Nusa Dua (Antaranews Bali) - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Republik Indonesia Willem Rampangiley memprediksi di tahun 2018 intensitas dan frekuensi bencana akan meningkat karena adanya degradasi lingkungan yang belum bisa tertangani dengan baik.

"Adanya perubahan cuaca ekstrem yang akan meningkat di tahun anjing tanah ini. Selain itu, daerah aliran sungai termasuk kondisi sungai yang memprihatinkan, lalu belum lagi kita membicarakan tentang perubahan iklim cuaca ekstrem, ya kita lihat bahwa bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim yang menelan korban yang sudah banyak," kata Willem saat Rakernas BNPB 2018 di Nusa, Bali, Kamis.

Menurut dia, Indonesia dinilai sebagai negara rawan bencana, di tahun 2017 telah terjadi bencana sebanyak 2.377 kali sedangkan di tahun 2016 tercatat 2.384 kali. Sedangkan jumlah korban meninggal dunia akibat bencana sebanyak 2016 561 jiwa, pada tahun 2017 jumlah meninggal dunia 377 jiwa.

Dari data yang diterbitkan BNPB, sebanyak 90 persen bencana di Indonesia disebabkan oleh hidrometeologi yakni longsor dan banjir serta banyaknya korban bencana karena sebagian besar bermukim di wilayah rawan bencana dan juga adanya pembangunan masa lalu yang dikerjakan tidak berbasis pada analisis resiko bencana.

"Nah sekarang ini menjadi tantangan kita bahwa pembangunan ke depan harus melengkapi analisis resiko bencananya, belum lagi kita berbicara tentang urbanisasi, pertumbuhan penduduk, lalu tara ruang jadi begitu kompleksnya itu penanggulangan bencana," tambahnya.

Baca juga: BNPB terima dokumen penanggulangan bencana dari Selandia Baru

Untuk menanggulangi adanya bencana yang menelan korban jiwa, pihaknya meminta masyarakat dan pemerintah agar melakukan perubahan paradigma terkait besarnya biaya penanggulangan bencana melainkan berpikir agar hal tersebut dijadikan investasi jangka panjang.

Video oleh Pande Yudha


Pewarta: Wira Suryantala

Editor : I Nyoman Aditya T I


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018