Denpasar (Antaranews Bali) - Ketua Umum Rumah Keamanan Nasional (Kamnas) Maksum Zuber mengingatkan perlunya masyarakat untuk mewaspadai politik "hit and run" (tabrak lari) selama tahun 2018 yang merupakan "tahun politik".
"Tahun 2018 adalah tahun pancaroba politik dimana konstalasi politik menunjukkan eskalasi sunyi atau api dalam sekam, namun hakekatnya merupakan tanda-tanda `Perang Dingin`," katanya kepada Antara melalui `percakapan daring` dari Denpasar, Senin.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Clean Governance (LCG) yang alumnus Sekolah Kambas Universitas Bhayangkara Jakarta itu, pancaroba adalah masa peralihan dari musim dingin ke musim panas.
"Karena itu, selama pancaroba banyak hal terjadi, baik yang datang dari dalam diri sendiri maupun dari luar, kejadian dan peristiwa datang dari lingkungan sendiri maupun dari luar lingkungan sendiri," katanya.
Oleh karena itu, ia mengingatkan masyarakat untuk waspada, karena semua sarana dan prasarana untuk memenangkan pertarungan politik dalam kondisi "perang dingin" (pancaroba) itu dilakukan secara tersembunyi, tapi berdampak terbuka.
"Ibaratnya, dampaknya terasa tapi faktor penyebab tidak tampak, karena isu sensitif yang tidak boleh terpublikasi ke publik akan dikemas secara rapi dan tertutup. Itulah yang saya sebut dengan istilah hit and run atau politik tabrak lari," katanya.
Dalam kondisi seperti itu, bila masyarakat tidak waspadai akan banyak terjadi "kecelakaan" politik secara masif dan merata dimana-mana, sehingga "kebesaran" bangsa dan negara ini akan menjadi pertaruhan kedepan.
"Tanda-tanda politik tabrak lari yang patut diwaspadai itu mirip teknologi pasar di zaman now yang mengenal istilah `online shop` yang membeli barang secara online, lalu uang dan ongkos kirim ditransfer, tapi barang tidak datang," katanya.
Untuk meningkatkan kewaspadaan, mantan Sekjen PP IPNU itu mengingatkan masyarakat untuk tidak mudah percaya kepada siapapun, termasuk janji politik, apalagi bila dikemas dengan isu sensitif, seperti isu SARA.
"Caranya, masyarakat harus melihat rekam jejak (track record) politisi atau tokoh tertentu. Kalau masyarakat hanya mudah percaya, apalagi termakan isu SARA, maka bangsa ini akan babak belur dalam perang dingin itu," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Tahun 2018 adalah tahun pancaroba politik dimana konstalasi politik menunjukkan eskalasi sunyi atau api dalam sekam, namun hakekatnya merupakan tanda-tanda `Perang Dingin`," katanya kepada Antara melalui `percakapan daring` dari Denpasar, Senin.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Clean Governance (LCG) yang alumnus Sekolah Kambas Universitas Bhayangkara Jakarta itu, pancaroba adalah masa peralihan dari musim dingin ke musim panas.
"Karena itu, selama pancaroba banyak hal terjadi, baik yang datang dari dalam diri sendiri maupun dari luar, kejadian dan peristiwa datang dari lingkungan sendiri maupun dari luar lingkungan sendiri," katanya.
Oleh karena itu, ia mengingatkan masyarakat untuk waspada, karena semua sarana dan prasarana untuk memenangkan pertarungan politik dalam kondisi "perang dingin" (pancaroba) itu dilakukan secara tersembunyi, tapi berdampak terbuka.
"Ibaratnya, dampaknya terasa tapi faktor penyebab tidak tampak, karena isu sensitif yang tidak boleh terpublikasi ke publik akan dikemas secara rapi dan tertutup. Itulah yang saya sebut dengan istilah hit and run atau politik tabrak lari," katanya.
Dalam kondisi seperti itu, bila masyarakat tidak waspadai akan banyak terjadi "kecelakaan" politik secara masif dan merata dimana-mana, sehingga "kebesaran" bangsa dan negara ini akan menjadi pertaruhan kedepan.
"Tanda-tanda politik tabrak lari yang patut diwaspadai itu mirip teknologi pasar di zaman now yang mengenal istilah `online shop` yang membeli barang secara online, lalu uang dan ongkos kirim ditransfer, tapi barang tidak datang," katanya.
Untuk meningkatkan kewaspadaan, mantan Sekjen PP IPNU itu mengingatkan masyarakat untuk tidak mudah percaya kepada siapapun, termasuk janji politik, apalagi bila dikemas dengan isu sensitif, seperti isu SARA.
"Caranya, masyarakat harus melihat rekam jejak (track record) politisi atau tokoh tertentu. Kalau masyarakat hanya mudah percaya, apalagi termakan isu SARA, maka bangsa ini akan babak belur dalam perang dingin itu," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018