Denpasar (Antara Bali) - Kesenian Legong yang ditarikan oleh "pragina muani" atau seniman laki-laki dari Sanggar Seni Klasik Ardhanareswari, Sesetan, Kota Denpasar, menghibur penonton Pesta Kesenian Bali ke-39 saat tampil di Taman Budaya Denpasar, Kamis.
"Dalam pementasan ini, kami mencoba menampilkan Tari Legong memakai pakem-pakem Palegongan terdahulu dengan tanpa mengurangi durasi tarian dan dengan kelengkapan babak demi babak," kata Ketua Sanggar Seni Klasik Ardhanareswari, I Gusti Made Agus Wira Aditama, di sela-sela pementasan tersebut.
Untuk menggali kesenian Palegongan klasik secara lengkap, pihaknya juga mencari informasi dari berbagai sumber, pemerhati dan maestro legong seperti Ni Ketut Arini dan Anak Agung Susilawati.
"Kami berusaha menampilkan yang terbaik dan memperkenalkan kesenian ini agar dapat kembali populer seperti zamannya terdahulu," ucap Wira.
Dalam pementasan yang berlangsung di Kalangan (panggung) Angsoka, Taman Budaya, Denpasar itu, ada empat jenis Legong yang ditarikan oleh para seniman yang kesemuanya laki-laki yakni Legong Kuntir, Legong Pelayon, Legong Candra Kanta, dan Legong Lasem
Mereka terlihat begitu luwes membawakan tarian yang belakangan lebih sering dilakoni oleh penari perempuan, meskipun legong pada awal terciptanya memang ditarikan oleh kaum adam.
Secara garis besar, Legong Kuntir menceritakan pertempuran dua bersaudara tokoh Subali dan Sugriwa semasa kecil dalam epos cerita Ramayana, untuk memperebutkan jimat dari ayah mereka berupa cupu manik asta gina yang dibuang ke sebuah danau.
Sementara itu, Legong Pelayon merupakan legong klasik yang menceritakan tentang kehidupan masa kecil Putri Rangkesari yang mempersembahkan tarian kepada raja setelah lelah seharian mengurus kerajaan.
Lain halnya dengan Legong Candra Kanta yang menceritakan tentang asal muasal terjadinya gerhana bulan. Dikisahkan terjadi kejar-kejaran antara Dewi Ratih dengan Kala Rau di Kayangan.
Sesaat Dewi Ratih dapat tertangkap, namun terlepas kembali melalui tenggorokan Kala Rau dan terjadi seperti itu berulang kali. Inilah yang dipercaya sebagai terjadinya gerhana bulan.
Kalau Rau mengejar Dewi Ratih karena ingin membalaskan dendam, karena niat sebelumnya untuk bisa mendapatkan tirta amerta agar hidup abadi, tercium oleh Dewi Ratih dan dilaporkan pada Dewa Wisnu.
Yang terakhir, Legong Lasem mengisahkan tentang Prabu Lasem yang terbuai akan kecantikan Rangkesari, namun Rangkesari sudah memiliki kekasih dan menolak lamaran Lasem.
Penonton yang memadati Kalangan Angsoka terlihat tidak beranjak hingga pementasan legong muani itu selesai. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Dalam pementasan ini, kami mencoba menampilkan Tari Legong memakai pakem-pakem Palegongan terdahulu dengan tanpa mengurangi durasi tarian dan dengan kelengkapan babak demi babak," kata Ketua Sanggar Seni Klasik Ardhanareswari, I Gusti Made Agus Wira Aditama, di sela-sela pementasan tersebut.
Untuk menggali kesenian Palegongan klasik secara lengkap, pihaknya juga mencari informasi dari berbagai sumber, pemerhati dan maestro legong seperti Ni Ketut Arini dan Anak Agung Susilawati.
"Kami berusaha menampilkan yang terbaik dan memperkenalkan kesenian ini agar dapat kembali populer seperti zamannya terdahulu," ucap Wira.
Dalam pementasan yang berlangsung di Kalangan (panggung) Angsoka, Taman Budaya, Denpasar itu, ada empat jenis Legong yang ditarikan oleh para seniman yang kesemuanya laki-laki yakni Legong Kuntir, Legong Pelayon, Legong Candra Kanta, dan Legong Lasem
Mereka terlihat begitu luwes membawakan tarian yang belakangan lebih sering dilakoni oleh penari perempuan, meskipun legong pada awal terciptanya memang ditarikan oleh kaum adam.
Secara garis besar, Legong Kuntir menceritakan pertempuran dua bersaudara tokoh Subali dan Sugriwa semasa kecil dalam epos cerita Ramayana, untuk memperebutkan jimat dari ayah mereka berupa cupu manik asta gina yang dibuang ke sebuah danau.
Sementara itu, Legong Pelayon merupakan legong klasik yang menceritakan tentang kehidupan masa kecil Putri Rangkesari yang mempersembahkan tarian kepada raja setelah lelah seharian mengurus kerajaan.
Lain halnya dengan Legong Candra Kanta yang menceritakan tentang asal muasal terjadinya gerhana bulan. Dikisahkan terjadi kejar-kejaran antara Dewi Ratih dengan Kala Rau di Kayangan.
Sesaat Dewi Ratih dapat tertangkap, namun terlepas kembali melalui tenggorokan Kala Rau dan terjadi seperti itu berulang kali. Inilah yang dipercaya sebagai terjadinya gerhana bulan.
Kalau Rau mengejar Dewi Ratih karena ingin membalaskan dendam, karena niat sebelumnya untuk bisa mendapatkan tirta amerta agar hidup abadi, tercium oleh Dewi Ratih dan dilaporkan pada Dewa Wisnu.
Yang terakhir, Legong Lasem mengisahkan tentang Prabu Lasem yang terbuai akan kecantikan Rangkesari, namun Rangkesari sudah memiliki kekasih dan menolak lamaran Lasem.
Penonton yang memadati Kalangan Angsoka terlihat tidak beranjak hingga pementasan legong muani itu selesai. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017