaya harus dilakukan lewat asimilasi zaman yang disaring agar selaras dengan budaya lokal itu sendiri, serta penggalian terhadap spirit atau semangat dari budaya dan tradisi yang dulu dilahirkan para leluhur.
"Setiap budaya apalagi tempo dulu pasti membawa makna, spirit atau maksud dari yang membangun budaya tersebut. Spirit itulah yang juga harus digali generasi saat ini, dan dilanjutkan menjadi sikap mental bersama. Budaya tidak hanya pandangan fisik, tapi budaya menyangkut sesuatu yang lebih dalam lagi yaitu mental perilaku," katanya.
Dengan menempatkan pengembangan dan penggalian bersama dengan pelestarian, menurutnya, apa yang dilakukan generasi muda Kampung Loloan sekarang akan lebih utuh sehingga menangguk hasil yang maksimal.
"Budaya Loloan selama ini dominan menggunakan bahasa lisan. Sudah saatnya budaya lisan itu ditranformasikan ke budaya literatur, karena keberadaan literatur bisa bertahan ratusan tahun," katanya.
Ia mencontohkan, saat bahasa, arsitektur bangunan serta budaya lainnya tertuang dalam bentuk literatur tulis, maka itu akan menjadi warisan pengetahuan bagi generasi-generasi selanjutnya.
Yang juga harus dijaga, katanya, bangkitnya budaya Loloan ini juga harus membuat masyarakat waspada karena sangat mungkin akan mengundang eksploitasi dari tangan-tangan luar, yang ujung-ujungnya akan menempatkan masyarakat Loloan sebagai objek tanpa ikut menikmati hasilnya.
Ia mengatakan, sudah jamak pada saat ini daerah-daerah atau kawasan dengan budaya yang unik menjadi minat kunjungan wisatawan, yang membawa dampak ikutan komersilisasi dari konglomerasi pariwisata.
"Masyarakat Loloan harus waspada terhadap hal tersebut. Memang peningkatan kunjungan pariwisata akan membawa dampak kesejahteraan bagi masyarakat sekitar, tapi yang harus dijaga adalah dampak kesejahteraan terbesar harus bagi masyarakat setempat. Jangan sampai masyarakat lokal hanya menjadi penonton, padahal mereka sebagai objek kunjungan wisata," katanya.
Kampung Loloan dalam tradisi tutur maupun literatur yang jumlahnya sangat terbatas, diakui sebagai bagian tidak terpisahkan dari Kabupaten Jembrana. Masyarakat berkultur melayu yang mendiami pinggiran Sungai Ijogading yang membelah Kota Negara ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Berasal dari daerah-daerah berbudaya melayu seperti Kalimantan, sejak nenek moyang masyarakat Kampung Loloan sudah bahu membahu dengan masyarakat lainnya untuk kepentingan Jembrana.
Pada masa peperangan antar kerajaan hingga penjajahan Belanda dan Jepang, datuk-datuk bahkan nenek generasi Kampung Loloan saat ini selalu ikut serta, bahu membahu mempertahankan kerajaan atau tanah Jembrana. Bahkan sejumlah literatur serta dari tutur lisan turun temurun, wilayah yang sekarang menjadi Kampung Loloan merupakan hadiah dari raja saat itu, karena jasa mereka dalam membantu mempertahankan wilayah kerajaan dari serangan kerajaan lainnya.
Dari perjalanan panjang Kampung Loloan, seperti yang dikatakan DS. Putra, harus terus disampaikan kepada generasi-generasi selanjutnya bahwa para leluhur mereka merupakan bagian dari masyarakat Kabupaten Jembrana.
"Dengan pemahaman seperti itu, meskipun berbeda budaya dan kultur tidak akan mengundang ketegangan dengan budaya dan kultur Bali di luar Loloan. Generasi Loloan saat ini harus memahami, sejak awal leluhur mereka sudah memahami keberagaman yang ada di Bali, serta dengan cerdas menyerap dan menyikapinya hingga melahirkan Kampung Loloan seperti yang ada saat ini," katanya.
Dampak Pariwisata
Gerak budaya yang melahirkan dampak pariwisata, dalam beberapa kesempatan disampaikan Mustaidin serta pemuda Loloan lainnya merupakan salah satu titik yang akan mereka tuju. Mereka menyadari, salah satu yang membuat warga dengan mudah menjual rumah panggungnya karena faktor ekonomi.
"Masyarakat masih tergiur dengan harga yang ditawarkan pembeli, padahal jika dikelola dari sisi pariwisata, rumah panggung bisa memberikan pendapatan ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan menjualnya," kata Mustaidin.
Dengan menjadikan rumah panggung sebagai objek wisata, menurutnya, akan menurunkan minat masyarakat untuk menjualnya, bahkan bisa memancing yang lain untuk membangun rumah dengan arsitektur peninggalan nenek moyang tersebut.
Secara alamiah, Kampung Loloan sebenarnya sudah memiliki modal sebagai kampung wisata lewat kunjungan peziarah religi di wilayah ini. Setiap hari, khususnya di Kelurahan Loloan Barat, sejumlah bus besar terparkir membawa peziarah dari berbagai wilayah Indonesia. Sayangnya, keberadaan peziarah yang rutin datang ini belum dikelola dengan maksimal dengan manajemen pariwisata modern.
"Masyarakat bisa menggiring para peziarah ini untuk menginap di rumah panggung. Tonjolkan suasana tradisional Loloan, termasuk kuliner yang disuguhkan kepada mereka," kata Kepala Bidang Pariwisata, Dinas Pariwisata Dan Budaya Jembrana Nyoman Wenten.
Ia mengatakan, Pemkab Jembrana siap memberikan pendampingan, pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat setempat untuk mengelola pariwisata dengan basis budaya namun bermanajemen modern. Untuk memudahkan pemerintah memberikan bantuan, termasuk dari sisi fasilitas, ia minta masyarakat setempat membentuk kelompok masyarakat sadar wisata, seperti yang sudah dilakukan sejumlah masyarakat lainnya di Kabupaten Jembrana.
"Kami juga menangkap potensi yang besar sektor pariwisata Kampung Loloan. Kami juga sudah berkomunikasi dengan Gerakan Pemuda Loloan, yang semoga bisa mengarah ke pembentukan kelompok masyarakat sadar wisata," katanya.
Menurutnya, dengan mengarahkan peziarah dari sisi pariwisata , tidak hanya akan membawa keuntungan bagi masyarakat setempat, tapi juga Kabupaten Jembrana karena daerah ini juga memiliki tujuan wisata lainnya. "Sehingga orang yang datang ke Loloan tidak hanya berziarah terus pergi, tapi juga mengunjungi objek wisata lainnya disini. Banyak objek wisata yang kami miliki di sepanjang jalan Denpasar-Gilimanuk," katanya.
Arah untuk membentuk kelompok wisata ini juga pernah diungkapkan Mustaidin, H. Musadat Johar serta beberapa warga Loloan lainnya, namun mereka masih menunggu saat yang tepat. Saat yang tepat yang mereka maksud adalah ketika kesadaran mulai tumbuh di kalangan masyarakat Loloan untuk menjaga budaya yang bersifat fisik maupun prilaku, agar pengelolaan dari sisi pariwisata tidak justru memunculkan konflik dan kecemburuan.
"Sangat bisa peziarah yang datang diarahkan menginap di rumah panggung. Sistemnya digilir di masing-masing warga, tapi ini masih perlu pendekatan lebih lanjut kepada masyarakat yang masih memiliki rumah panggung, termasuk kepada biro jasa perjalanan yang membawa peziarah kesini," katanya. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
Apalagi, budaya Kampung Loloan juga memiliki keunikan dari bahasa, arsitektur bangunan hingga perilaku sehari-hari masyarakat dengan unsur melayu yang kental.
"Perilaku keseharian masyarakat Loloan adalah budaya yang juga merupakan bagian dari kebudayaan Bali, meskipun nuansa kami lebih dominan unsur melayunya. Justru ini yang membuat keunikan di Kabupaten Jembrana," kata H. Musadat Johar, budayawan sekaligus sesepuh Kampung Loloan, Selasa.
Ia mengatakan, keunikan budaya loloan dengan bahasa, rumah panggung, tradisi serta seni melayunya banyak membawa berbagai kalangan untuk berkunjung ke kampung ini, termasuk dari akademisi yang melakukan penelitian.
Terletak tidak jauh dari jantung Kota Negara sebagai ibukota Kabupaten Jembrana, Kampung Loloan yang terbagi menjadi dua kelurahan yaitu Loloan Timur dan Loloan Barat, menurut Musadat, saat ini pantas khawatir dengan kelestarian budayanya yang beberapa diantaranya terancam punah.
Ia mencontohkan rumah panggung, yang merupakan warisan leluhur berikut dengan nilai-nilai filosofi arsitekturnya, saat ini tinggal puluhan unit yang ia prediksi jika tidak dilindungi akan segera punah.
"Faktor paling besar yang membuat rumah panggung semakin langka adalah kecenderungan beberapa generasi bekalangan yang memilih membangun rumah dengan arsitektur modern, selain itu rumah panggung sering dijual saat terjadi pembagian warisan," katanya.
Ironisnya, katanya, pembeli rumah panggung dengan harga jual yang tidak seberapa dibandingkan nilai budayanya justru orang-orang jauh yang menangkap keunikan rumah tersebut.
Tidak heran, dengan hanya bermodalkan dana Rp60 juta sampai Rp70 juta, pemilik atau pengelola villa maupun tempat penginapan sudah bisa memboyong rumah panggung, yang beberapa diantaranya sudah berusia ratusan tahun.
"Banyak lagi tradisi atau budaya Loloan yang pudar atau bahkan punah. Namun ciri khas kampung ini setelah bahasa memang rumah panggung. Kalau tidak ada rumah panggung, Loloan akan kehilangan identitas budaya terbesarnya," katanya.
Untuk mempertahankan rumah panggung dengan bahan-bahan utamanya dari kayu, dibutuhkan gerakan yang masif serta kesadaran kolektif dari masyarakat Loloan, karena jumlah rumah tersebut saat ini sudah pada titik kritis.
Harapan tersebut bisa dibebankan kepada Gerakan Pemuda Loloan, yang beberapa tahun belakangan sangat aktif melakukan berbagai kegiatan termasuk budaya dengan melibatkan masyarakat.
"Kami juga merasa gelisah dengan budaya Loloan khususnya yang berbentuk fisik seperti rumah panggung, yang sekarang sudah semakin langka. Apa yang terjadi terhadap budaya Loloan saat ini, membutuhkan proses kebersamaan dengan sesering mungkin membuat kegiatan budaya asli kampung ini," kata Mustaidin, salah seorang tokoh Gerakan Pemuda Loloan.
Beberapa upaya dari gerakan pemuda ini, katanya, antara lain dengan rutin menggelar berbagai kegiatan seperti lomba mainan tradisional, mengajak masyarakat sejenak membangun suasana kampung tempo dulu dan lain-lain yang dicita-citakan akan tumbuh menjadi parade budaya Loloan.
"Ada momentum-momentum hari-hari besar seperti tahun baru Islam, yang kami manfaatkan untuk mengajak dan mengingatkan masyarakat Kampung Loloan terhadap peninggalan budaya, tradisi dan seni dari nenek moyang, atau istilah kami dari nenek dan datuk," katanya.
Salah satu kegiatan budaya yang sudah rutin dilakukan setiap tahun, menurutnya, parade mainan tradisional mobil-mobilan berbahan dasar utama bambu yang penyelenggaraan tahun ini sudah memasuki yang ke empat kali. Ia mengakui, sekilas parade mainan tradisional ini merupakan hal yang sepele, namun sebenarnya cukup efektif untuk menumbuhkan pengetahuan serta minat dari generasi yang saat ini masih bocah untuk mencintai tradisi lokal.
"Sasaran kami tidak hanya pemuda seperti kami, tapi juga generasi setelah kami. Dengan parade atau lomba mainan tradisional, akan menumbuhkan mental budaya yang tidak hanya didominasi kultur modern tapi juga tradisional yang bersanding selaras," katanya.
Pada tahun ini, parade mainan tradisional oleh panitia dikombinasikan dengan budaya Loloan dengan keberadaan sepasang remaja putra dan putri yang mengenakan pakaian adat Kampung Loloan, dengan iringan belasan orang membawa obor. Tidak hanya kegiatan fisik, geliat budaya Loloan juga mulai dibangun dengan rembug budaya yang mengundang sejumlah budayawan untuk merumuskan strategi melestarikan budaya kampung ini, yang disepakati sebagai salah satu kekayaan budaya Kabupaten Jembrana.
"Masyarakat umum juga kami ajak, salah satunya dengan membangun suasana Loloan tempo dulu. Konsepnya, selama beberapa jam masyarakat kami ajak mematikan listrik, serta melakukan kegiatan seperti zaman dulu yang diikuti anak-anak, remaja sampai orang tua," kata Mustaidin.
Karena baru dilaksanakan, ia mengatakan, suasana Loloan tempo dulu akan mengambil wilayah terbatas di salah satu kampung di Kelurahan Loloan Timur pada tanggal 20 September mulai pukul 19.00 wita hingga 23.00 wita. Agar tercipta suasana seperti jaman dulu, selain ketiadaan listrik, seluruh masyarakat termasuk pengguna jalan yang akan melintasi kampung dilarang mengendarai kendaraan bermotor, hanya boleh berjalan kaki atau naik sepeda gayung dan dokar.
"Rumah-rumah akan diterangi dengan penerangan tradisional, termasuk ketika masyarakat berjalan-jalan atau berkunjung ke tetangganya. Dengan target kami yang akan melakukan kegiatan ini secara rutin, kami berharap sebagai generasi muda bisa memberikan sumbangan besar terhadap pelestarian budaya Loloan," katanya.
Gerakan untuk melestarikan budaya Loloan yang mulai masif dilakukan generasi muda ini, mendapatkan apresiasi yang positif dari DS. Putra, salah seorang budayawan Kabupaten Jembrana yang pernah diundang dalam rembug budaya Loloan. Ia mengatakan, keinginan untuk mengembalikan lambang, simbol yang bermuara pada kesejatian budaya melayu Loloan sudah selayaknya mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, khususnya masyarakat Loloan.
"Masyarakat Loloan sebagai komunitas harus sepakat secara kolektif untuk mengembalikan lambang, simbol dan budaya yang memang unik di kampung tersebut," katanya.
Namun ia mengingatkan, semua pihak yang terlibat dalam pembangunan budaya ini jangan hanya terpaku pada pelestarian, tapi juga pengembangan dan penggalian. Pengembangan terhadap budaya harus dilakukan lewat asimilasi zaman yang disaring agar selaras dengan budaya lokal itu sendiri, serta penggalian terhadap spirit atau semangat dari budaya dan tradisi yang dulu dilahirkan para leluhur.
"Setiap budaya apalagi tempo dulu pasti membawa makna, spirit atau maksud dari yang membangun budaya tersebut. Spirit itulah yang juga harus digali generasi saat ini, dan dilanjutkan menjadi sikap mental bersama. Budaya tidak hanya pandangan fisik, tapi budaya menyangkut sesuatu yang lebih dalam lagi yaitu mental perilaku," katanya.
Dengan menempatkan pengembangan dan penggalian bersama dengan pelestarian, menurutnya, apa yang dilakukan generasi muda Kampung Loloan sekarang akan lebih utuh sehingga menangguk hasil yang maksimal.
"Budaya Loloan selama ini dominan menggunakan bahasa lisan. Sudah saatnya budaya lisan itu ditranformasikan ke budaya literatur, karena keberadaan literatur bisa bertahan ratusan tahun," katanya.
Ia mencontohkan, saat bahasa, arsitektur bangunan serta budaya lainnya tertuang dalam bentuk literatur tulis, maka itu akan menjadi warisan pengetahuan bagi generasi-generasi selanjutnya.
Yang juga harus dijaga, katanya, bangkitnya budaya Loloan ini juga harus membuat masyarakat waspada karena sangat mungkin akan mengundang eksploitasi dari tangan-tangan luar, yang ujung-ujungnya akan menempatkan masyarakat Loloan sebagai objek tanpa ikut menikmati hasilnya.
Ia mengatakan, sudah jamak pada saat ini daerah-daerah atau kawasan dengan budaya yang unik menjadi minat kunjungan wisatawan, yang membawa dampak ikutan komersilisasi dari konglomerasi pariwisata.
"Masyarakat Loloan harus waspada terhadap hal tersebut. Memang peningkatan kunjungan pariwisata akan membawa dampak kesejahteraan bagi masyarakat sekitar, tapi yang harus dijaga adalah dampak kesejahteraan terbesar harus bagi masyarakat setempat. Jangan sampai masyarakat lokal hanya menjadi penonton, padahal mereka sebagai objek kunjungan wisata," katanya.
Kampung Loloan dalam tradisi tutur maupun literatur yang jumlahnya sangat terbatas, diakui sebagai bagian tidak terpisahkan dari Kabupaten Jembrana. Masyarakat berkultur melayu yang mendiami pinggiran Sungai Ijogading yang membelah Kota Negara ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Berasal dari daerah-daerah berbudaya melayu seperti Kalimantan, sejak nenek moyang masyarakat Kampung Loloan sudah bahu membahu dengan masyarakat lainnya untuk kepentingan Jembrana.
Pada masa peperangan antar kerajaan hingga penjajahan Belanda dan Jepang, datuk-datuk bahkan nenek generasi Kampung Loloan saat ini selalu ikut serta, bahu membahu mempertahankan kerajaan atau tanah Jembrana. Bahkan sejumlah literatur serta dari tutur lisan turun temurun, wilayah yang sekarang menjadi Kampung Loloan merupakan hadiah dari raja saat itu, karena jasa mereka dalam membantu mempertahankan wilayah kerajaan dari serangan kerajaan lainnya.
Dari perjalanan panjang Kampung Loloan, seperti yang dikatakan DS. Putra, harus terus disampaikan kepada generasi-generasi selanjutnya bahwa para leluhur mereka merupakan bagian dari masyarakat Kabupaten Jembrana.
"Dengan pemahaman seperti itu, meskipun berbeda budaya dan kultur tidak akan mengundang ketegangan dengan budaya dan kultur Bali di luar Loloan. Generasi Loloan saat ini harus memahami, sejak awal leluhur mereka sudah memahami keberagaman yang ada di Bali, serta dengan cerdas menyerap dan menyikapinya hingga melahirkan Kampung Loloan seperti yang ada saat ini," katanya.
Dampak Pariwisata
Gerak budaya yang melahirkan dampak pariwisata, dalam beberapa kesempatan disampaikan Mustaidin serta pemuda Loloan lainnya merupakan salah satu titik yang akan mereka tuju. Mereka menyadari, salah satu yang membuat warga dengan mudah menjual rumah panggungnya karena faktor ekonomi.
"Masyarakat masih tergiur dengan harga yang ditawarkan pembeli, padahal jika dikelola dari sisi pariwisata, rumah panggung bisa memberikan pendapatan ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan menjualnya," kata Mustaidin.
Dengan menjadikan rumah panggung sebagai objek wisata, menurutnya, akan menurunkan minat masyarakat untuk menjualnya, bahkan bisa memancing yang lain untuk membangun rumah dengan arsitektur peninggalan nenek moyang tersebut.
Secara alamiah, Kampung Loloan sebenarnya sudah memiliki modal sebagai kampung wisata lewat kunjungan peziarah religi di wilayah ini. Setiap hari, khususnya di Kelurahan Loloan Barat, sejumlah bus besar terparkir membawa peziarah dari berbagai wilayah Indonesia. Sayangnya, keberadaan peziarah yang rutin datang ini belum dikelola dengan maksimal dengan manajemen pariwisata modern.
"Masyarakat bisa menggiring para peziarah ini untuk menginap di rumah panggung. Tonjolkan suasana tradisional Loloan, termasuk kuliner yang disuguhkan kepada mereka," kata Kepala Bidang Pariwisata, Dinas Pariwisata Dan Budaya Jembrana Nyoman Wenten.
Ia mengatakan, Pemkab Jembrana siap memberikan pendampingan, pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat setempat untuk mengelola pariwisata dengan basis budaya namun bermanajemen modern. Untuk memudahkan pemerintah memberikan bantuan, termasuk dari sisi fasilitas, ia minta masyarakat setempat membentuk kelompok masyarakat sadar wisata, seperti yang sudah dilakukan sejumlah masyarakat lainnya di Kabupaten Jembrana.
"Kami juga menangkap potensi yang besar sektor pariwisata Kampung Loloan. Kami juga sudah berkomunikasi dengan Gerakan Pemuda Loloan, yang semoga bisa mengarah ke pembentukan kelompok masyarakat sadar wisata," katanya.
Menurutnya, dengan mengarahkan peziarah dari sisi pariwisata , tidak hanya akan membawa keuntungan bagi masyarakat setempat, tapi juga Kabupaten Jembrana karena daerah ini juga memiliki tujuan wisata lainnya. "Sehingga orang yang datang ke Loloan tidak hanya berziarah terus pergi, tapi juga mengunjungi objek wisata lainnya disini. Banyak objek wisata yang kami miliki di sepanjang jalan Denpasar-Gilimanuk," katanya.
Arah untuk membentuk kelompok wisata ini juga pernah diungkapkan Mustaidin, H. Musadat Johar serta beberapa warga Loloan lainnya, namun mereka masih menunggu saat yang tepat. Saat yang tepat yang mereka maksud adalah ketika kesadaran mulai tumbuh di kalangan masyarakat Loloan untuk menjaga budaya yang bersifat fisik maupun prilaku, agar pengelolaan dari sisi pariwisata tidak justru memunculkan konflik dan kecemburuan.
"Sangat bisa peziarah yang datang diarahkan menginap di rumah panggung. Sistemnya digilir di masing-masing warga, tapi ini masih perlu pendekatan lebih lanjut kepada masyarakat yang masih memiliki rumah panggung, termasuk kepada biro jasa perjalanan yang membawa peziarah kesini," katanya. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018