Bandung (Antara Bali) - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) Destario Metusala bersama peneliti Universitas Indonesia (UI)
Jatna Supriatna mempublikasikan spesies baru dari kelompok anggrek hantu
(holomikotropik) dengan nama Gastrodia bambu.
Menurut keterangan tertulis Destario Metusala, yang diterima Antara, Sabtu, Gastrodia bambu diduga memerlukan kondisi ekologi, yang sangat spesifik dan sensitif terhadap perubahan lingkungan.
Anggrek ini sangat peka terhadap kekeringan, intensitas cahaya berlebih, dan juga perubahan pada media tumbuhnya. Gangguan pada habitatnya; misalnya pembukaan rumpun bambu, diduga akan berdampak terhadap perubahan kelembaban, intensitas cahaya dan juga sifat biologi pada media tumbuhnya, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan populasi anggrek ini.
Dikarenakan sensitifitasnya yang tinggi, maka kelompok anggrek holomikotropik ini merupakan obyek menarik untuk mengobservasi kerentanan komunitas anggrek tropis terhadap dampak perubahan iklim.
Nama spesies berasal dari kata Bahasa Indonesia "bambu" merujuk pada habitatnya yang spesifik di sekitar rumpun-rumpun bambu. Berdasarkan catatan rekaman populasinya, spesies ini merupakan anggrek endemik yang hanya ada di Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat dan Yogyakarta. Populasinya pun terbatas dan menghadapi tekanan degradasi habitat yang tinggi.
Deskripsi spesies baru anggrek ini telah diterbitkan pada jurnal ilmiah internasional Phytotaxa pada pertengahan Agustus 2017.
Kelompok anggrek ini disebut hantu disebabkan kemunculannya yang seringkali tak terduga dan tanpa memiliki organ daun (fase vegetatif).
"Terlebih anggrek ini menyukai habitat yang gelap, lembab, dan selalu berdekatan dengan rumpun bambu lebat yang sudah tua. Tidak mengherankan apabila spesies ini memiliki kesan konotasi angker," demikian keterangan peneliti yang berkantor di Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi - LIPI itu. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Menurut keterangan tertulis Destario Metusala, yang diterima Antara, Sabtu, Gastrodia bambu diduga memerlukan kondisi ekologi, yang sangat spesifik dan sensitif terhadap perubahan lingkungan.
Anggrek ini sangat peka terhadap kekeringan, intensitas cahaya berlebih, dan juga perubahan pada media tumbuhnya. Gangguan pada habitatnya; misalnya pembukaan rumpun bambu, diduga akan berdampak terhadap perubahan kelembaban, intensitas cahaya dan juga sifat biologi pada media tumbuhnya, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan populasi anggrek ini.
Dikarenakan sensitifitasnya yang tinggi, maka kelompok anggrek holomikotropik ini merupakan obyek menarik untuk mengobservasi kerentanan komunitas anggrek tropis terhadap dampak perubahan iklim.
Nama spesies berasal dari kata Bahasa Indonesia "bambu" merujuk pada habitatnya yang spesifik di sekitar rumpun-rumpun bambu. Berdasarkan catatan rekaman populasinya, spesies ini merupakan anggrek endemik yang hanya ada di Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat dan Yogyakarta. Populasinya pun terbatas dan menghadapi tekanan degradasi habitat yang tinggi.
Deskripsi spesies baru anggrek ini telah diterbitkan pada jurnal ilmiah internasional Phytotaxa pada pertengahan Agustus 2017.
Kelompok anggrek ini disebut hantu disebabkan kemunculannya yang seringkali tak terduga dan tanpa memiliki organ daun (fase vegetatif).
"Terlebih anggrek ini menyukai habitat yang gelap, lembab, dan selalu berdekatan dengan rumpun bambu lebat yang sudah tua. Tidak mengherankan apabila spesies ini memiliki kesan konotasi angker," demikian keterangan peneliti yang berkantor di Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi - LIPI itu. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017