Gianyar (Antara Bali) - Ratusan warga Banjar Pande, Desa/Kecamatan  Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, melakukan penyegelan paksa rumah milik Riadi Chandra atau Tjan Bo Sing di Dusun Kebon, Desa Blahbatuh.

"Kami sudah berulang kali memberikan peringatan kepada pemilik rumah kalau lahannya merupakan  milik negara. Sejak tahun 1984, berdasarkan SK Bupati dan Gubernur, tanah tersebut diserahkan ke Desa Blahbatuh," kata Perbekel Desa Blahbatuh, Dewa Nyoman Sukadana, Senin.

Alasan penyegelan itu, kata dia, sesuai dengan SK Bupati Gianyar No.51/188453/3419/Pem/1984, tertanggal 10 Oktober 1984.

Dalam surat itu, ditetapkan bahwa lokasi Kantor Kepala Desa Blahbatuh dan KUD Blahbatuh di atas Tanah Negara asal Konversi Hak Barat, yaitu tanah ex Vevonding No.372 tahun 1921 atas nama Tjak Ek Hin, yang masa berlakunya berakhir pada 23 September 1980.

"Hal itu juga diperkuat SK Gubernur Bali No.2/HP/DA/Gin/1985 tentang pencabutan hak guna  bangunan atas nama Tjan Ek Hin di atas tanah seluas 17 are (1.700 meter persegi) yang berlaku sampai 23 September 1980," katanya.

Kedua, surat keputusan itu diperkuat putusan Mahkamah Agung No.33/K/Pdt/2005 tanggal 19 April 2007 yang berisi penolakan kasasi atas nama Riadi Chandra.

"Kami pun berusaha merebut hak kami kembali. Tak hanya itu, kami juga seringkali memberikan surat peringatan kepada Riadi untuk segera mengsongkan rumah di lokasi tersebut," ujarnya.

Sukadana menjelaskan, ditolaknya kasasi Riadi yakni dirinya hanya mempunyai hak perorangan berupa jual-beli yang dibuat antara pemerintah Hindia Belanda dengan Tjak Ek Hin yang hingga kini secara yuridis tidak pernah dicabut dan dibatalkan.

Disamping itu, bahwa SHGB No.3 itu berlaku sampai 23 September 1980 dan hal tersebut telah dikonversikan.

"Ini merupakan hal yang keliru, karena pada saat itu Tjan Ek Hin berstatus WNA. Yang mana WNA tidak boleh memiliki tanah hak milik. Karenanya, secara otomatis tanah tersebut menjadi milik negara," ucapnya.

Berdasarkan hal tersebut, Sukadana kemudian memberikan somasi kepada Riadi sebagai pemilik rumah sekarang. Somasi terakhir diberikan 27 Juni lalu dengan No.125/VI/2011.

"Dari situ kami juga tak henti-hentinya mengajak Riadi untuk rembukkan soal ini," jelasnya.

Namun sayangnya, Riadi tak pernah mau datang. Kemudian diberikan waktu lagi satu minggu. Lagi-lagi, Riadi tidak menggubris somasi yang diberikannya.

"Terakhir kali kami berikan somasi pada 27 Juni lalu. Namun pelaksanaannya sendiri tertunda, karena di Desa Blahbatuh tengah berlangsung porseni desa (Pordes). Dan aksi tersebut baru terealisasi Senin, setelah acara Pordes selesai," ujarnya.

Lanjut dia, rencananya tanah yang dipermasalahkan seluas kurang lebih 17 are itu, sebanyak tiga are sudah dipergunakan untuk bangunan pura dan wantilan Banjar Pande.

"Sedangkan sisanya nanti akan diperuntukkan membangun Kantor kepala desa dan KUD Blahbatuh," jelasnya.

Disamping itu, kata dia, juga akan dibangun sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan TK.

"Selama ini PAUD dan TK masih menumpang di Balai Banjar Antugan. Jadi, nantinya sisa 14 are itu, tak hanya akan dibangun kantor kades dan KUD, tapi juga sekolah PAUD dan TK," katanya.

Sementara pihak Riadi tidak berada di rumah saat warga hendak melakukan penyegelan paksa tersebut.

Dirinya hanya menitipkan sebuah surat melalui Made Murti, penunggu rumahnya. Surat No.139/VIII/2011 tanggal 5 Agustus itu, berisi penolakan somasi Perbekel Desa Blahbatuh.

Dalam surat tersebut, Riadi menyatakan akan melakukan gugatan hukum ke Pengadilan Negeri Denpasar, dengan alasan demi tegaknya hukum di Indonesia.

"Saya tidak tahu Pak Riadi kemana. Saya hanya dititipi surat ini saja," ujar Made Murti saat ditemui di rumah Riadi.(*)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011