Karangasem (Antara Bali) - Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat pengembungan (deformasi) Gunung Agung cenderung berfluktuasi dan mengalami pengerutan (deflasi), akibat pertambahan beban yang ada di permukaan kawah atau berkurangnya tekanan dalam tubuh gunung.
"Deflasi ini ukuran mikro radian, artinya adanya fluktuasi yang belum stabil akibat isi perut Gunung Agung mengeluarkan gas dan lava," kata Kepala Sub Bidang Mitigasi Pemantauan Gunungapi Wilayah Timur PVMBG, Devy Kamil Syahbana di Pos Pemantauan Gunung Agung, Desa Rendang, Karangasem, Selasa.
Ia mengatakan, dari pantauan citra satelit jumlah lava yang ada di dalam kawah gunung setinggi 3.142 mdpl ini jumlahnya hampir 20 juta meter kubik yang tercatat pada 2-3 Desember 2017.
"Dibandingkan pada saat kondisi Gunung Agung sebelum masuk fase krisis (overscale) justru terjadi inflasi (mengembang), akibat perut gunung berisi material magmatik," ujarnya.
Ia membandingkan, kejadian meletusnya Gunung Sinabung yang mengeluarkan material vulkanik mencapai 1,5 juta hingga dua juta meter kubik terpantau jangkauannya mencapai lima kilometer.
Devy menegaskan, deflasi (pengerutan) terjadi di semua sisi tubuh Gunung Agung dan membandingkan kejadian meletusnya gunung tertinggi di Bali ini pada Tahun 1963 akibat pertumbuhan lava yang sangat cepat mengisi penuh kawah sehingga keluar guguran lava dan awan panas satu hari setelah erupsi.
Namun, kondisi Gunung Agung saat ini justru berbanding terbalik setelah terjadinya erupsi, justru terjadinya perlambatan pergerakan lava untuk mengisi isi kawah. "Mungkin disebabkan kawah Tahun 1963 tidak terlalu besar seperti saat ini, sehingga kami akan melakukan evaluasi akselarisasinya seperti apa," ujarny.
Untuk itu, PVMBG tidak hanya berpegangan pada kondisi letusan Gunung Agung pada Tahun 1963 dan hanya menjadi dasar semata, bahwa ada persamaan atau perbedaan kondisi gunung saat ini.
"Perbandingan juga kami lihat kondisi fisik Gunung Agung saat ini dan dahulu juga sangat berbeda sekali, sehingga harus dilihat juga dari data aktualnya," ujarnya.
Ia mengatakan, perkembangan terakhir Gunung Agung dipantau sejak Senin pagi (4/12) hingga Selasa pagi (5/12) atau selama 24 jam teramati bahwa asap teramati berwarna putih dan emisi gas hari ini memang terpantau tinggi pada Pukul 08.57 WITA ada hembusan gas mencapai ketinggian 1.500 meter dari puncak dengan warna putih agak kelabu.
Untuk aktivitas kegempaan low frekuensi yang berkaitan dengan aliran fluida (gas dan cair) kepermukaan terpantau ada gas yang dilepaskan. "Kadang mengeluarkan suara letupan, apabila energi yang dikeluarkan cukup besar," ujarnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Deflasi ini ukuran mikro radian, artinya adanya fluktuasi yang belum stabil akibat isi perut Gunung Agung mengeluarkan gas dan lava," kata Kepala Sub Bidang Mitigasi Pemantauan Gunungapi Wilayah Timur PVMBG, Devy Kamil Syahbana di Pos Pemantauan Gunung Agung, Desa Rendang, Karangasem, Selasa.
Ia mengatakan, dari pantauan citra satelit jumlah lava yang ada di dalam kawah gunung setinggi 3.142 mdpl ini jumlahnya hampir 20 juta meter kubik yang tercatat pada 2-3 Desember 2017.
"Dibandingkan pada saat kondisi Gunung Agung sebelum masuk fase krisis (overscale) justru terjadi inflasi (mengembang), akibat perut gunung berisi material magmatik," ujarnya.
Ia membandingkan, kejadian meletusnya Gunung Sinabung yang mengeluarkan material vulkanik mencapai 1,5 juta hingga dua juta meter kubik terpantau jangkauannya mencapai lima kilometer.
Devy menegaskan, deflasi (pengerutan) terjadi di semua sisi tubuh Gunung Agung dan membandingkan kejadian meletusnya gunung tertinggi di Bali ini pada Tahun 1963 akibat pertumbuhan lava yang sangat cepat mengisi penuh kawah sehingga keluar guguran lava dan awan panas satu hari setelah erupsi.
Namun, kondisi Gunung Agung saat ini justru berbanding terbalik setelah terjadinya erupsi, justru terjadinya perlambatan pergerakan lava untuk mengisi isi kawah. "Mungkin disebabkan kawah Tahun 1963 tidak terlalu besar seperti saat ini, sehingga kami akan melakukan evaluasi akselarisasinya seperti apa," ujarny.
Untuk itu, PVMBG tidak hanya berpegangan pada kondisi letusan Gunung Agung pada Tahun 1963 dan hanya menjadi dasar semata, bahwa ada persamaan atau perbedaan kondisi gunung saat ini.
"Perbandingan juga kami lihat kondisi fisik Gunung Agung saat ini dan dahulu juga sangat berbeda sekali, sehingga harus dilihat juga dari data aktualnya," ujarnya.
Ia mengatakan, perkembangan terakhir Gunung Agung dipantau sejak Senin pagi (4/12) hingga Selasa pagi (5/12) atau selama 24 jam teramati bahwa asap teramati berwarna putih dan emisi gas hari ini memang terpantau tinggi pada Pukul 08.57 WITA ada hembusan gas mencapai ketinggian 1.500 meter dari puncak dengan warna putih agak kelabu.
Untuk aktivitas kegempaan low frekuensi yang berkaitan dengan aliran fluida (gas dan cair) kepermukaan terpantau ada gas yang dilepaskan. "Kadang mengeluarkan suara letupan, apabila energi yang dikeluarkan cukup besar," ujarnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017