Denpasar (Antara Bali) - Pengamat ekonomi dari Universitas Udayana Prof Dr Made Kembar Sri Budhi mengatakan, perilaku masyarakat yang mengkonsumsi barang dalam jumlah berlebihan menjelang bulan puasa menjadi pemicu kenaikan harga barang-barang, terutama kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako).
"Perilaku masyarakat semacam ini sudah diamati oleh pasar, sehingga otomatis pedagang akan menaikkan harga meskipun tidak ada perubahan dalam proses produksi dan distribusi barang," kata Prof Dr Made Kembar Sri Budhi di Denpasar, Selasa.
Ia mengungkapkan, psikologi para pedagang seakan sudah mentradisi menaikkan harga dengan melihat perilaku masyarakat yang demikian itu.
"Agar harga barang tidak naik, sebenarnya masyarakat tidak perlu membeli barang dalam jumlah lebih banyak ataupuh hingga menyetok barang, toh tidak terjadi gangguan dalam distribusi dan produksi barang," ucapnya.
Masyarakat, kata Kembar seharusnya belajar dari pengalaman yang terdahulu dan tidak melakukan pembelian yang berlebihan.
"Berbelanja seharusnya normal-normal saja. Bukankah ketika kita membeli, barang itu kan tetap ada," ujarnya mempertanyakan.
Di sisi lain, lanjut dia, penyulut kenaikan harga barang disebabkan fenomena pemberian gaji ke-13 dan tunjangan hari raya (THR) yang diterima para pekerja jelang hari besar keagamaan.
"Oleh sebab itu, secara intuisi kaum penjual memanfaatkan momentum tersebut untuk meraup keuntungan yang setinggi-tingginya," katanya.
Menurutnya, kondisi ini jika dilihat dari teori ekonomi dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat. "Terjadi peningkatan penghasilan namun diiringi kenaikan harga berbagai jenis barang dalam waktu bersamaan, menyebabkan pengeluaran tak imbang dengan penghasilan," jelasnya.
Terlebih jika setelah hari raya berlalu, harga barang tetap tinggi, hal itu menurut Kembar akan memacu inflasi. "Kesejahteraan masyarakat bisa tambah menurun," tegasnya.
Sementara itu, menurut Kembar, kebijakan operasi pasar yang diambil pemerintah guna membantu masyarakat mendapatkan harga barang yang lebih terjangkau, belumlah sebagai solusi menjawab persoalan ekonomi rakyat.
"Tak semua masyarakat miskin atau golongan ekonomi lemah dapat mengakses pasar murah karena pelaksanaannya pun tak berlangsung lama," ujarnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
"Perilaku masyarakat semacam ini sudah diamati oleh pasar, sehingga otomatis pedagang akan menaikkan harga meskipun tidak ada perubahan dalam proses produksi dan distribusi barang," kata Prof Dr Made Kembar Sri Budhi di Denpasar, Selasa.
Ia mengungkapkan, psikologi para pedagang seakan sudah mentradisi menaikkan harga dengan melihat perilaku masyarakat yang demikian itu.
"Agar harga barang tidak naik, sebenarnya masyarakat tidak perlu membeli barang dalam jumlah lebih banyak ataupuh hingga menyetok barang, toh tidak terjadi gangguan dalam distribusi dan produksi barang," ucapnya.
Masyarakat, kata Kembar seharusnya belajar dari pengalaman yang terdahulu dan tidak melakukan pembelian yang berlebihan.
"Berbelanja seharusnya normal-normal saja. Bukankah ketika kita membeli, barang itu kan tetap ada," ujarnya mempertanyakan.
Di sisi lain, lanjut dia, penyulut kenaikan harga barang disebabkan fenomena pemberian gaji ke-13 dan tunjangan hari raya (THR) yang diterima para pekerja jelang hari besar keagamaan.
"Oleh sebab itu, secara intuisi kaum penjual memanfaatkan momentum tersebut untuk meraup keuntungan yang setinggi-tingginya," katanya.
Menurutnya, kondisi ini jika dilihat dari teori ekonomi dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat. "Terjadi peningkatan penghasilan namun diiringi kenaikan harga berbagai jenis barang dalam waktu bersamaan, menyebabkan pengeluaran tak imbang dengan penghasilan," jelasnya.
Terlebih jika setelah hari raya berlalu, harga barang tetap tinggi, hal itu menurut Kembar akan memacu inflasi. "Kesejahteraan masyarakat bisa tambah menurun," tegasnya.
Sementara itu, menurut Kembar, kebijakan operasi pasar yang diambil pemerintah guna membantu masyarakat mendapatkan harga barang yang lebih terjangkau, belumlah sebagai solusi menjawab persoalan ekonomi rakyat.
"Tak semua masyarakat miskin atau golongan ekonomi lemah dapat mengakses pasar murah karena pelaksanaannya pun tak berlangsung lama," ujarnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011