Denpasar (Antaranews Bali) - Budayawan dan pengamat seni Prof Dr I Made Bandem berpandangan kesenian Janger yang bersifat klasik masih perlu dipertahankan, meskipun telah berkembang berbagai kreasi dan kombinasi Janger.
"Ini sesungguhnya model Janger yang perlu kita pertahankan. Walaupun saya tahu ada beberapa gending-gending yang sudah tidak dilagukan lagi," kata Bandem, disela-sela pementasan Janger dari Sanggar Lango Murti, Singapadu, Gianyar dalam ajang Bali Mandara Mahalango 5, diTaman Budaya Denpasar, Selasa malam.
Bagi Bandem boleh saja ada Janger-Janger model lain tetapi Janger yang asli seperti yang ditampilkan Sanggar Lango Murti harus tetap ada.
"Sesungguhnya ini Janger yang lebih klasik daripada Janger-Janger yang lain. Karena Janger Singapadu ini kombinasi antara Janger Peliatan, Singapadu, dan Kedaton yang menjadi puncak-puncaknya Janger pada tahun 1940-an, 1948, 1947. Janger ini sedang menjadi model di Bali sesungguhnya karena kombinasi itu," ujarnya.
Menurut Bandem, Janger yang ditampilkan tersebut memang telah menjadi seni klasik saat ini. Bahkan lebih klasik dibandingkan dengan janger Menyali atau janger-janger yang lain karena Janger itu jauh lebih awal dibandingkan Janger-Janger yang pernah ada.
Selain itu, tarinya ditata dengan?bagus, begitu juga penataan kecaknya sehingga penampilannya terasa komplit.
Catatan lainnya, menurut Bandem, hal yang ditampilkan menjadi tidak kuno asal dikemas seperti sekarang. Misalkan koreografinya dapat diimprovisasi.
"Tadi itu kan ada gending Pangkur Jawa namanya. Itu seharusnya ditonjolkan lebih banyak. Pangkur Jawa, yang nyanyi solo itu menarik. Janger Singapadu dulu banyak sekali nyanyian solo-solo seperti itu. Mengadu suara baru mejangerannya. Itu yang saya perhatikan kurang ada. Cuma satu sayang juga, ya tapi ya tetep masih ada," katanya.
Sementara itu, I Made Wijana, kelihan banjar (pengurus adat) dari Desa Singapadu mengatakan pada tahun 1950-an sudah ada Janger tersebut dan turun-temurun dan sekarang sudah generasi yang ke-21.
"Janger klasik seperti ini perlu dipertahankan. Yang sudah ada memanglah patut dilestarikan. Itulah yang menjadi tolak ukur Sanggar Lango Murti untuk senantiasa bergelut dalam mencari generasi penerus seni kerakyatan Janger yang sudah ada sejak tahun 1950," ujarnya.
Di samping itu, sanggar juga bawah naungan STT (Sekaa Teruna-Teruni-red) di Desa Singapadu, jadi sudah barang tentu semua pemuda-pemudi tergabung dalam sanggar.
Sebagai kelian, Wijana pun berusaha intensif mengawasi anak muda yang menari dan menabuh pada gelar Bali Mandara Mahalango 5.
Setiap latihan Wijana mengawasi dan memberikan masukan-masukan yang dirasa penting. Sudah tampil untuk kedua kalinya, Wijana merasa penampilan Janger kali ini kuranglah maksimal.
"Pertama kali kami tampil itu tahun 2016 dan saat itu lebih siap sehingga kami buatkan lakon di dalam Janger. Sedangkan karena banyaknya kesibukan dari para penampil, maka kami hanya menampilkan Janger yang sudah kami tarikan turun-temurun," ujarnya.
Meski dirasa biasa saja, namun bagi salah satu penabuh Sanggar Lango Murti, I Made Dhima Fransima mengatakan dengan garapan Janger tanpa lakon, suasana kekentalan klasik sebuah kesenian janger sangatlah terasa.
"Memang dulu pakai lakon, sekarang tidak. Tetapi dengan yang seperti ini lebih terasa natural dan klasiknya," kata Dhima. (WDY)
Video oleh Rhismawati
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Ini sesungguhnya model Janger yang perlu kita pertahankan. Walaupun saya tahu ada beberapa gending-gending yang sudah tidak dilagukan lagi," kata Bandem, disela-sela pementasan Janger dari Sanggar Lango Murti, Singapadu, Gianyar dalam ajang Bali Mandara Mahalango 5, diTaman Budaya Denpasar, Selasa malam.
Bagi Bandem boleh saja ada Janger-Janger model lain tetapi Janger yang asli seperti yang ditampilkan Sanggar Lango Murti harus tetap ada.
"Sesungguhnya ini Janger yang lebih klasik daripada Janger-Janger yang lain. Karena Janger Singapadu ini kombinasi antara Janger Peliatan, Singapadu, dan Kedaton yang menjadi puncak-puncaknya Janger pada tahun 1940-an, 1948, 1947. Janger ini sedang menjadi model di Bali sesungguhnya karena kombinasi itu," ujarnya.
Menurut Bandem, Janger yang ditampilkan tersebut memang telah menjadi seni klasik saat ini. Bahkan lebih klasik dibandingkan dengan janger Menyali atau janger-janger yang lain karena Janger itu jauh lebih awal dibandingkan Janger-Janger yang pernah ada.
Selain itu, tarinya ditata dengan?bagus, begitu juga penataan kecaknya sehingga penampilannya terasa komplit.
Catatan lainnya, menurut Bandem, hal yang ditampilkan menjadi tidak kuno asal dikemas seperti sekarang. Misalkan koreografinya dapat diimprovisasi.
"Tadi itu kan ada gending Pangkur Jawa namanya. Itu seharusnya ditonjolkan lebih banyak. Pangkur Jawa, yang nyanyi solo itu menarik. Janger Singapadu dulu banyak sekali nyanyian solo-solo seperti itu. Mengadu suara baru mejangerannya. Itu yang saya perhatikan kurang ada. Cuma satu sayang juga, ya tapi ya tetep masih ada," katanya.
Sementara itu, I Made Wijana, kelihan banjar (pengurus adat) dari Desa Singapadu mengatakan pada tahun 1950-an sudah ada Janger tersebut dan turun-temurun dan sekarang sudah generasi yang ke-21.
"Janger klasik seperti ini perlu dipertahankan. Yang sudah ada memanglah patut dilestarikan. Itulah yang menjadi tolak ukur Sanggar Lango Murti untuk senantiasa bergelut dalam mencari generasi penerus seni kerakyatan Janger yang sudah ada sejak tahun 1950," ujarnya.
Di samping itu, sanggar juga bawah naungan STT (Sekaa Teruna-Teruni-red) di Desa Singapadu, jadi sudah barang tentu semua pemuda-pemudi tergabung dalam sanggar.
Sebagai kelian, Wijana pun berusaha intensif mengawasi anak muda yang menari dan menabuh pada gelar Bali Mandara Mahalango 5.
Setiap latihan Wijana mengawasi dan memberikan masukan-masukan yang dirasa penting. Sudah tampil untuk kedua kalinya, Wijana merasa penampilan Janger kali ini kuranglah maksimal.
"Pertama kali kami tampil itu tahun 2016 dan saat itu lebih siap sehingga kami buatkan lakon di dalam Janger. Sedangkan karena banyaknya kesibukan dari para penampil, maka kami hanya menampilkan Janger yang sudah kami tarikan turun-temurun," ujarnya.
Meski dirasa biasa saja, namun bagi salah satu penabuh Sanggar Lango Murti, I Made Dhima Fransima mengatakan dengan garapan Janger tanpa lakon, suasana kekentalan klasik sebuah kesenian janger sangatlah terasa.
"Memang dulu pakai lakon, sekarang tidak. Tetapi dengan yang seperti ini lebih terasa natural dan klasiknya," kata Dhima. (WDY)
Video oleh Rhismawati
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018