Denpasar (Antara Bali) - Sedari kecil, fotografer senior Bali Ida Bagus Putra Adnyana yang akrab disapa dengan sebutan Gustra, terbiasa melihat kegiatan berkesenian di rumahnya, mulai dari kerawitan hingga seni rupa.

Bali adalah pusat pariwisata sejak lama, sehingga banyak kios seni yang berkembang di Jalan Veteran, Denpasar, yang merupakan lingkungan tempat Gustra tumbuh semasa kecil.

"Banyak seniman tempo dulu yang bermukim di lingkungan Belaluan. Ada Kak Mangku Nyongnyong, penari legendaris yang sempat main filem. Ada Pak Wayan Bertha, maestro kerawitan, lalu ada pelukis I Gusti Deblog, yang juga pengukir di Griya Satriya. Tak ketinggalan, ada pula pelukis dari Jawa, termasuk Budiana Made," ucapnya.

Tidak hanya lingkungan seniman, namun ayahnya yang kebetulan bekerja sebagai pemandu wisata, juga merupakan sosok berpengaruh membuat dirinya sering bertemu turis yang membawa-bawa kamera, benda yang menarik perhatiannya.

Dukungan keluarga yang suka mengajaknya nonton film menjadi titik awal dari dirinya berkenalan dengan dunia visual. Kebetulan saat kecil, ia mendapat hadiah kamera plastik dari sang kakek yang bertugas di Jawa.

Sejak saat itu dia langsung menikmati dunia visual, mulai dari memotret.

"Tempo dulu, kamera merupakan barang mahal, bahkan tidak hanya sebatas itu, karena film dan ongkos cetak juga mahal maka fotografi adalah hobi yang mahal," tutur alumni Fakustas Hukum Udayana yang menggeluti dunia fotografi selepas SMA.

Setelah menjajal aneka lensa yang belum dimiliki, pria kelahiran 1958 itu pun memotret dengan membeli peralatan secara kredit dan menempa diri melalui kursus, atau sekolah fotografi untuk mempercepat peningkatan ketrampilan. Dia pun mulai bergaul dengan para fotografer terkenal.

Kini, Gustra merupakan salah satu fotografer asal Bali yang sering melalang buana untuk berpemeran, dan yang bekesan baginya adalah saat pameran di Frankfurt, Jerman.

"Media di Frankfurt sampai ada yang memuat hampir satu halaman penuh. Pameren di sana melibatkan dua fotografer lainya, antara lain Auw Kok Heng (ayah dari K. Sujana), dan berlangsung selama enam bulan," ungkapnya.

Setahun silam (2016), Gustra yang mewarisi kegemaran ayahnya dalam memotret Bali pada tahun 1930 dengan "negative kaca" juga menggelar pameran di Bentara Budaya Bali dengan menampilkan perkembangan dokumentasi, digital imajing dan pewarnaan foto dengan akrilik.

Pada 2017, ia membuat buku tentang Bali, yang didistribusikan secara global, dengan judul "Bali Ancient Rites in the Digital Age". Ada yang menyebut karyanya itu sebagai "Etno Photography".

"Selain sebagai hobi, fotografi juga bisa bisa menjadi sumber nafkah dan wadah kreativitas dalam dunia visual untuk menemukan 'diri sendiri'," ujar bapak dari tiga anak yang sudah memvisualkan kota Padang (Sumatera Barat), Makassar (Sulawesi Selatan), dan Biak (Papua) itu. (*)

Pewarta: Dewa Sentana

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017