Denpasar (Antara Bali) - Sejak Senin (18/9) pukul 21.00 Wita, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM, menaikkan status aktivitas Gunung Agung (3.142 mdpl) di Kabupaten Karangasem, Bali, dari Waspada menjadi Siaga (level III).

Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api PVMBG, Gede Suantika mengatakan sejak beberapa hari terakhir, pihaknya mencatat peningkatan aktivitas gunung itu dengan terekamnya kegempaan vulkanik. Hal itu mengindikasikan bahwa aktivitas vulkanik gunung itu dalam keadaan tidak stabil sehingga kemungkinan untuk terjadi letusan semakin meningkat.

Menurut dia, dinaikkannya status gunung itu berdasarkan hasil analisis data visual dan instrumental serta mempertimbangkan potensi ancaman bahayanya.

Hingga Senin (18/9) pukul 20.00 Wita, tercatat dua kali gempa tremor non-harmonik dengan amplitudo 6 mm dan lama gempa 480 detik dan 18 kali gempa vulkanik dangkal dengan amplitudo 2 mm hingga 10 mm dengan lama gempa 7 hingga 40 detik.

Selain itu, tercatat 355 kali gempa vulkanik dalam dengan amplitudo 2 hingga 10 mm dengan lama gempa lima hingga 38 detik, sembilan dan tiga kali tektonik jauh.

Dari tanggal 14 September hingga 18 September 2017 pukul 20.00 Wita itu telah terjadi empat kali gempa yang berpusat di sekitar gunung dengan magnitudo Md 3.11 dan skala MMI II-III di Pos Pengamatan Gunung Agung di Rendang.

Oleh karena itu, masyarakat di sekitar Gunung Agung, termasuk pendaki atau wisatawan, tidak diperkenankan beraktivitas di seluruh area dalam radius 6 hingga 7,5 kilometer dari kawah puncak atau pada elevasi di atas 950 meter dari permukaan laut.

Selain itu, Pura Besakih yang berada dalam radius tersebut pun perlu disterilkan dari aktivitas masyarakat dan wisatawan. Rekomendasi pelebaran kawasan larangan aktivitas itu meliputi kawasan utara, selatan, barat daya, dan tenggara.

"Rekomendasi itu belajar dari letusan tahun 1963, batu besar terlontar secara tiba-tiba dalam radius tersebut, apalagi didasarkan pantauan pos pengamatan Gunung Agung di Desa Rendang yang telah mencatat gempa vulkanik lebih dari 400 kali dalam 24 jam terakhir," katanya.

Senada dengan itu, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan sejarah letusan Gunung Agung pada tahun 1963 terdapat lima fase yang terus diantipasi pemerintah pusat dan daerah.

Kelima fase adalah fase gejala (gempa terasa) dengan tempat dibawah Gunung Agung, fase pembuka dengan letusan pembuka kemudian membentuk lava lake (danau lava), fase Erupsi Pertama 14 km ke utara, fase Erupsi Kedua 10 km Ke arah selatan, dan fase Letusan Susulan yang cenderung lama.

Ya, gunung meletus memang tidak mungkin dicegah, tetapi yang bisa dilakukan dengan mengurangi jumlah korban jiwa maupun harta benda, karena itu pihak yang rentan dulu akan diungsikan, orang tua, lansia, jompo, orang sakit, ibu mau melahirkan, balita, dan orang dengan gangguan jiwa.

Langkah-langkah itu sudah dilakukan Pemerintah Provinsi Bali dengan membuat posko yang lebih representatif, termasuk posko untuk Karangasem dan nasional.

Tidak hanya itu, pihak-pihak terkait di Bali juga sudah menyiapkan mengenai berbagai keperluan untuk pengungsian, termasuk telah disiapkan tempat penitipan motor, mobil, uang, hingga penitipan hewan ternak yang nantinya akan dijaga oleh polisi maupun TNI supaya tidak ada pencurian.

Antisipasi terhadap kemungkinan terburuk terkait bencana alam Gunung Agung itu tidak hanya ditunjukkan oleh aparat pemerintah dan masyarakat yang berada di wilayah terdekat dari gunung itu.

Bahkan, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) Jembrana Ketut Eko Susilo Artha Permanan juga tetap memantau dan waspada terhadap perkembangan Gunung Agung, meski jarak Jembrana dengan Karangasem itu relatif jauh.

Pihaknya juga sudah bersurat ke seluruh kepala desa untuk mengantisipasi dampak buruk jika Gunung Agung meletus bagi warga Kabupaten Jembrana, antara lain dengan menyiapkan masker.

"Letusan" Medsos

Peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Agung dari status Waspada menjadi Siaga pada 18 September 2017 itu diikuti dengan "fase" lain dalam waktu yang bersamaan, berupa kebakaran lahan pada lereng gunung itu pada ketinggian 2.000-an mdpl (Gunung Agung : 3.142 mdpl).

Walhasil, foto kebakaran itu pada malam hari akan terlihat seperti lava pijar. Nah, foto "lava pijar" (palsu) itu pun di-share ke medsos seolah-olah Gunung Agung meletus.

Mungkin hanya warga Bali yang tahu apa yang terjadi sebenarnya, tapi masyarakat Indonesia yang tidak aktif dalam memantau informasi gunung itu akan bisa sangat tertipu akibat "letusan" medsos yang menyasar ke seluruh pelosok Tanah Air itu.

Menurut Sutopo Purwo Nugroho, hasil analisis satelit Aqua dan Terra dari Lapan menunjukkan adanya tiga `hotspot` kebakaran hutan dan lahan di sekitar Kubu Kabupaten Karangasem atau sebelah utara-timur laut dari kawah Gunung Agung dalam 24 jam terakhir.

Oleh karena itu, BNPB mengimbau masyarakat untuk tenang dan jangan terpancing isu-isu menyesatkan. "Saat ini banyak beredar `hoax` dan informasi yang menyesatkan sehingga menimbulkan keresahan. Sebarkan fakta dan informasi yang benar," ujarnya.

Imbauan serupa juga datang dari Gubernur Bali Made Mangku Pastika, bahkan ia meminta kepada para awak media agar tidak memberitakan secara berlebihan mengenai hal-hal terkait peningkatan status vulkanik Gunung Agung karena dinilai akan berdampak buruk dan menimbulkan keresahan masyarakat.

Ia meminta peranserta awak media agar tidak memberitakan yang lebay. "Ya, itu yang saya harapkan terus terang saja. Ini kan kita sudah siap semua. Boleh lihat kesiapan kita seperti apa ya. Saya yakin semua akan bisa kita atasi sebaik-baiknya," katanya saat meninjau Pos Pemantau Gunung Agung, di Desa Rendang, Amlapura, Karangasem (19/9).

Secara khusus, Pastika meminta pegiat media sosial harus pintar dan bijak dalam memanfaatkan kemajuan teknologi. "Ya, kepada pengguna medsos (media sosial) juga saya minta tanggung jawabnya ini. Masak ingin menyusahkan orang yang sudah susah. Dosanya besar sekali," ucapnya.

Ya, gunung meletus memang tidak mungkin dicegah, tetapi yang bisa dilakukan dengan mengurangi jumlah korban jiwa maupun harta benda. Nah, langkah untuk mengurangi jumlah korban jiwa melalui informasi yang "memandu masyarakat" itu jauh lebih penting daripada memberikan sensasi yang meresahkan.

Bahkan, Kepala BPBD Bali Dewa Made Indra meminta awak media memberikan informasi yang "mencerdaskan" masyarakat, seperti informasi tentang pentingnya masyarakat setempat untuk belajar dari kasus meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta pada 2010 yang menewaskan juru kuncinya Mbah Maridjan.

Tewasnya Mbah Maridjan, kata dia, semestinya menjadi pengalaman karena sang juru kunci terlalu bersandar pada keyakinan spiritual bahwa belum menerima wangsit, padahal pemerintah sudah mengeluarkan peringatan dini level IV (Awas). Pihaknya bukan tidak percaya pada hal-hal yang berbau spiritual, tetapi kita tidak boleh mengesampingkan kajian ilmiah, pengukuran ilmiah yang menggunakan peralatan modern.

Pengalaman yang juga penting pernah terjadi pada warga desa di dekat Gunung Agung saat peristiwa meletusnya pada 1963 yang justru semuanya tewas karena keyakinan mereka untuk menyambut datangnya lahar dengan membunyikan gamelan.

"Saya bukan tidak percaya kepada hal-hal yang seperti itu, tetapi mari tidak mengesampingkan arahan resmi dari pemerintah yang bersandar pada penggunaan teknologi. Ikuti arahan resmi dari pemerintah. Kita cukup belajar dari meletusnya Gunung Agung pada 1963 dan Gunung Merapi," ujarnya di Denpasar (19/9).

Terkait dengan status Gunung Agung, masyarakat diharapkan untuk tetap tenang dan tidak panik karena pemerintah telah menyiapkan berbagai bentuk kesiapsiagaan dan pemantauan terus dilakukan selama 24 jam.

Titik tempat evakuasi juga sudah ditetapkan jika Gunung Agung nantinya benar-benar meletus dan sudah disusun rencana bagaimana cara membantu evakuasi warga dengan segala alat transportasinya.

Indra memastikan setiap arahan resmi pemerintah akan terukur sesuai dengan level peringatan dini yang dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.

Saat ini, kebutuhan tempat pengungsian, tenda, logistik, juga sedang diinventarisasi. Pemerintah Provinsi Bali siap mendukung langkah-langkah itu, baik personel, logistik, peralatan, maupun keuangan.

Jadi, langkah terpenting bagi masyarakat adalah tetap tenang atau tidak usah panik, dan ikuti arahan resmi dari pemerintah. Langkah yang juga penting adalah ikuti informasi dari sumber yang jelas atau sumber yang resmi. (*)
(WDY)

-----------
*) Penulis adalah wartawan LKBN Antara yang kini  bertugas di Bali.

Pewarta: Edy M Yakub *)

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017