Besakih, tempat suci umat Hindu terbesar di Pulau Dewata menyimpan ketenangan dan kedamaian yang senantiasa menjadi pusat perhatian umat saat berlangsungnya kegiatan ritual berskala besar.

Pura Besakih yang berlokasi di lereng kaki Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali (3.142 meter), sejak awal September lalu menunjukkan aktivitas kegempaan yang makin meningkat dan statusnya kini menjadi Level IV atau awas sejak Jumat (22/9) malam .

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PWMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM meningkatkan status Gunung Agung menjadi awas, otomatis masyarakat menjauh mencari tempat yang aman.

Wilayah steril yang semula radius 6 kilometer dari puncak gunung itu diperluas menjadi 9 km, lalu ditambah perluasan wilayah sektoral yang semula 7,5 km menjadi 12 km ke arah Utara, Timur Laut, Tenggara, dan Selatan-Baratdaya.

Dengan demikian, seluruh desa di lereng gunung yang berbahaya itu harus dikosongkan, termasuk 16 kompleks pura yang menjadi satu-kesatuan tak terpisah satu sama lain yang memiliki arti penting bagi kehidupan keagamaan umat Hindu.

Atas kenyataan itu, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana mengeluarkan imbauan kepada umat Hindu agar menunda sementara pelaksanaan ritual "Nyegara Gunung atau Meajar-ajar" ke Pura Besakih.

Untuk itu, seluruh umat Hindu di Bali yang akan menyelenggarakan "Nyegara Gunung" atau Meajar-ajar setelah melaksanakan kegiatan ritual "Ngaben" (kremasi) agar menunda sampai Gunung Agung dinyatakan kembali normal.

Surat PHDI bernomor 149/PHDI-BALI/IX/2017 tertanggal 23 September 2017 berisi imbauan, antara lain, para pemangku (pemimpin persembahyangan) di Pura Besakih sudah berada di pengungsian.

Hal itu terkait dengan kondisi kawasan Pura Besakih, termasuk dalam radius rawan bencana yang ditetapkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PWMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM

Ritual "Nyegara Gunung" atau Meajar-ajar sebagai rangkaian dari prosesi penyucian roh leluhur setelah umat Hindu melaksanakan upacara "Mamukur" atau "Nyekah" selama ini dilaksanakan ke Pura Besakih.

Ritual "Mamukur" merupakan rangkaian upacara yang bertujuan mengembalikan atau mengantarkan roh atau arwah orang yang telah meninggal untuk dikembalikan ke alam asalnya menurut keyakinan agama Hindu.

Ritual Peneduh Jagat

Pura Besakih di lereng kaki Gunung Agung Bali yang mampu memberikan vibrasi dan sinar kedamaian sekaligus kesejukan kepada setiap masyarakat, termasuk wisatawan mancanegara dan nusantara menikmati liburan di Pulau Dewata, konon fondasinya dibangun oleh Rsi Markandeya dari India pada zaman pemerintahan Raja Sri Udayana Warmadewa (1007 Masehi).

Besakih tercatat dalam prasasti Purana dan lontar sebagai tempat beristananya para dewa sehingga mempunyai fungsi paling penting di antara pura-pura lainnya di Pulau Dewata.

Untuk itu, Gubernur Bali Made Mangku Pastika, Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas Sumantri bersama tokoh masyarakat dan masyarakat setempat menggelar kegiatan ritual yang disebut "Pengelempana" atau penduh jagat pada hari Rabu (20/9).

Ngurah Sudiana menjelaskan bahwa kegiatan ritual dalam waktu bersamaan juga dilaksanakan di Pura Bangun Sakti, Basukian, dan Pura Pangubengan di kompleks kawasan suci Pura Besakih.

Kegiatan ritual "peneduh jagat" bermakna untuk memohon ke hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa agar dapat mengendalikan aktivitas Gunung Agung untuk normal kembali sekaligus menyelamatkan bumi beserta seluruh isinya.

Ritual itu juga bermakna menyampaikan permohonan maaf (guru piduka) atas kesalahan masyarakat yang dilakukan, tidak hanya yang bermukim di sekitar Gunung Agung, tetapi seluruh masyarakat Bali dan Indonesia umumnya.

Kawasan Pura Besakih adalah lokasi yang paling disucikan oleh Umat Hindu--Gunung Agung yang kini status awas yang melatar-belakanginya--merupakan kawasan suci.

Pura Besakih selalu menebar kedamaian bagi rakyat Pulau Dewata. Umat Hindu Bali meyakini pura agung itulah tempat para dewa-dewi takhta dan turun ke mayapada (bumi) membebaskan manusia dari musibah dan bencana.

Kesucian dan kesakralan pura terbesar dan termegah di Pulau Dewata itu senantiasa terjaga hingga sekarang. Pura Besakih juga menjadi pusat kegiatan ritual umat Hindu, termasuk upacara Betara Turun Kabeh (dewata turun semua) yang digelar secara berkesinambungan pada bulan purnama ke sepuluh setiap tahunnya.

Karisma Besakih dikagumi umat Hindu serta wisatawan nusantara dan mancanegara. Mereka selalu menyempatkan diri untuk bertandang ke Besakih dalam menikmati liburan di Pulau Dewata.

Kegiatan ritual Betara Turun Kabeh yang diwarisi secara turun-temurun bermakna memohon kehadapan Tuhan Yang Maha Esa agar umat manusia dianugrahi keselamatan, kedamaian, kesejahteraan, serta terhindar dari musibah dan bencana alam.

Pemerintahan Raja Sri Udayana Warmadewa pada tahun 1007 hingga pemerintahan raja-raja keturunan Sri Kresna Kepakisan (pada tahun 1444 dan 1454 Masehi) sangat menghormati keberadaan Pura Besakih.

Demikian pula, penjajah Belanda yang pernah menguasai Nusantara juga menaruh perhatian besar dengan merestorasi secara besar-besaran terhadap beberapa kompleks bangunan suci yang rusak akibat bencana alam.

Setelah merdeka, pemerintah Indonesia juga melakukan perbaikan terhadap beberapa bangunan fisik yang rusak sekaligus mengintensifkan pelaksanaan ritual keagamaan.

Hingga kini, Pemerintah Provinsi Bali bersama delapan pemkab dan satu pemkot di samping swadaya umat secara bergotong royong mengalokasikan dana untuk memperbaiki bangunan yang rusak maupun mendukung pelaksanaan ritual keagamaan.

Rakyat Bali sangat menjaga kesucian Besakih karena mereka ingin para dewa tetap melindungi dan menebar damai di Bumi Dewata. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Ni Luh Rhismawati/IK Sutika *)

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017