Denpasar (Antara Bali) - Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah tentang Bendega DPRD Bali menyampaikan laporan hasil dari pembahasan dan konsultasi dengan pemangku kepentingan untuk selanjutnya ditetapkan menjadi peraturan daerah.

"Kami dari Pansus Ranperda tentang Bendega sudah melakukan sosialisasi dan pendapat, serta masukan dari pemangku kepentingan untuk selanjutnya ditetapkan menjadi Perda Bendaga," kata Ketua Pansus Ranperda tentang Bendega DPRD Bali Gusti Putu Budiarta, pada rapat paripurna DPRD Bali, di Denpasar, Senin.

Bendega yakni sebuah organisasi tradisional di bidang kelautan dan perikanan pada masyarakat adat di Bali. Populasi keberadaan Bendega di Provinsi Bali erat kaitannya dengan "Tri Hita Karana" (keseimbangan dan keharmonisan kehidupan).

Bahkan, berdasarkan data terdapat 114 Pura Segara yang tersebar di kabupaten dan kota di Bali.

"Bagi warga yang bergerak sebagai Bendega mereka harus juga menjadi `penyungsung` atau bertanggung jawab terhadap keberadaan pura tersebut," ujarnya.

Selain itu, kata dia, keberadaan Bendega, secara yuridis berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam.

Dengan demikian, bahwa nelayan tradisional adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan di perairan yang merupakan hak perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai dengan budaya dan kearipan lokal.

Selain itu, kata dia, pasal 1 angka 28 UU Nomor 7 Tahun 2016 juga menegaskan bahwa kelembagaan adalah yang ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk nelayan, pembudi daya ikan, atau petambak garam atau berdasarkan budaya dan kearifan lokal.

Penegasakan mengenai kelembagaan juga diatur dalam pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016. Dalam kaitannya dengan pasal-pasal yang mengatur tentang "awig-awig" (aturan adat tertulis) adalah suatu bentuk pengaturan terkait dengan adanya upaya pencapaian keadilan bagi bendega dalam kegiatan yang bersifat sosial religius sebagai cerminan dari konsep "tri Hita Karana".

"Dalam penyuratan `awig-awig` tidak dapat dilakukan penyeragaman agar kearifan lokal yang ada di masing-masing daerah masih tumbuh dalam arti aspek budaya sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan," katanya.

Hal tersebut, kata Budiarta, pembentukan suatu lembaga ada konsep klasik dan konsep modern. Dalam konsep klasik diperlukan wilayah, pemerintah dan penduduk atau kaitannya dengan "tri Hita Karana" yakni ada "palemahan" (wilayah), parahyangan (pura) dan pawongan (manusia/warga).

Sehingga perkembangannnya tidak hanya konsep klasik saja, tetapi juga ada konsep modern yang memerlukan pengakuan terbentuknya lembaga kesatuan masyarakat hukum adat sebagai suatu sistem hukum yang memiliki substansi, sistem dan budaya hukum yang pasti.

"Dengan demikian pengakuan dan perlindungan Bendega terakomodir dalam pasal 3 Rancangan Peraturan Daerah tentang Bendega," katanya.(WDY)

Pewarta: Pewarta: I Komang Suparta

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017