Indonesia sebagai Negara Kesatuan merupakan realitas yang tak lagi bisa dikompromikan dan diperdebatkan, karena bentuk Negara ini telah final melalui kesepakatan antara elemen bangsa yang terdiri dari berbagai representasi kesukuan, agama dan golongan.
Upaya meruntuhkan Negara kesatuan, sama halnya dengan menghianati para pendiri bangsa yang telah bertaruh nyawa dan darah untuk merebut kemerdekaan. Jangankan menggantinya dengan bentuk Negara lain, fakta sejarahpun menunjukkan "pemberontakan" bahwa konstitusi Negara pasca kemerdekaan tahun 1949-1950 melalui bentuk federal pun terbukti tak cocok tumbuh di Nusantara. Jadi, saat ini dan saat yang akan datang, hanya ada satu seruan pertahanan: Negara Kesatuan Republik Indonesia. Titik
Dewasa ini, suhu politik bangsa Indonesia benar-benar terkuras oleh ulah segelintir kelompok masyarakat yang menginginkan perubahan bentuk Negara. Adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang di negara kelahirannya Palestina menjadi organisasi terlarang, ingin melakukan "perlawanan hukum" sebagai akibat sikap pemerintah yang dengan tegas membubarkan organisasi trans-nasional ini.
Alasan mendasarnya, karena organisasi politik ini menyerukan satu bentuk Negara Khilafah agar diterapkan di Indonesia. Alasan teologispun menjadi sandaran organisasi politik itu bahwa ikhtiar ini (khilafah) dalam rangka menegakkan agama Tuhan. Maka, penolakan padanya langsung dicapnya sebagai penindas dan penghalang agama dakwah Islam. Padahal, penegakan syariah dan kepentingan khilafah (politis) merupakan dua hal yang berbeda.
Antara Dakwah dan "Bughot"
Dalam tradisi Islam, konsep Khilafah merupakan salah satu diskursus yang terdapat dalam kajian fiqh. Karena termasuk dalam bidang fiqh, maka ide tentang khilafah merupakan ranah pemikiran (ijtihadi), bukan sesuatu yang nilai perjuangannya sama dengan mempertahankan keyakinan/akidah.
Karena konsep kepemimpinan (imamah) yang menjadi aspek terpenting dalam khilafah bersegmentasi sebagaimana hukum islam yang ijtihadi, yaitu sangat kental pertimbangan temporal dan kondisional, maka apapun bentuk negaranya, republik, kekaisaran, kerajaan atau federal, asalkan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, persamaan di mata hukum, kesamaan derajat dan kebebasan melaksanakan ibadah semua agama, akan merupakan hal yang dilegitimasi oleh Islam sebagaimana kaidah yang menyatakan bahwa ukuran seorang pemimpin Negara/masyarakat adalah jika membawa kebaikan publik (maslahah ammah).
Kekhalifahan yang selama ini diusung oleh HTI dan beberapa organisasi trans-nasional yang lain, berkeinginan untuk menyatukan umat Islam seluruh dalam naungan satu kepemimpinan (imam). Tentu saja, cita-cita ini sangat delutif dan bersifat inkonstitusional jika dihadapkan pada Negara. Ikhtiar mendirikan khilafah bukan masuk dalam ranah dakwah, karena telah merangsek pada gerakan politik, sehingga mendirikan khilafah di tengah-tengah Negara yang telah berdaulat, merupakan satu bentuk upaya pemberontakan (bughot) atau makar pada pemerintahan yang sah.
Dalam diskursus kajian hukum Islam, upaya "bughot" (makar) merupakan hal yang sangat dikecam, baik secara syar`i maupun konstitusi, sehingga bukan hal yang aneh jika keberadaan Hizbut Tahrir ditolak oleh sekitar 20 negara di dunia, termasuk Negara dimana ia didirikan, Palestina.
Untuk itu, respons kalangan aktivis HTI yang mengecam pemerintah menghalangi dakwah Islam merupakan anggapan yang keliru, bahkan salah sasaran. Karena, sikap pemerintah yang membubarkan HTI merupakan sikap politik untuk menghadang gerakan politik yang mengancam eksistensi kedaulatan sebuah Negara. Masak, ada "negara dalam negara" hanya dibiarkan saja?!.
Dalam media virtual resminya, sudah sangat jelas bahwa HTI menyatakan bahwa organisasinya bukan organisasi dakwah, organisasi sosial atau lembaga pendidikan, namun HTI secara tegas menyatakan diri sebagai organisasi politik. Realitas ini sangat masuk akal karena jamak dalam kajian, demonstrasi dan selebaran-selebaran yang dikeluarkan secara resmi oleh organisasi ini, menuduh pemerintah sebagai "penguasa setan" (thogut),kafir, serta pengharaman demokrasi. Walaupun sangat lucu, mengharamkan demokrasi, namun hidup di Negara demokratis. Dan, ketika dilarang, malah mengeluarkan umpatan-umpatan dengan tuduhan pemerintah bersikap zalim dan arogan. Sebuah organisasi yang genit sekaligus lucu.
Perppu sebagai Payung Kedaulatan
Akhirnya, pemerintah melalui Menko Polhukam Wiranto menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017. Perppu ini sengata diterbitkan untuk mengganti Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang organsasi Kemasyarakatan.
Dalam UU sebelumnya, pemerintah tidak bisa menindak secara tegas sehingga penerbitan perppu merupakan upaya eksekutif untuk menindak seklaligus menertibkan ormas-ormas yang alergi terhadap NKRI dan Pancasila sebagai pilar kebangsaan di Indonesia.
Sejatinya, Perppu ini digunakan sebagai upaya pemerintah untuk melakukan pemberdayaan dan pembinaan kepada ormas agar kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan tidak kontra produktif terhadap Pancasila dan UUD 1945. Karena, UU Nomor 17 Tahun 2013 yang sebelumnya berlaku tidak memadai untuk mencegah ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Dalam Perppu yang baru diterbitkan itu, negara mengatur tentang sanksi bagi ormas anti-Pancasila yang terdiri dari tiga tahapan teknis. Tepatnya, pasal 61 Perppu Ormas mengatur sanksi administratif dengan tahapan peringatan tertulis, penghentian kegiatan dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Di satu sisi, pelarangan memang bukan pilihan yang efektif dan harus berani menelan pil pahit dibenci warga Negara sendiri, namun pada sisi yang lain, penerbitan peraturan ini juga agar Indonesia tidak menjadi Negara yang sakit akibat dari penggulingan konstitusi yang tak sesuai dengan kebhinnekaan (kemajemukan/pluralitas) bangsa.
Walhasil, ikhtiar menelan "pil pahit" menjadi sebuah pilihan pemerintah agar bangsa Indonesia tetap menjadi Negara yang sehat dan terhindar dari penyakit disintegrasi dan konflik horizontal sebagaimana yang terjadi di Negara-negara Timur Tengah. Jadi, Perppu itu justru merawat persatuan dan kesatuan Indonesia dalam bingkai Negara kesatuan. (*)
-------------
*) Penulis adalah Ketua GP Ansor Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, dan alumni aktivis PW IPNU Jawa Timur.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Upaya meruntuhkan Negara kesatuan, sama halnya dengan menghianati para pendiri bangsa yang telah bertaruh nyawa dan darah untuk merebut kemerdekaan. Jangankan menggantinya dengan bentuk Negara lain, fakta sejarahpun menunjukkan "pemberontakan" bahwa konstitusi Negara pasca kemerdekaan tahun 1949-1950 melalui bentuk federal pun terbukti tak cocok tumbuh di Nusantara. Jadi, saat ini dan saat yang akan datang, hanya ada satu seruan pertahanan: Negara Kesatuan Republik Indonesia. Titik
Dewasa ini, suhu politik bangsa Indonesia benar-benar terkuras oleh ulah segelintir kelompok masyarakat yang menginginkan perubahan bentuk Negara. Adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang di negara kelahirannya Palestina menjadi organisasi terlarang, ingin melakukan "perlawanan hukum" sebagai akibat sikap pemerintah yang dengan tegas membubarkan organisasi trans-nasional ini.
Alasan mendasarnya, karena organisasi politik ini menyerukan satu bentuk Negara Khilafah agar diterapkan di Indonesia. Alasan teologispun menjadi sandaran organisasi politik itu bahwa ikhtiar ini (khilafah) dalam rangka menegakkan agama Tuhan. Maka, penolakan padanya langsung dicapnya sebagai penindas dan penghalang agama dakwah Islam. Padahal, penegakan syariah dan kepentingan khilafah (politis) merupakan dua hal yang berbeda.
Antara Dakwah dan "Bughot"
Dalam tradisi Islam, konsep Khilafah merupakan salah satu diskursus yang terdapat dalam kajian fiqh. Karena termasuk dalam bidang fiqh, maka ide tentang khilafah merupakan ranah pemikiran (ijtihadi), bukan sesuatu yang nilai perjuangannya sama dengan mempertahankan keyakinan/akidah.
Karena konsep kepemimpinan (imamah) yang menjadi aspek terpenting dalam khilafah bersegmentasi sebagaimana hukum islam yang ijtihadi, yaitu sangat kental pertimbangan temporal dan kondisional, maka apapun bentuk negaranya, republik, kekaisaran, kerajaan atau federal, asalkan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, persamaan di mata hukum, kesamaan derajat dan kebebasan melaksanakan ibadah semua agama, akan merupakan hal yang dilegitimasi oleh Islam sebagaimana kaidah yang menyatakan bahwa ukuran seorang pemimpin Negara/masyarakat adalah jika membawa kebaikan publik (maslahah ammah).
Kekhalifahan yang selama ini diusung oleh HTI dan beberapa organisasi trans-nasional yang lain, berkeinginan untuk menyatukan umat Islam seluruh dalam naungan satu kepemimpinan (imam). Tentu saja, cita-cita ini sangat delutif dan bersifat inkonstitusional jika dihadapkan pada Negara. Ikhtiar mendirikan khilafah bukan masuk dalam ranah dakwah, karena telah merangsek pada gerakan politik, sehingga mendirikan khilafah di tengah-tengah Negara yang telah berdaulat, merupakan satu bentuk upaya pemberontakan (bughot) atau makar pada pemerintahan yang sah.
Dalam diskursus kajian hukum Islam, upaya "bughot" (makar) merupakan hal yang sangat dikecam, baik secara syar`i maupun konstitusi, sehingga bukan hal yang aneh jika keberadaan Hizbut Tahrir ditolak oleh sekitar 20 negara di dunia, termasuk Negara dimana ia didirikan, Palestina.
Untuk itu, respons kalangan aktivis HTI yang mengecam pemerintah menghalangi dakwah Islam merupakan anggapan yang keliru, bahkan salah sasaran. Karena, sikap pemerintah yang membubarkan HTI merupakan sikap politik untuk menghadang gerakan politik yang mengancam eksistensi kedaulatan sebuah Negara. Masak, ada "negara dalam negara" hanya dibiarkan saja?!.
Dalam media virtual resminya, sudah sangat jelas bahwa HTI menyatakan bahwa organisasinya bukan organisasi dakwah, organisasi sosial atau lembaga pendidikan, namun HTI secara tegas menyatakan diri sebagai organisasi politik. Realitas ini sangat masuk akal karena jamak dalam kajian, demonstrasi dan selebaran-selebaran yang dikeluarkan secara resmi oleh organisasi ini, menuduh pemerintah sebagai "penguasa setan" (thogut),kafir, serta pengharaman demokrasi. Walaupun sangat lucu, mengharamkan demokrasi, namun hidup di Negara demokratis. Dan, ketika dilarang, malah mengeluarkan umpatan-umpatan dengan tuduhan pemerintah bersikap zalim dan arogan. Sebuah organisasi yang genit sekaligus lucu.
Perppu sebagai Payung Kedaulatan
Akhirnya, pemerintah melalui Menko Polhukam Wiranto menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017. Perppu ini sengata diterbitkan untuk mengganti Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang organsasi Kemasyarakatan.
Dalam UU sebelumnya, pemerintah tidak bisa menindak secara tegas sehingga penerbitan perppu merupakan upaya eksekutif untuk menindak seklaligus menertibkan ormas-ormas yang alergi terhadap NKRI dan Pancasila sebagai pilar kebangsaan di Indonesia.
Sejatinya, Perppu ini digunakan sebagai upaya pemerintah untuk melakukan pemberdayaan dan pembinaan kepada ormas agar kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan tidak kontra produktif terhadap Pancasila dan UUD 1945. Karena, UU Nomor 17 Tahun 2013 yang sebelumnya berlaku tidak memadai untuk mencegah ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Dalam Perppu yang baru diterbitkan itu, negara mengatur tentang sanksi bagi ormas anti-Pancasila yang terdiri dari tiga tahapan teknis. Tepatnya, pasal 61 Perppu Ormas mengatur sanksi administratif dengan tahapan peringatan tertulis, penghentian kegiatan dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Di satu sisi, pelarangan memang bukan pilihan yang efektif dan harus berani menelan pil pahit dibenci warga Negara sendiri, namun pada sisi yang lain, penerbitan peraturan ini juga agar Indonesia tidak menjadi Negara yang sakit akibat dari penggulingan konstitusi yang tak sesuai dengan kebhinnekaan (kemajemukan/pluralitas) bangsa.
Walhasil, ikhtiar menelan "pil pahit" menjadi sebuah pilihan pemerintah agar bangsa Indonesia tetap menjadi Negara yang sehat dan terhindar dari penyakit disintegrasi dan konflik horizontal sebagaimana yang terjadi di Negara-negara Timur Tengah. Jadi, Perppu itu justru merawat persatuan dan kesatuan Indonesia dalam bingkai Negara kesatuan. (*)
-------------
*) Penulis adalah Ketua GP Ansor Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, dan alumni aktivis PW IPNU Jawa Timur.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017