Jakarta (Antara Bali) - Dua diplomat ASEAN yang terlibat dalam pertemuan
para menteri luar negeri ASEAN di Manila kemarin, menyebut komunike
bersama ASEAN menyangkut Laut China Selatan sebagai kemenangan politik
China karena ASEAN gagal memasukkan pernyataan bahwa pedoman berprilaku (code of conduct) dengan China di Laut China Selatan adalah "mengikat secara hukum".
Ketegangan menyangkut Laut China Selatan sudah lama menjengkelkan ASEAN yang selalu bertindak dalam kerangka konsensus namun hal itu harus diseimbangkan dengan kepentingan pihak-pihak bersengketa di ASEAN sendiri dan dengan negara-negara ASEAN yang condong ke China.
Muncul kritik bahwa China berusaha memecah belah ASEAN dengan taktik tangan besi dan diplomasi buku cek (menekan dengan memakai kartu ekonomi) yang telah berhasil memikat negara-negara kecil ASEAN seperti Kamboja dan Laos untuk memenangkan China.
Filipina, di bawah pemerintahan sebelumnya Benigno Aquino, pernah menjadi salah satu pihak yang paling vokal terhadap China sampai-sampai mengajukan kasus sengketa ini ke mahkamah internasional. Dan mahkamah di bawah PBB itu tahun lalu mengeluarkan putusan bahwa klaim China di Laut China Selatan tidak punya dasar hukum.
Tetapi China, kendati menandatangani Konvensi Hukum Laut PBB, menganggap sepi putusan mahkamah internasional itu.
Kini Filipina di bawah Presiden Rodrigo Duterte, memutuskan untuk melupakan tuntutan itu demi hubungan yang lebih hangat dengan Beijing. Sebagai imbalan dari sikap Duterte ini, miliaran dolar AS investasi dan bantuan China terpompa ke Filipina.
"Sudah jelas bahwa tekanan China kepada masing-masing pemerintahan ASEAN terbayar lunas," kata Bill Hayton, pakar Laut China Selatan dan peneliti pada Program Asia, Chatham House di London, kepada AFP.
Hayton dan analis-analis lainnya menyebut komunike bersama ASEAN itu dikeluarkan 15 tahun setelah dokumen yang sama ditandatangani yang bersisi keharusan pihak-pihak bersengketa untuk memulai negosiasi.
Dokumen 2002 lima belas tahun itu memuat kalimat yang lebih keras kepada China.
China menggunakan waktu 15 tahun itu untuk menguatkan klaimnya, sambil terus mengondisikan ASEAN untuk mengeluarkan pernyataan yang tidak lagi terlalu menentang China, kata para analis.
"Tegasnya China tidak pernah kalah, jika melihat bahasa yang dikeluarkan dari pernyataan-pernyataan forum ASEAN yang terus melunak," kata Ei Sun Oh, peneliti pada S. Rajaratnam School of International Studies di Singapore, kepada AFP.
Akademisi dan analis keamanan Filipina Richard Heydarian malah mengeluarkan kalimat yang lebih keras saat menyimpulkan komunike bersama ASEAN itu, dengan mengambil salah satu istilah dalam bola basket, "Ini sepenuhnya kemenangan slum dunk politik China". (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Ketegangan menyangkut Laut China Selatan sudah lama menjengkelkan ASEAN yang selalu bertindak dalam kerangka konsensus namun hal itu harus diseimbangkan dengan kepentingan pihak-pihak bersengketa di ASEAN sendiri dan dengan negara-negara ASEAN yang condong ke China.
Muncul kritik bahwa China berusaha memecah belah ASEAN dengan taktik tangan besi dan diplomasi buku cek (menekan dengan memakai kartu ekonomi) yang telah berhasil memikat negara-negara kecil ASEAN seperti Kamboja dan Laos untuk memenangkan China.
Filipina, di bawah pemerintahan sebelumnya Benigno Aquino, pernah menjadi salah satu pihak yang paling vokal terhadap China sampai-sampai mengajukan kasus sengketa ini ke mahkamah internasional. Dan mahkamah di bawah PBB itu tahun lalu mengeluarkan putusan bahwa klaim China di Laut China Selatan tidak punya dasar hukum.
Tetapi China, kendati menandatangani Konvensi Hukum Laut PBB, menganggap sepi putusan mahkamah internasional itu.
Kini Filipina di bawah Presiden Rodrigo Duterte, memutuskan untuk melupakan tuntutan itu demi hubungan yang lebih hangat dengan Beijing. Sebagai imbalan dari sikap Duterte ini, miliaran dolar AS investasi dan bantuan China terpompa ke Filipina.
"Sudah jelas bahwa tekanan China kepada masing-masing pemerintahan ASEAN terbayar lunas," kata Bill Hayton, pakar Laut China Selatan dan peneliti pada Program Asia, Chatham House di London, kepada AFP.
Hayton dan analis-analis lainnya menyebut komunike bersama ASEAN itu dikeluarkan 15 tahun setelah dokumen yang sama ditandatangani yang bersisi keharusan pihak-pihak bersengketa untuk memulai negosiasi.
Dokumen 2002 lima belas tahun itu memuat kalimat yang lebih keras kepada China.
China menggunakan waktu 15 tahun itu untuk menguatkan klaimnya, sambil terus mengondisikan ASEAN untuk mengeluarkan pernyataan yang tidak lagi terlalu menentang China, kata para analis.
"Tegasnya China tidak pernah kalah, jika melihat bahasa yang dikeluarkan dari pernyataan-pernyataan forum ASEAN yang terus melunak," kata Ei Sun Oh, peneliti pada S. Rajaratnam School of International Studies di Singapore, kepada AFP.
Akademisi dan analis keamanan Filipina Richard Heydarian malah mengeluarkan kalimat yang lebih keras saat menyimpulkan komunike bersama ASEAN itu, dengan mengambil salah satu istilah dalam bola basket, "Ini sepenuhnya kemenangan slum dunk politik China". (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017