Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Sejumlah desa adat atau pekraman di Bali memiliki tradisi unik dan khas dalam merayakan Hari Suci Kuningan, rangkaian dari Hari Galungan yang bermakna memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan).

Perayaan yang digelar setiap 210 hari sekali itu, berakhir dengan tradisi yang diwarisi secara turun temurun. Desa Adat Klusa di Kecamatan Payangan misalnya menggelar tajen (sabung ayam) massal yang melibatkan seluruh warga setempat.

Demikian pula warga Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung menggelar tradisi "mekotek" untuk kelengkapan upacara "Ngerebeg" yang melibatkan seluruh pria usia 13-60 tahun.

Sementara warga masyarakat Desa Adat Bongan, Kabupaten Tabanan memiliki tradisi yang tidak kalah menariknya "Mesuryak" atau bergembira bersama, sambil menghamburkan uang ke udara, yang bermakna mengantar kembali leluhurnya ke alam nirwana.

Menurut Kelian Banjar Adat Bongan Gede, I Made Wardana, ritual "Mesuryak" merupakan puncak dari perayaan Galungan dan Kuningan dengan cara melempar uang ke udara secara bersamaan, dan di pihak lain berisiap-siang menangkapnya, dan hal itu telah dilakukan secara turun temurun.

Masyarakat setempat percaya dan yakin ritual "Mesuryak" mampu mengantarkan keluhurnya yang turun ke bumi Dewata selama sepuluh hari antara Galungan dan Kuningan kembali ke surga dengan lapang dada, karena melihat keturunannya bergembira, saat melepasnya kembali ke alam surga.

Dulunya atraksi "Mesuryak" hanya dengan melempar uang kepeng ke udara. Namun seiring dengan perkembangan zaman, uang kepeng semakin sulit diperoleh diganti dengan uang dengan nilai nominal Rp1.000, Rp2.000, Rp5.000, Rp10.000, Rp20.000, Rp50.000 bahkan lembaran Rp100.000.

Melempar uang ke udara yang kemudian direbut oleh warga lainnya yang tidak bisa diminta kembali, tergantung dari keikhlasan dan kemampuan dari masing-masing keluarga.

Bahkan ada dari keluarga yang mampu pada tradisi "Mesuryak" itu  menghambur-hampuran uang sampai Rp26 juta, yang secara otomatis luapan kegembiraan  semakin seru, mengundang warga lainnya dari semua umur untuk ikut berebut dalam "hujan uang" itu.

Meskipun demikian tetap mengutamakan keselamatan warga, jangan sampai ada yang terjatuh dan terinjak hingga menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

Desa adat Bongan di daerah gudang beras Pulau Bali itu terdiri atas sebelas banjar, masing-masing melakukan kegiatan serupa yang pesertanya terbatas dari kalangan keluarga, ada hubungan kekeluargaan dalam satu banjar tersebut.

Ritual "Mesuryak" dilakukan di depan pintu rumah tangga masing-masing setelah usai melakukan persembahyangan di tempat suci (merajan) rumah tangga masing-masing. Kegiatan itu mulai dari keluarga yang rumahnya paling ujung terus berlanjut secara bergantian hingga berakhir di rumah paling ujung.

Ritual "mesuryak" menurut Wardana diwarisi secara turun temurun hingga kini tetap dilaksanakan bertepatan dengan Hari Raya Kunungan, yang kali ini jatuh pada hari Sabtu (16/7).

    
"Mekotek"

Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung pada Hari Suci Kuningan itu menampilkan ritual "Mekotek" dalam upacara "Ngerebeg". Kegiatan yang melibatkan seluruh pria usia 13-60, masing-masing  mengenakan busana adat Bali membawa tongkat sepanjang 3,5 meter.

Kegiatan itu dipercaya sebagai penolak bala hingga kini tetap lestari, digelar secara berkesinambungan setiap 210 hari saat hari Suci Kuningan.

Menurut Ketua Kertha Desa Munggu Ida Bagus Gede Mahadewa, tradisi "makotek" merupakan tradisi yang dilakukan setiap Hari Raya Kuningan serta dipercaya dapat menjauhkan diri dari segala bentuk bencana.

Tradisi itu diwarisi secara turun temurun, namun pernah ada bencana dan  kegiatan "mekotek" itu ditiadakan, tapi kemudian menyusul ada bencana menimpa warga, bahkan secara tiba-tiba belasan orang warga meninggal.

Adanya musibah yang tidak diinginkan itu, tradisi "mekotek" kembali digelar masyarakat setempat, namun alat yang digunakannya diubah dari tadinya tombak menjadi kayu atau tongkat.

Kegiatan tradisi itu sekaligus  memperingati kemenangan Kerajaan Mengwi saat perang melawan kerajaan Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur.  Tradisi itu disebut makotek berawal dari suara kayu-kayu yang saling bersentuhan dengan  kayu-kayu lainnya saat  disatukan menjadi bentuk gunung yang menyudut ke atas.

"Makotek timbul dari suara kayu-kayu yang digabung jadi satu, dari ratusan warga, bunyinya tek.. tek.. tek.. Sebenarnya dulu tradisi ini bernama grebek yang artinya saling dorong," tutur Bagus Mahadewa.

Peserta yang umumnya pria dari umur 13-60 tahun sebelumnya melakukan persembahyangan bersama di Pura
Luhur Sapuh Jagat desa Munggu, berakhir dengan permercikkan air suci (tirta) hasil redaman keris pusaka di tempat suci tersebut.

Namun warga tidak diizinkan ikut dalam "Mekotok" jika salah seorang anggota keluarga meninggal (cuntaka) atau istrinya yang baru saja melahirkan. Dalam permainannya, ratusan kayu-kayu yang  masing-masing dipegang kaum laki-laki dengan cara menggabungkan kayu sepanjang 3,5 meter dari pohon pulet hingga membentuk kerucut.

Sejumlah pemuda  yang merasa tertantang  secara spontanitas menaiki kayu-kayu  tersebut hingga berada di ujung dengan posisi berdiri.

Pada  sisi lain dengan cara yang sama, ratusan orang dengan kayu-kayu tersebut juga disatukan hingga berbentuk kerucut, dan dinaiki oleh salah seorang pemuda. Kedua kelompok "mekotek" tersebut kemudian dipertemukan untuk berperang layaknya panglima perang.

Meski cukup berbahaya karena banyak peserta terjatuh dari ujung kayu atas, namun tradisi itu tetap dinilai menyenangkan, karena semakin banyak pemuda yang berkali-kali mencoba untuk naik, di tengah iringan suara gamelan belaganjur yang bertalu-talu.

Ni Made Wiryani mahasiswa Jurusan Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang melakukan penelitian dan pengkajian terhadap tari "Mekotek" dalam upacara "Ngerebeg" di Desa Munggu itu mengungkapkan, tradisi itu sudah diwarisi masyarakat setempat sejak zaman penjajahan Belanda.

Fungsi tari mekotek sebagai tari wali untuk mengiringi upacara "Ngerebeg" di Pura Luhur Jagat Desa Munggu yang hingga kini tetap lestarikan diwarisi dari satu generasi ke generasi lainnya.

Seni pertunjukan Bali dalam perkembangannya menjadi bagian ritus sosial, ekonomi dan estetik, disamping tetap untuk  seni persembahan, melengkapi kegiatan ritual di berbagai tempat suci yang digelar masyarakat setempat.

Persembahan seni secara tulus itu menjadikan Bali tiada hari tanpa bunyi gamelan dan orang menari, termasuk pada hari Raya Galungan dan Kuningan. Selama sepuluh hari antara Galungan dan Kuningan sekaa (grup) kesenian barong melakukan pementasan keliling (ngelawang).(*)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011