Sejak Oktober 2016, kabar bohong atau "hoax" memang menggelontor bak tsunami dan hal itu bukan tanpa perlawanan, namun perlawanan yang ada selama ini serasa kurang bertaji dalam membendung "tsunami hoax" itu.

Betapa tidak, perlawanan terhadap "hoax" dalam bentuk "statement" tampaknya tidak efektif, karena "tsunami hoax" memang tidak dilawan hanya dengan kata "tolak" semata.

Nah, Hari Kebebasan Pers Internasional pada 3 Mei agaknya menandai genderang perlawanan yang lebih efektif terhadap "hoax", sebab "hoax" bukan mewakili kebebasan pers, tapi justru "kerusakan" pers (plus, "kerusakan" NKRI).

Kini, perlawanan efektif untuk "hoax" itu datang dari dua pihak sekaligus, yakni kalangan pers sendiri (internal) dan juga dari Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kemenkominfo (eksternal).

Kalangan pers melakukan perlawanan dengan mendeklarasikan asosiasi kontra-hoax, yakni Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) pada 17 Maret 2017, atau Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) pada 18 April 2017.

Asosiasi para pegiat media daring yang melibatkan sejumlah tokoh pers kawakan itu bak gayung bersambut dengan langkah Kemenkominfo yang menggelar serangkaian "Editors Forum" di berbagai daerah.

Ya, media sosial sebagai `pilar demokrasi` yang memanfaatkan jejaring internet selama 24 jam itu kini sudah mencapai 132 juta orang masyarakat pemakai atau hampir separuh penduduk Indonesia.

"Masalahnya, media sosial telah menjadikan dunia tidak sehat, karena selain menyebarkan informasi yang bermanfaat, media sosial juga memaparkan hal-hal negatif seperti ujaran kebencian," ujar Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Rosarita Niken Widiastuti.

Dalam "Editors Forum" bertajuk "Untuk Publik Demi Republik" di Kuta, Bali (21/4), yang dihadiri pimpinan media massa dan pengelola pers mahasiswa itu, ia mengatakan media sosial dapat mengubah perilaku seseorang menjadi mudah emosi dan cepat marah, hingga akhirnya mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Pandangan itu dibenarkan seorang pimpinan media massa yang menyebut medsos melahirkan lima "ilmu", yakni ilmu copas (copy paste), ilmu share (langsung sebarkan), ilmu caci maki, ilmu sok (narsis akademik/fisik), dan ilmu idola-isasi (mengangkat/menjatuhkan citra tanpa perasaan).

Mungkin hanya pesan berisi kelakar, curhat, motivasi, nasihat, atau mengunggah berita dari media massa arus utama saja yang masih bisa ditoleransi dari medsos, sedangkan mayoritas pesan dalam media sosial itu justru palsu untuk berbagai kepentingan, seperti (persaingan) bisnis, (rivalitas) politik, dan kriminalitas/hukum (penipuan).

Permainan/tipuan medsos untuk persaingan bisnis itu, misalnya, posting dari KH Dr Muchyidin Junaidi Lc MA (MUI Pusat/Kerja Sama Internasional) tentang delapan barang/makanan yang mengandung babi yakni masako (+), royko (-), sasa (+), ajinomoto (+), indomie goreng (+), saori saos tiram (-), tepung bumbu sasa (-), dan tepung bumbu sajiku (-).

Informasi itu benar tapi terjadi pada 2003 yang sudah ditindaklanjuti beberapa perusahaan dengan mengganti katalisator untuk produknya.

Bayangkan, informasi pada 2003 tapi "di-share" pada 2017 yang diterima sebagai informasi terbaru. Fatal bukan?!. Belum lagi, informasi yang menggunakan sentimen SARA dengan foto-foto tempelan dari masa tertentu yang bisa-bisa akan menyulut disintegrasi.

Perlu dicatat, banyak yang tahu bahwa cara paling mudah untuk "mempermainkan" masyarakat Indonesia adalah SARA, karena itu isu komunis, isu penghinaan Al Quran atau Nabi Muhammad, isu etnis China atau Arab, dan isu-isu SARA lainnya paling "empuk" untuk memprovokasi Bangsa Indonesia, terlepas provokasi itu direkayasa untuk kepentingan (persaingan) bisnis, (rivalitas) politik, atau (target) kriminalitas/hukum.

Yang penting, masyarakat Indonesia merupakan "bangsa kagetan" untuk isu-isu SARA yang sangat mungkin dibuat-buat di medsos, misalnya, "share" dari FB Munarman Sholihin yang berbunyi "Pembangunan Kantor FPI di Bali akan segera dilaksanakan, Aamiin Ya Allah, semoga lancar", padahal hal itu tidak ada. Tidak hanya itu, banyak ulama yang dicatut namanya untuk menyalahkan ulama lain, padahal pernyataan itu tidak pernah ada sama sekali.

Tipuan medsos untuk kriminalitas, misalnya, "share" dari Haifa di +6285692210459 bahwa UI Quran Center sedang mencari siswa kelas 3 SMA yang hafidz untuk masuk UI yang bisa direkomendasikan rektor lewat jalur khusus MTQ Talent. Informasi itu langsung dibantah Humas/KIP UI bahwa BC UI itu tidak benar, karena UI tidak pernah bekerja sama dengan pihak manapun dalam penerimaan mahasiswa baru.

Ya, di zaman "hoax", orang sudah tidak berpikir dosa. Jangankan dosa, pakai logika saja tidak. Yang ada dalam otaknya hanya benci dan cinta yang memang tidak ada rumusnya, karena itu literasi medsos menjadi "kata kunci" yang sangat penting untuk saat ini.

Verifikator "Hoax"

Selama 2016, Kemenkominfo telah menutup 800.000 akun, karena menyebarkan informasi negatif, seperti SARA, pornografi, judi dan akun lainnya yang tidak memiliki rasa tanggung jawab, bahkan hanya untuk kepentingan ekonomi tapi berdampak pada disintegrasi.

Oleh karena itu, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo Niken Widiastuti mengaku senang menerima masukan insan pers dalam "Editors Forum" untuk melakukan penataan dan menumbuhkan kesadaran pengguna media sosial melalui literasi medsos agar memiliki rasa tanggung jawab terhadap kebenaran informasi yang disebarluaskan.

"Kami senang menerima masukan para pemimpin media dalam `Editors Forum` untuk merumuskan literasi media sosial kepada masyarakat agar berita `hoax` (bohong) tidak menimbulkan disintegrasi," ujarnya dalam forum yang juga menampilkan tiga pengamat media massa itu.

Bersamaan dengan literasi medsos yang masih terus digagas melalui berbagai forum oleh Kemenkominfo yang bersinergi dengan berbagai pihak, agaknya kalangan praktisi media siber juga memiliki keprihatinan yang sama untuk berkecimpung pula dalam membendung "tsunami hoax".

Tidak tanggung-tanggung, ada puluhan pemimpin dari 26 media digital atau media daring terkemuka di Indonesia mendeklarasikan berdirinya Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) di Gedung Dewan Pers, Jakarta (18/4), yang dihadiri Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara.

Tak hanya media daring di Ibu Kota, banyak juga media daring di daerah yang ingin bergabung.

"Ada lebih dari 170 media digital di seluruh Indonesia yang sudah mendaftar dan jumlahnya terus bertambah, namun mereka yang tergabung dalam AMSI harus memiliki badan hukum yang jelas," kata Ketua Panitia Deklarasi AMSI Ismoko Widjaja.

Kini, anggota AMSI sudah mencapai 143 media digital dan dibentuk dalam wadah Dewan Presidium, yang diketuai oleh CEO Kapanlagi Network/Pemred Merdeka.com, Wenseslaus Manggut, dengan anggota sebanyak 24 pemimpin redaksi atau wakil yang ditunjuk media daring.

Agaknya, para praktisi media daring menyadari pentingnya sertifikasi Dewan Pers, uji kompetensi jurnalis, dan komitmen mereka pada konten akurat, berimbang, dapat dipertanggungjawabkan, tidak berniat buruk, dan sesuai UU Pers, Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Media Siber, sehingga mereka bersepakat membentuk AMSI.

Terbentuknya AMSI mendapat sambutan hangat dari Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo.

"Saya berharap AMSI akan memberi kontribusi untuk negara dalam penanganan informasi palsu atau `hoax`. AMSI dapat menjadi bagian verifikator media-media siber anggotanya," katanya.

Namun, Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) sudah lahir sebulan terlebih dahulu dibandingkan dengan AMSI. Komunitas yang digagas pegiat PWI itu, terlahir pada 17 Maret 2017. Bahkan, SMSI sudah terbentuk di sejumlah daerah, seperti SMSI Jatim terbentuk pada Hari Kartini (21/4).

"Kami mendapatkan mandat dari PWI untuk mengakomodasi dan memfasilitasi pengelola dan pemilik media siber agar punya payung organisasi. Alhamdulilah, SMSI Jatim sudah terbentuk dan segera kami laporkan ke pusat," kata Ketua PWI Jatim Akhmad Munir.

Pembentukan SMSI Jatim itu, dihadiri sebanyak 101 pengelola dan pemilik media siber.

"Media siber harus dikelola seperti mengelola bisnis pada umumnya, sehingga bisa menghasilnya keuntungan yang menjadikan karyawannya sejahtera," katanya.

Namun, kata Munir yang juga Kepala Biro LKBN Antara Jatim itu, media siber juga harus menjalankan tugas jurnalistik sesuai dengan kode etik.

"Dengan SMSI akan ada perubahan lebih baik terhadap anggota, termasuk dalam bidang jurnalistik," katanya.

Selain Jatim, SMSI secara nasional juga sudah terbentuk di 28 provinsi. SMSI didukung sejumlah tokoh nonpers, seperti budayawan Jaya Suprana, politikus Yusril Ihza Mahendra dan Ryaas Rasyid, mantan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli, serta tokoh pers Dahlan Iskan, dan Chaerul Tanjung yang menjadi Pembina SMSI.

Ya, perlawanan terhadap "hoax" dalam bentuk organisasi/asosiasi itu akan menjadi "pagar internal" melalui verifikasi keanggotaan maupun verifikasi konten media.

Pada sisi lain, perlawanan dalam bentuk gerakan literasi media sosial untuk masyarakat yang digagas oleh Kemenkominfo akan menjadi "pagar ekternal" untuk mencerahkan publik melalui "Editors Forum" dan forum lainnya yang nantinya akan dirumuskan.

Serangkaian perlawanan terhadap "hoax" yang bukan hanya perlawanan "statement" itu, akan dapat mengembalikan ekosistem media digital menjadi lebih positif untuk dikonsumsi publik, sehingga publik akan kembali memercayai media digital, tentu untuk kejayaan republik tercinta.

----------
*) Penulis adalah wartawan Perum LKBN Antara dan Pimred LKBN Antara Biro Bali. (WDY)

Pewarta: Oleh: Edy M Yakub *)

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017