Oleh  Dwi Yani
Pemuteran (Antara Bali) - Usai melakukan persembahyangan bersama, salah seorang tokoh spiritual Bali, Ida Peranda Made Gunung, mengerahkan "sisya" atau murid Ashram  Yogadhiparamaguhya dan anggota keluarganya untuk melakukan aksi bersih-bersih.

Dibantu puluhan anggota kelompok pencari pengalaman budaya (cultural experience) dari Jerman, mereka melakukan aksi bersih-bersih sampah plastik di sekitar Pura Melanting, Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng, Sabtu (9/7) sore hingga petang.

Aksi bersih-bersih sampah plastik di areal pura-pura di Bali merupakan salah satu wujub kepedulian Ida Peranda Made Gunung atas perubahan pola pikir, pola hidup umat Hindu yang berakibat langsung pada alam semesta.

Hal itu sekaligus untuk menjawab pertanyaan besar dari kalangan pegiat spiritual, budaya dan lingkungan dari negara lain. Karena bagi bangsa lain, ajaran Hindu adalah gerak perilaku yang berkeseimbangan antara hubungan manusia dengan Penciptanya, antar mahluk hidup dan dengan alam semesta.

Menurut Ida Peranda Made Gunung, dalam setiap prosesi upacara ada persembahyangan kepada Ibu Pertiwi. Hindu sudah menuntun umatnya untuk peduli lingkungan alam semesta. "Ibadah tidak cukup dengan mendatangi pura-pura, tetapi juga harus diimbangi kepedulian pada alam semesta. Tuhan tidak hanya ada di dunia 'sana', tetapi juga di alam semesta ini," tegasnya.

Melalui pendidikan dini di ashram atau asrama, Perande Made Gunung berharap mampu mengubah perilaku murid dalam kehidupan sehari-hari, untuk lebih peduli pada lingkungan sekitarnya.

Upaya tersebut juga sejalan dengan program Pemprov Bali di bawah kepemimpinan Gubernur Made Mangku Pastika. "Program clean and green itu tak cukup di spanduk, tapi harus disertai aksi nyata di lapangan. Dan anak didik di ashram kami sudah melakukannya sebelum program tersebut dicanangkan," ujarnya.

Pada dasarnya, jelas Ida Peranda Made Gunung, dalam hal melaksanakan ajaran Hindu, pola pikir masyarakat di pulau surga ini tidak terlepas dari tiga hal, yaitu bersikap kritis, rumit, dinamis. Tiga pondasi tersebut menciptakan masyarakat Bali yang produktif.

Budaya Konsumtif dan Praktis
Namun pengaruh zaman membawa pergeseran pola hidup mereka yang mengutamakan kepraktisan, ekonomis, gelis (cepat). Pola hidup yang menghasilkan masyarakat berbudaya konsumtif. Konsumtif berarti kapitalis yang menang dan meminggirkan ekonomi kerakyatan, ungkap Ida Peranda Made Gunung.

Budaya konsumtif itu pula yang mendorong laju penggunaan bahan-bahan tak ramah lingkungan dalam pelaksanaan upacara atau ritual keamanaan dan budaya umat Hindu.

Seperti penggunaan produk plastik dengan segala turunannya, steples yang menggantikan semat (penjepit dari bilah bambu) dalam merangkai perlengkapan upacara (sampian).

Zaman yang cenderung konsumtif, mendorong umat lupa terhadap "dresta" (nilai awal) arti daun dan semat, imbuh Jro Mangku Pura Melanting, IB Mangku Temaja.

Dia juga mengingatkan umat bahwa inti ajaran Hindu adalah sebuah aktivitas yang mengandung nilai pendidikan, ekonomi kerakyatan dan "solidaritas". Bukan aktivitas ekonomi konsumtif yang mencemari bumi.

Selaku koordinator lima pura, yakni Pura Agung Pulaki, Melanting, Kerta Kawat, Pemuteran dan Pura Pabean, IB Mangku Temaja meminta umat yang beribadah ke pura tidak menggunakan plastik dan tetap memakai semat dalam menyiapkan perlengkapan upacara.

Pasalnya sampah plastik masih sangat sulit dikelola di wilayah lima pura tersebut. Untuk composting sampah organik limbah upacara juga terkendala adanya campuran besi dari steples.

Bisa dihitung berapa banyak sampah plastik dan steples yang digunakan jika "pemedek" atau umat yang tangkil ke Pura Melanting rata-rata 500 orang per hari.

Padahal angka kunjungan pemedek meningkat dua kali lipat saat perayaan Purnama, bahkan lebih banyak lagi ketika digelar upacara "piodalan" atau ritual tahunan. "Kami terpaksa harus membakar sampah-sampah seperti itu," keluh Jro Mangku Pura Melanting.

Melalui aksi bersih-bersih sampah plastik yang dilakukan keluarga dan siswa Ashram Yogadhiparamaguhya dan kelompok cultural experience dari Jerman tersebut, budaya "melawan" penggunaan plastik, steples dan sejenisnya diharapkan semakin meluas.

"Kami berharap pemedek maupun masyarakat di kawasan lima pura di Pemuteran tidak lagi menggunakan bahan-bahan tersebut dan juga tidak membuang sampah plastik sembarangan," tegas Ida Perande Made Gunung.(*)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011