Denpasar (Antara Bali) - Yayasan Bali Peduli mendorong masyarakat dengan seks berisiko (kerap bergonta-ganti pasangan dan tanpa pengaman) untuk melakukan deteksi dini secara sukarela guna mencegah penularan virus HIV.
"Semakin dini melakukan deteksi maka apabila positif, maka penanganan bisa lebih cepat dilakukan," kata Direktur Eksekutif Yayasan Bali Peduli dr Hendry Luis di Denpasar, Kamis.
Dia menjelaskan orang yang positif HIV itu dapat meminum obat ARV yang membunuh virus di dalam tubuh namun harus diminum seumur hidup sehingga mereka dapat melangsungkan hidupnya seperti biasa.
Menurut Hendry, saat ini pelayanan medis di Bali semakin banyak dengan ditambah tenaga medis yang semakin ramah terhadap orang berisiko seks tinggi yang ingin melakukan tes HIV.
Di yayasan yang berdiri di Jalan Banteng Denpasar itu, lanjut dia, menerima pelayanan konseling, obat dan tes gratis yang langsung bisa dilakukan di yayasan tersebut.
Untuk tes sendiri, kata dokter 33 tahun itu terlebih dahulu dilakukan konseling dan memberikan pengetahuan terkait HIV/AIDS sebelum dilakukan tes secara sukarela.
Dokter jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu mengatakan sejak berdiri tahun 2011, di yayasan yang meliputi unit layanan di Bali Peduli Jalan Banteng dan Klinik Anggrek yang bekerja sama dengan Puskesmas di Ubud dan unit sebelumnya di Kuta, sudah menerima sekitar 9.000 orang yang melakukan tes HIV sukarela hingga trimester pertama tahun 2017
"Dari jumlah itu orang yang positif sebanyak 800 orang, yang menjalani obat itu 700 orang dan yang sekarang `on treatment` sebanyak 400 orang," katanya.
Tiap harinya, rata-rata 10 hingga 15 orang mendatangi yayasan yang sekaligus sebagai klinik dan laboratorium itu untuk melakukan konseling atau tes HIV.
Saat ini, lanjut dia, penularan HIV rentan terjadi bagi orang dewasa yang sudah bisa berhubungan seks, tidak seperti dahulu yang kebanyakan melalui darah seperti konsumsi narkoba menggunakan jarum suntik bergantian, hubungan seksual tidak aman yakni melalui cairan sperma dan vagina serta melalui air susu ibu.
Hendry meyakini masih banyak orang dengan risiko seks tinggi enggan melakukan tes secara sukarela dan orang dengan HIV di Bali masih banyak belum terdata yang membutuhkan dukungan medis dan psikososial yang konsisten.
Rasa enggan tersebut salah satunya karena sebagian orang merasa takut dan malu untuk melakukan pemeriksaan karena adanya stigma dalam diri dan stigma dari masyarakat yang masih memandang sebelah mata kasus HIV.
"Kalau dulu ada stigma termasuk dari tenaga kesehatan sendiri sehingga orang itu jadi malu. Untuk itu Bali Peduli didirikan untuk membatasi hambatan dalam pencegahan dan pengobatan HIV, " ucapnya termasuk menekan hambatan biaya karena pengobatan dan tes tidak dikenakan biaya.
Sebagai salah satu upaya deteksi dini HIV, pihaknya melakukan penyuluhan kepada pelajar dengan mendatangi sekolah dan "banjar" (dusun) di Bali untuk mengedukasi terkait virus HIV/AIDS.
Selain itu pihaknya juga meluncurkan film pendek yang mengedukasi masyarakat khususnya dengan seks berisiko untuk melakukan deteksi dini melalui tes HIV.
Pemutaran perdana film berdurasi sekitar 17 menit garapan sutradara Andri Tambunan itu rencananya akan dilakukan di salah satu tempat hiburan malam di Seminyak, Kabupaten Badung pada Kamis (20/7).
"Film itu mengajak untuk tes dan pengobatan dini HIV yang diharapkan juga dapat mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV, " ucapnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Semakin dini melakukan deteksi maka apabila positif, maka penanganan bisa lebih cepat dilakukan," kata Direktur Eksekutif Yayasan Bali Peduli dr Hendry Luis di Denpasar, Kamis.
Dia menjelaskan orang yang positif HIV itu dapat meminum obat ARV yang membunuh virus di dalam tubuh namun harus diminum seumur hidup sehingga mereka dapat melangsungkan hidupnya seperti biasa.
Menurut Hendry, saat ini pelayanan medis di Bali semakin banyak dengan ditambah tenaga medis yang semakin ramah terhadap orang berisiko seks tinggi yang ingin melakukan tes HIV.
Di yayasan yang berdiri di Jalan Banteng Denpasar itu, lanjut dia, menerima pelayanan konseling, obat dan tes gratis yang langsung bisa dilakukan di yayasan tersebut.
Untuk tes sendiri, kata dokter 33 tahun itu terlebih dahulu dilakukan konseling dan memberikan pengetahuan terkait HIV/AIDS sebelum dilakukan tes secara sukarela.
Dokter jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu mengatakan sejak berdiri tahun 2011, di yayasan yang meliputi unit layanan di Bali Peduli Jalan Banteng dan Klinik Anggrek yang bekerja sama dengan Puskesmas di Ubud dan unit sebelumnya di Kuta, sudah menerima sekitar 9.000 orang yang melakukan tes HIV sukarela hingga trimester pertama tahun 2017
"Dari jumlah itu orang yang positif sebanyak 800 orang, yang menjalani obat itu 700 orang dan yang sekarang `on treatment` sebanyak 400 orang," katanya.
Tiap harinya, rata-rata 10 hingga 15 orang mendatangi yayasan yang sekaligus sebagai klinik dan laboratorium itu untuk melakukan konseling atau tes HIV.
Saat ini, lanjut dia, penularan HIV rentan terjadi bagi orang dewasa yang sudah bisa berhubungan seks, tidak seperti dahulu yang kebanyakan melalui darah seperti konsumsi narkoba menggunakan jarum suntik bergantian, hubungan seksual tidak aman yakni melalui cairan sperma dan vagina serta melalui air susu ibu.
Hendry meyakini masih banyak orang dengan risiko seks tinggi enggan melakukan tes secara sukarela dan orang dengan HIV di Bali masih banyak belum terdata yang membutuhkan dukungan medis dan psikososial yang konsisten.
Rasa enggan tersebut salah satunya karena sebagian orang merasa takut dan malu untuk melakukan pemeriksaan karena adanya stigma dalam diri dan stigma dari masyarakat yang masih memandang sebelah mata kasus HIV.
"Kalau dulu ada stigma termasuk dari tenaga kesehatan sendiri sehingga orang itu jadi malu. Untuk itu Bali Peduli didirikan untuk membatasi hambatan dalam pencegahan dan pengobatan HIV, " ucapnya termasuk menekan hambatan biaya karena pengobatan dan tes tidak dikenakan biaya.
Sebagai salah satu upaya deteksi dini HIV, pihaknya melakukan penyuluhan kepada pelajar dengan mendatangi sekolah dan "banjar" (dusun) di Bali untuk mengedukasi terkait virus HIV/AIDS.
Selain itu pihaknya juga meluncurkan film pendek yang mengedukasi masyarakat khususnya dengan seks berisiko untuk melakukan deteksi dini melalui tes HIV.
Pemutaran perdana film berdurasi sekitar 17 menit garapan sutradara Andri Tambunan itu rencananya akan dilakukan di salah satu tempat hiburan malam di Seminyak, Kabupaten Badung pada Kamis (20/7).
"Film itu mengajak untuk tes dan pengobatan dini HIV yang diharapkan juga dapat mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV, " ucapnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017