Klungkung (Antara Bali) - Hanya Tuhan Yang tahu kapan Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali, akan meletus, meskipun sudah berstatus Awas sejak 22 September 2017.
Demikianlah ungkapan dari Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM, Kasbani mengenai status salah satu gunung yang ada di Bali.
Gunung Agung yang oleh masyarakat Bali dianggap sebagai gunung "Dewa" diliputi misteri. Orang tidak akan berbicara sembarangan bahkan tidak seorang pun yang berani menduga-duga apakah nantinya gunung setinggi 3.142 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu akan benar-benar meletus atau sebaliknya kembali tenang dalam tidur panjang setelah letusan lebih dari lima dasa warsa lalu.
Ratusan ribu warga yang bermukim di sekitar huning dan saat ini terpaksa mengungsi ke seluruh wilayah di Pulau Dewata hingga ada yang menyeberang ke Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) pun dibuat galau dan gundah.
Ketidakpastian statusnya itu membuat sebagian warga nekad pulang, sehingga Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyiarkan kabar sekitar 2.000 orang pengungsi memaksa kembali tinggal dan beraktivitas di zona merah.
Pada umumnya, umat Hindu di Bali dan Nusantara percaya gunung merupakan tempat yang paling suci dan disimbolkan sebagai "sthana" (tempat tinggal) para dewata.
Dalam kepercayaan Hindu, para dewa adalah manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang bertugas sebagai administrator di dunia material (alam semesta).
Gunung Agung merupakan Gunung tertinggi di Bali dan memiliki hubungan emosional yang sangat erat dengan semua warga Hindu, bukan hanya di Karangasem. Hal tersebut juga terkait dengan keberadaan Pura Besakih sebagai "Padma Mandala" atau pusat dari seluruh Pura yang ada.
Bendesa Adat Besakih, Jero Widiartha mengungkapkan bahwa antara Besakih dan Gunung Agung memiliki hubungan yang sangat erat.
"Gunung Agung tidak dapat dipisahkan dengan Pura Besakih. Begitu pula Besakih tidak dapat dilepaskan dari keberadan Gunung Agung," tuturnya.
Menutut Jero, segala jenis ritual keagamaan masih rutin dilaksanakan, meskipun saat ini Gunung Agung bertatus Awas dan Pura Besakih berada di zona merah atau kawasan rawan bencana (KRB). Meskipun ritual hanya melibatkan kalangan petugas (pemangku) Pura saja.
Gunung Agung sebagai wujud alam dengan kesakralannya sendiri tidak terpisah dari kehidupan masyarakat di sekitarnya baik secara fisik maupun spiritual, warga pun menghormati kekuatan alam dan segala mistetinya.
Penggembungan Kembali Terdeteksi
Gunung Agung merupakan gunung yang sangat unik dan memiliki karakter yang berbeda jika dibandingkan dengan sebagian besar gunungapi yang ada di Tanah Air, kata Kepala Sub-Bidang Mitigasi Pemantauan Gunungapi Wilayah Timur PVMBG Devy Kamil Syahbana.
Aktivitas kegempaan bahkan selalu berfluktuasi. Rata-rata 600 kali sampai 900 kali gempa per hari. Angka tersebut tergolong tinggi dan jauh di atas gunungapi di Indonesia yang hanya di kisaran 200-300 kali sebelum akan mengalami erupsi (letusan).
Devy mencontohkan Gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah yang meletus (erupsi) setelah mengalami gempa vulkanik sekitar 200 kali atau sesaat setelah level Awas.
Pada Jumat (13/10), Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) kembali mendeteksi aktivitas penggembungan (deformasi) Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali, yang masih berstatus Awas itu.
Masih ada tren deformasi sesuai hasil pengamatan pada dua hari terakhir. Selain memang aktivitasnya masih dalam level tinggi, kata Kasbani di Pos Pengamatan Gunungapi Agung Desa Rendang.
Penggembungan (defomasi) disebabkan masih tingginya aktivitas Gunung Agung. Asap yang ke luar dari kawah menunjukkan aktivitas magma yang terus mendesak ke permukaan.
"Kita dapat amati bersama secara visual masih ada hembusan asap kawah hingga 50-100 meter, selain memang dari data bahwa aktivitas deformasi tetap ada," katanya.
Rekahan di daerah kawah, kata Kasbani, belum mengalami perubahan signifikan yakni masih berkisar sekitar 80-100 meter sesuai hasil citra satelit hingga (12/10).
Aktivitas kegempaan yakni vulkanik dan tektonik masih tergolong tinggi dan belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Gempanya masih sangat fluktuatif dalam level tinggi. "Itu memberi informasi bahwa aktivitas gunung belum akan turun," katanya.
Terkait munculnya gempa tremor non-harmonik, ia menyarankan masyarakat hendaknya tidak terlalu menanggapi secara berlebihan, karena merupakan gempa tak menerus, belum mengarah ke tremor menerus (harmonik).
Perpanjangan Masa Darurat
BNPB pun memperpanjang keadaan darurat Gunung Agung selama 14 hari hingga 26 Oktober 2017 karena gunungapi itu hingga saat ini masih berstatus Awas.
Kepala BNPB Willem Rampangilei menjelaskan perpanjangan darurat akan dilakukan selama Gunung Agung masih status Awas. Perpanjangan darurat tersebut merupakan yang ketiga kalinya sejak status Awas pada 22 September 2017.
Menanggapi hal itu, Gubernur Bali Made Mangku Pastika melalui surat yang ditandatangani pada 13 Oktober 2017 pun menyatakan darurat penanganan pengungsi.
BNPB menyebutkan selama PVMBG masih menetapkan status Awas, maka keadaan darurat pasti akan diberlakukan untuk memberikan kemudahan akses bagi pemerintah dan pemda dalam administrasi penanganan pengungsi.
Sebagai gambaran, Gunung Sinabung di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara berstatus Tanggap Darurat Bencana sudah lebih dari dua tahun sejak Gunung Sinabung statusnya Awas pada 2 Juni 2015 sehingga setiap dua minggu sekali, bupati setempat memperpanjang surat pernyataan tanggap darurat.
Saat ini, pengungsi di Gunung Agung tercatat 139.199 jiwa di 389 titik pengungsian yang tersebar di sembilan kabupaten/kota di Bali. Sebagian pengungsi lainnya kembali ke rumahnya meski sudah dilarang karena berbahaya dengan alasan merasa jenuh, ingin bekerja lagi dan merawat ternak dan lahan pertaniannya.
PVMBG tetap mengimbau warga dan para wisatawan tetap berada di zona aman dan menghindari wilayah sekitar Gunung Agung yang masuk dalam zona merah.
Masyarakat, pendaki dan pengunjung atau wisatawan diimbau agar tidak berada dan atau tidak melakukan pendakian serta aktivitas apapun di zona perkiraan bahaya yaitu di dalam area kawah Gunung Agung dan di seluruh area di dalam radius 9 kilometer dari kawah puncak, serta ditambah perluasan sektoral ke arah Utara-Timur laut dan Tenggara-Selatan-Barat Daya sejauh 12 km.
Gunung "Dewa" tersebut tetaplah penuh diselimuti misteri dan tidak satu pun orang berani memastikan apakah gunung itu akan benar-benar meletus atau bahkan tidak sama sekali dan kembali dalam keadaan normal.
Langkah "awas" yang bijak dalam menghadapi status Gunung "Dewa" itu adalah dengan memastikan diri selalu tetap beraktivitas dalam radius aman itu, tentu jauh lebih penting daripada mereka-reka apakah gunung Agung bakal memuntahkan magma atau tidak. (WDY)
--------------
*) Penulis adalah wartawan LKBN Antara Biro Bali.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Demikianlah ungkapan dari Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM, Kasbani mengenai status salah satu gunung yang ada di Bali.
Gunung Agung yang oleh masyarakat Bali dianggap sebagai gunung "Dewa" diliputi misteri. Orang tidak akan berbicara sembarangan bahkan tidak seorang pun yang berani menduga-duga apakah nantinya gunung setinggi 3.142 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu akan benar-benar meletus atau sebaliknya kembali tenang dalam tidur panjang setelah letusan lebih dari lima dasa warsa lalu.
Ratusan ribu warga yang bermukim di sekitar huning dan saat ini terpaksa mengungsi ke seluruh wilayah di Pulau Dewata hingga ada yang menyeberang ke Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) pun dibuat galau dan gundah.
Ketidakpastian statusnya itu membuat sebagian warga nekad pulang, sehingga Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyiarkan kabar sekitar 2.000 orang pengungsi memaksa kembali tinggal dan beraktivitas di zona merah.
Pada umumnya, umat Hindu di Bali dan Nusantara percaya gunung merupakan tempat yang paling suci dan disimbolkan sebagai "sthana" (tempat tinggal) para dewata.
Dalam kepercayaan Hindu, para dewa adalah manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang bertugas sebagai administrator di dunia material (alam semesta).
Gunung Agung merupakan Gunung tertinggi di Bali dan memiliki hubungan emosional yang sangat erat dengan semua warga Hindu, bukan hanya di Karangasem. Hal tersebut juga terkait dengan keberadaan Pura Besakih sebagai "Padma Mandala" atau pusat dari seluruh Pura yang ada.
Bendesa Adat Besakih, Jero Widiartha mengungkapkan bahwa antara Besakih dan Gunung Agung memiliki hubungan yang sangat erat.
"Gunung Agung tidak dapat dipisahkan dengan Pura Besakih. Begitu pula Besakih tidak dapat dilepaskan dari keberadan Gunung Agung," tuturnya.
Menutut Jero, segala jenis ritual keagamaan masih rutin dilaksanakan, meskipun saat ini Gunung Agung bertatus Awas dan Pura Besakih berada di zona merah atau kawasan rawan bencana (KRB). Meskipun ritual hanya melibatkan kalangan petugas (pemangku) Pura saja.
Gunung Agung sebagai wujud alam dengan kesakralannya sendiri tidak terpisah dari kehidupan masyarakat di sekitarnya baik secara fisik maupun spiritual, warga pun menghormati kekuatan alam dan segala mistetinya.
Penggembungan Kembali Terdeteksi
Gunung Agung merupakan gunung yang sangat unik dan memiliki karakter yang berbeda jika dibandingkan dengan sebagian besar gunungapi yang ada di Tanah Air, kata Kepala Sub-Bidang Mitigasi Pemantauan Gunungapi Wilayah Timur PVMBG Devy Kamil Syahbana.
Aktivitas kegempaan bahkan selalu berfluktuasi. Rata-rata 600 kali sampai 900 kali gempa per hari. Angka tersebut tergolong tinggi dan jauh di atas gunungapi di Indonesia yang hanya di kisaran 200-300 kali sebelum akan mengalami erupsi (letusan).
Devy mencontohkan Gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah yang meletus (erupsi) setelah mengalami gempa vulkanik sekitar 200 kali atau sesaat setelah level Awas.
Pada Jumat (13/10), Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) kembali mendeteksi aktivitas penggembungan (deformasi) Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali, yang masih berstatus Awas itu.
Masih ada tren deformasi sesuai hasil pengamatan pada dua hari terakhir. Selain memang aktivitasnya masih dalam level tinggi, kata Kasbani di Pos Pengamatan Gunungapi Agung Desa Rendang.
Penggembungan (defomasi) disebabkan masih tingginya aktivitas Gunung Agung. Asap yang ke luar dari kawah menunjukkan aktivitas magma yang terus mendesak ke permukaan.
"Kita dapat amati bersama secara visual masih ada hembusan asap kawah hingga 50-100 meter, selain memang dari data bahwa aktivitas deformasi tetap ada," katanya.
Rekahan di daerah kawah, kata Kasbani, belum mengalami perubahan signifikan yakni masih berkisar sekitar 80-100 meter sesuai hasil citra satelit hingga (12/10).
Aktivitas kegempaan yakni vulkanik dan tektonik masih tergolong tinggi dan belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Gempanya masih sangat fluktuatif dalam level tinggi. "Itu memberi informasi bahwa aktivitas gunung belum akan turun," katanya.
Terkait munculnya gempa tremor non-harmonik, ia menyarankan masyarakat hendaknya tidak terlalu menanggapi secara berlebihan, karena merupakan gempa tak menerus, belum mengarah ke tremor menerus (harmonik).
Perpanjangan Masa Darurat
BNPB pun memperpanjang keadaan darurat Gunung Agung selama 14 hari hingga 26 Oktober 2017 karena gunungapi itu hingga saat ini masih berstatus Awas.
Kepala BNPB Willem Rampangilei menjelaskan perpanjangan darurat akan dilakukan selama Gunung Agung masih status Awas. Perpanjangan darurat tersebut merupakan yang ketiga kalinya sejak status Awas pada 22 September 2017.
Menanggapi hal itu, Gubernur Bali Made Mangku Pastika melalui surat yang ditandatangani pada 13 Oktober 2017 pun menyatakan darurat penanganan pengungsi.
BNPB menyebutkan selama PVMBG masih menetapkan status Awas, maka keadaan darurat pasti akan diberlakukan untuk memberikan kemudahan akses bagi pemerintah dan pemda dalam administrasi penanganan pengungsi.
Sebagai gambaran, Gunung Sinabung di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara berstatus Tanggap Darurat Bencana sudah lebih dari dua tahun sejak Gunung Sinabung statusnya Awas pada 2 Juni 2015 sehingga setiap dua minggu sekali, bupati setempat memperpanjang surat pernyataan tanggap darurat.
Saat ini, pengungsi di Gunung Agung tercatat 139.199 jiwa di 389 titik pengungsian yang tersebar di sembilan kabupaten/kota di Bali. Sebagian pengungsi lainnya kembali ke rumahnya meski sudah dilarang karena berbahaya dengan alasan merasa jenuh, ingin bekerja lagi dan merawat ternak dan lahan pertaniannya.
PVMBG tetap mengimbau warga dan para wisatawan tetap berada di zona aman dan menghindari wilayah sekitar Gunung Agung yang masuk dalam zona merah.
Masyarakat, pendaki dan pengunjung atau wisatawan diimbau agar tidak berada dan atau tidak melakukan pendakian serta aktivitas apapun di zona perkiraan bahaya yaitu di dalam area kawah Gunung Agung dan di seluruh area di dalam radius 9 kilometer dari kawah puncak, serta ditambah perluasan sektoral ke arah Utara-Timur laut dan Tenggara-Selatan-Barat Daya sejauh 12 km.
Gunung "Dewa" tersebut tetaplah penuh diselimuti misteri dan tidak satu pun orang berani memastikan apakah gunung itu akan benar-benar meletus atau bahkan tidak sama sekali dan kembali dalam keadaan normal.
Langkah "awas" yang bijak dalam menghadapi status Gunung "Dewa" itu adalah dengan memastikan diri selalu tetap beraktivitas dalam radius aman itu, tentu jauh lebih penting daripada mereka-reka apakah gunung Agung bakal memuntahkan magma atau tidak. (WDY)
--------------
*) Penulis adalah wartawan LKBN Antara Biro Bali.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017