Denpasar (Antara Bali) - Seni kerajinan ukir berbahan batu padas yang diwarisi sebagian besar masyarakat Desa Silakarang, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, berdampak positif terhadap perkembangan pariwisata Bali.
"Karya patung dari bahan batu padas hasil sentuhan seniman dan perajin dengan corak khas Bali dan ukurannya bervariasi, kini sangat diminati masyarakat internasional, terutama wisman," kata Gede Martana Eka Saputra, mahasiswa Program Studi Kriya Seni Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Jumat.
Ia melakukan pengkajian khusus terhadap ukiran batu padas yang ditekuni sebagian besar masyarakat Silakarang, Kabupaten Gianyar.
Menurut dia, patung dari bahan batu padas di antaranya mengandung nilai estetik dalam bentuk kisah pewayangan.
"Dulu patung dijadikan sebagai berhala, simbol Tuhan atau Dewa yang disembah, namun sekarang dengan semakin rasionalnya cara berpikir manusia, maka patung tidak lagi dijadikan berhala, namun hanya sebagai karya seni yang memiliki daya tarik," katanya.
Gede Martana menambahkan, hal itu membuktikan bahwa patung tradisi memiliki nilai estetik dalam perkembangan zaman, di mana budaya mematung di Bali sudah ada sejak zaman primitif, jauh sebelum kedatangan para pendeta India yang membawa agama Hindu masuk Pulau Dewata pada abad pertama Masehi.
Berdasarkan hasil kajian, katanya, penduduk asli Bali menganut agama politeisme yang memuja banyak dewa, dan mereka biasa mengukir patung untuk pemujaan.
Namun ketika agama Hindu masuk Bali, maka budaya ukiran dan patung semakin berkembang pesat. Di Bali, hingga kini patung dan ukiran dapat ditemukan dengan berbagai jenis dan di berbagai tempat. Mulai dari patung penjaga rumah, sarana pemujaan, elemen ukiran di setiap sudut rumah, hingga gambar epik Ramayana atau Mahabharata.
Namun dalam perkembangan patung tradisi masih tetap mejadi simbol dalam perwujudan sebagai bentuk yang memiliki sisi baik dan sisi jelek.
Hal itu dituangkan dalam bentuk patung ukuran besar maupun kecil, sehingga patung tradisi tersebut menjadi bagian dari wadah seni di Bali.
Namun, kata dia, dalam perkembangan beberapa tahun terakhir, peminat seni dalam bentuk tradisi mulai menurun, sehingga nilai tradisi bergser ke nilai-nilai modern.
Hal itu menjadi persoalan yang perlu dicarikan solusinya, dengan harapan generasi Bali mendatang tetap mencintai tradisi yang dirutunkan oleh nenek moyangnya, demikian Gede Martana.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
"Karya patung dari bahan batu padas hasil sentuhan seniman dan perajin dengan corak khas Bali dan ukurannya bervariasi, kini sangat diminati masyarakat internasional, terutama wisman," kata Gede Martana Eka Saputra, mahasiswa Program Studi Kriya Seni Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Jumat.
Ia melakukan pengkajian khusus terhadap ukiran batu padas yang ditekuni sebagian besar masyarakat Silakarang, Kabupaten Gianyar.
Menurut dia, patung dari bahan batu padas di antaranya mengandung nilai estetik dalam bentuk kisah pewayangan.
"Dulu patung dijadikan sebagai berhala, simbol Tuhan atau Dewa yang disembah, namun sekarang dengan semakin rasionalnya cara berpikir manusia, maka patung tidak lagi dijadikan berhala, namun hanya sebagai karya seni yang memiliki daya tarik," katanya.
Gede Martana menambahkan, hal itu membuktikan bahwa patung tradisi memiliki nilai estetik dalam perkembangan zaman, di mana budaya mematung di Bali sudah ada sejak zaman primitif, jauh sebelum kedatangan para pendeta India yang membawa agama Hindu masuk Pulau Dewata pada abad pertama Masehi.
Berdasarkan hasil kajian, katanya, penduduk asli Bali menganut agama politeisme yang memuja banyak dewa, dan mereka biasa mengukir patung untuk pemujaan.
Namun ketika agama Hindu masuk Bali, maka budaya ukiran dan patung semakin berkembang pesat. Di Bali, hingga kini patung dan ukiran dapat ditemukan dengan berbagai jenis dan di berbagai tempat. Mulai dari patung penjaga rumah, sarana pemujaan, elemen ukiran di setiap sudut rumah, hingga gambar epik Ramayana atau Mahabharata.
Namun dalam perkembangan patung tradisi masih tetap mejadi simbol dalam perwujudan sebagai bentuk yang memiliki sisi baik dan sisi jelek.
Hal itu dituangkan dalam bentuk patung ukuran besar maupun kecil, sehingga patung tradisi tersebut menjadi bagian dari wadah seni di Bali.
Namun, kata dia, dalam perkembangan beberapa tahun terakhir, peminat seni dalam bentuk tradisi mulai menurun, sehingga nilai tradisi bergser ke nilai-nilai modern.
Hal itu menjadi persoalan yang perlu dicarikan solusinya, dengan harapan generasi Bali mendatang tetap mencintai tradisi yang dirutunkan oleh nenek moyangnya, demikian Gede Martana.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011