Denpasar (Antaranews Bali) - Pemerintah Provinsi Bali memetakan unit Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) di daerah itu yang tergolong bermasalah ke dalam sistem informasi geografis, supaya lebih mudah dilakukan pembinaan
"Sejak 2017, kami memiliki Geographic Information System, di sana dipetakan Simantri yang bermasalah. Ada Simantri yang dikategorikan berwarna hijau (bagus), warna kuning (sedang), dan warna merah (jelek)," kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Simantri Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali I Wayan Sunada, di Denpasar, Selasa.
Menurut Sunada, di dalam peta tersebut jika di klik daerah-daerahnya, maka akan keluar informasi mengenai nama gabungan kelompok tani (gapoktan), lokasi Simantri, hingga nama para pendampingnya.
"Dari peta itu, kita bisa melihat Simantri yang kurang bagus sehingga dapat dimantapkan untuk diberikan pembinaan, yang pada akhirnya harapan kami Simantri yang bertanda `merah` jumlahnya akan terus berkurang," ujarnya.
Pihaknya bersyukur, upaya pendampingan dan pembinaan yang telah dilakukan selama ini cukup membuahkan hasil yang dibuktikan dengan penurunan jumlah Simantri yang tidak optimal.
Sunada mengemukakan, jika pada 2015 jumlah Simantri yang tidak optimal sebanyak 13 persen, maka pada 2017 dari 703 Simantri yang telah terbentuk, yang tidak optimal menjadi 5,5 persen (39 Simantri).
"Untuk pembinaan, kami melakukan secara `door to door` dengan langsung mengunjungi Simantri yang bermasalah. Selain itu, kami juga setiap minggu melakukan pembinaan kepada 200 pendamping Simantri," katanya.
Simantri yang tidak optimal itu di antaranya ditunjukkan dari produksi pupuk organiknya yang sedikit, ada yang alat pengolahan biogasnya rusak, maupun sapi yang dipelihara oleh gabungan kelompok tani kurus-kurus.
Sebelumnya Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardhana mengatakan anggaran yang dialokasikan Pemprov Bali untuk tahun ini kepada unit Simantri masih sama sebesar Rp225 juta, yang diterima oleh kelompok petani dalam bentuk hibah uang.
Pihaknya tidak menampik jika realisasi terbentuknya Simantri sejak 2009 hingga akhir 2018 yang dibiayai Pemprov Bali menjadi sekitar 759 Simantri, atau belum sesuai dengan yang ditargetkan Gubernur Bali Made Mangku Pastika sebanyak 1.000 Simantri.
"Tetapi jika ditambah dengan Simantri swadaya yakni yang direplikasi masyarakat, termasuk dikembangkan oleh beberapa kabupaten di Bali, maka kita sudah punya semacam Simantri ini sekitar 1.200 hingga akhir 2018." ucapnya.
Keberadaan Simantri, menurut Wisnuardhana, sudah sangat dirasakan oleh masyarakat seperti ketersediaan pupuk organik cair dan padat dalam jumlah yang cukup, yang tentu saja ini juga mendukung program "Bali Clean and Green" yang telah dicanangkan Pemprov Bali.
Lewat terbentuknya unit Simantri juga telah dikembangkan biogas sebagai energi baru dan terbarukan, sehingga petani menjadi tidak tergantung lagi dengan elpiji. Selain itu, dengan adanya Simantri sekaligus sebagai bentuk pelestarian plasma nutfah sapi Bali. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Sejak 2017, kami memiliki Geographic Information System, di sana dipetakan Simantri yang bermasalah. Ada Simantri yang dikategorikan berwarna hijau (bagus), warna kuning (sedang), dan warna merah (jelek)," kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Simantri Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali I Wayan Sunada, di Denpasar, Selasa.
Menurut Sunada, di dalam peta tersebut jika di klik daerah-daerahnya, maka akan keluar informasi mengenai nama gabungan kelompok tani (gapoktan), lokasi Simantri, hingga nama para pendampingnya.
"Dari peta itu, kita bisa melihat Simantri yang kurang bagus sehingga dapat dimantapkan untuk diberikan pembinaan, yang pada akhirnya harapan kami Simantri yang bertanda `merah` jumlahnya akan terus berkurang," ujarnya.
Pihaknya bersyukur, upaya pendampingan dan pembinaan yang telah dilakukan selama ini cukup membuahkan hasil yang dibuktikan dengan penurunan jumlah Simantri yang tidak optimal.
Sunada mengemukakan, jika pada 2015 jumlah Simantri yang tidak optimal sebanyak 13 persen, maka pada 2017 dari 703 Simantri yang telah terbentuk, yang tidak optimal menjadi 5,5 persen (39 Simantri).
"Untuk pembinaan, kami melakukan secara `door to door` dengan langsung mengunjungi Simantri yang bermasalah. Selain itu, kami juga setiap minggu melakukan pembinaan kepada 200 pendamping Simantri," katanya.
Simantri yang tidak optimal itu di antaranya ditunjukkan dari produksi pupuk organiknya yang sedikit, ada yang alat pengolahan biogasnya rusak, maupun sapi yang dipelihara oleh gabungan kelompok tani kurus-kurus.
Sebelumnya Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardhana mengatakan anggaran yang dialokasikan Pemprov Bali untuk tahun ini kepada unit Simantri masih sama sebesar Rp225 juta, yang diterima oleh kelompok petani dalam bentuk hibah uang.
Pihaknya tidak menampik jika realisasi terbentuknya Simantri sejak 2009 hingga akhir 2018 yang dibiayai Pemprov Bali menjadi sekitar 759 Simantri, atau belum sesuai dengan yang ditargetkan Gubernur Bali Made Mangku Pastika sebanyak 1.000 Simantri.
"Tetapi jika ditambah dengan Simantri swadaya yakni yang direplikasi masyarakat, termasuk dikembangkan oleh beberapa kabupaten di Bali, maka kita sudah punya semacam Simantri ini sekitar 1.200 hingga akhir 2018." ucapnya.
Keberadaan Simantri, menurut Wisnuardhana, sudah sangat dirasakan oleh masyarakat seperti ketersediaan pupuk organik cair dan padat dalam jumlah yang cukup, yang tentu saja ini juga mendukung program "Bali Clean and Green" yang telah dicanangkan Pemprov Bali.
Lewat terbentuknya unit Simantri juga telah dikembangkan biogas sebagai energi baru dan terbarukan, sehingga petani menjadi tidak tergantung lagi dengan elpiji. Selain itu, dengan adanya Simantri sekaligus sebagai bentuk pelestarian plasma nutfah sapi Bali. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018