Semarang (Antara Bali) - Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi,
Mohamad Nasir, mengatakan, para rektor harus bertanggung jawab jika
radikalisme berkembang di kampus yang mereka pimpin.
Usai deklarasi antinarkoba dan radikalisme di Universitas Negeri Semarang, Semarang, Sabtu, Nasir akan memberikan sanksi tegas pada rektor tentang radikalisme di kampus itu. "Nanti kami akan lihat, apakah radikalisme itu karena pembiaran atau ketidaktahuan," katanya.
Rektor, kata dia, harus mampu memantau, mengendalikan, dan mendelegasikan tugasnya sehingga radikalisme tidak terjadi di kampus.
Deklarasi antinarkoba dan antiradikalisme itu, kata dia, karena pengaruh internasional dan globalisasi. "Oleh karena itu, kami bersama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme membahas mengenai radikalisme di kampus karena ini berkaitan dengan masa depan bangsa," kata dia.
Kementerian yang dia pimpin juga telah menyusun kurikulum mencegah radikalisme dengan memasukkan muatan mengenai bela negara sejak 2016.
Dalam kesempatan itu, dia juga menghimbau agar rumah ibadah tidak hanya dikuasai kelompok tertentu.
Kepala BNPT, Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius, mengatakan, wadah pendidikan merupakan tempat persemaian generasi berikutnya, oleh karena itu harus steril dari radikalisme dan narkoba.
"Radikalisme itu membutuhkan waktu yang panjang, oleh karenanya kampus harus mampu mencermati jika terjadi perubahan pada mahasiswa maupun dosen, misalnya membentuk kelompok eksklusif, karena itu merupakan tanda-tanda menjadi radikal," kata Alius.
Suhardi mengatakan cukup banyak akademisi yang ikut ke dalam ISIS, kondisi itu harus diperhatikan secara serius oleh pimpinan perguruan tinggi. "Pimpinan perguruan tinggi harus mampu mendeteksi dan mencegahnya. Bagaiamana nanti formatnya, nanti dipikirkan bersama," kata dia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Usai deklarasi antinarkoba dan radikalisme di Universitas Negeri Semarang, Semarang, Sabtu, Nasir akan memberikan sanksi tegas pada rektor tentang radikalisme di kampus itu. "Nanti kami akan lihat, apakah radikalisme itu karena pembiaran atau ketidaktahuan," katanya.
Rektor, kata dia, harus mampu memantau, mengendalikan, dan mendelegasikan tugasnya sehingga radikalisme tidak terjadi di kampus.
Deklarasi antinarkoba dan antiradikalisme itu, kata dia, karena pengaruh internasional dan globalisasi. "Oleh karena itu, kami bersama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme membahas mengenai radikalisme di kampus karena ini berkaitan dengan masa depan bangsa," kata dia.
Kementerian yang dia pimpin juga telah menyusun kurikulum mencegah radikalisme dengan memasukkan muatan mengenai bela negara sejak 2016.
Dalam kesempatan itu, dia juga menghimbau agar rumah ibadah tidak hanya dikuasai kelompok tertentu.
Kepala BNPT, Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius, mengatakan, wadah pendidikan merupakan tempat persemaian generasi berikutnya, oleh karena itu harus steril dari radikalisme dan narkoba.
"Radikalisme itu membutuhkan waktu yang panjang, oleh karenanya kampus harus mampu mencermati jika terjadi perubahan pada mahasiswa maupun dosen, misalnya membentuk kelompok eksklusif, karena itu merupakan tanda-tanda menjadi radikal," kata Alius.
Suhardi mengatakan cukup banyak akademisi yang ikut ke dalam ISIS, kondisi itu harus diperhatikan secara serius oleh pimpinan perguruan tinggi. "Pimpinan perguruan tinggi harus mampu mendeteksi dan mencegahnya. Bagaiamana nanti formatnya, nanti dipikirkan bersama," kata dia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017