Denpasar (Antara Bali) - Dinas Kebudayaan Provinsi Bali bersama para seniman sedang menyiapkan kurikulum yang akan menjadi panduan bagi sanggar-sanggar tari di Pulau Dewata untuk melatih anak didik supaya lebih berkompeten.

"Dengan adanya kurikulum sebagai dasar pembelajaran untuk sanggar dan kursus-kursus seni yang ada di Bali, maka anak didik bisa menjadi lebih terarah dan terukur," kata Kepala Bidang Kesenian dan Tenaga Kebudayaan Disbud Provinsi Bali Ni Wayan Sulastriani di Denpasar, Jumat.

Pihaknya menargetkan mulai awal 2018 kurikulum tersebut sudah bisa disosialisasikan dan selanjutnya mulai diberlakukan di sanggar-sanggar seni dan tari di Bali yang jumlahnya sekitar 400-an itu.

"Bagi sanggar yang tidak mematuhi kurikulum ini, nantinya bisa diberikan peringatan tertulis dan jika tetap membandel, maka tidak menutup kemungkinan akan dilakukan pencabutan tanda daftar sebagai sanggar oleh pemerintah kabupaten/kota," ujarnya saat menjadi pembicara pada Sarasehan Kompetensi Tenaga Kesenian itu.

Sementara itu, budayawan Prof Dr I Made Bandem berpandangan di tengah menjamurnya sanggar tari di Bali, ternyata belum adanya persamaan persepsi mengenai tingkat kemampuan lulusan maupun guru yang dimiliki.

"Oleh karena itu diperlukan kurikulum ini sebagai alat ukur, tentu saja kurikulum yang berbasis kompetensi, sehingga nantinya lulusan yang dihasilkan bisa menjadi penyaji tari yang baik," ucapnya.

Selain itu, dengan adanya kurikulum, sekaligus akan menentukan kualitas dari sanggar seni dan standar pengelolaan yang harus dipenuhi.

Bandem melihat selama ini sangat minim sanggar tari yang mengajarkan Seni Wali (kesenian sakral) kepada anak didik. Akibatnya, ketika ada kegiatan ritual yang membutuhkan penampilan seni sakral, terkadang tidak cukup penari yang tersedia.

"Kami menginginkan agar dalam sanggar tari tidak saja diajarkan Seni Bebali (semi sakral), Balih-Balihan (seni untuk pertunjukan), namun juga Seni Wali. Apalagi, sembilan tarian Bali yang mencakup Seni Wali, Bebali dan Balih-Balihan telah mendapat pengakuan UNESCO," ucapnya.

Sang maestro seni tari itu tidak memungkiri untuk kesenian yang bersifat sakral seperti Tari Sanghyang agak sulit diajarkan karena ada unsur "trance", namun misalnya dari sisi nyanyian yang mengiringi dan gerakan dasarnya masih bisa diajarkan.

"Dalam kurikulum tersebut nantinya akan dimasukkan jenis tarian yang dipelajari anak didik, mulai dari tingkatan yang paling sederhana hingga rumit. Misalnya untuk tahap paling dasar itu diajarkan tari Puspanjali, Rejang Dewa dan tari Baris Tunggal, sedangkan untuk yang tahap purna dengan tingkatan rumit seperti tari Condong dan Kakan-kakan, tari Prabu Keras, hingga tari Arja," ujarnya.

Menurut dia, bahan untuk penyusunan kurikulum itu sudah terkumpul, tinggal merumuskan kembali dengan pimpinan kursus tari sehingga memiliki kajian yang lebih mantap dan bisa dijadikan pegangan.

"Dengan demikian, kami harapkan dari sanggar-sanggar itu bisa lahir seniman yang handal, profesional, untuk mengisi berbagai festival yang ada," kata Bandem.

Senada dengan itu, Ketua Listibya Bali Dr I Nyoman Astita melihat sanggar sejauh ini keberadaannya telah mempunyai peranan yang dominan terhadap pembelajaran seni di Pulau Dewata.

Demikian juga yang belajar kesenian tidak hanya mayoritas anak-anak. Astita mencontohkan, semakin banyak orang tua belajar menabuh maupun menari untuk persiapan pementasan gong kebyar.

"Jadi, untuk menentukan peserta didik di sanggar, tidak bisa semata-mata berpatokan pada usia," katanya.(WDY)

Pewarta: Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017