Denpasar (Antara Bali) - Bentara Budaya Bali (BBB), lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia di Ketewel, Kabupaten Gianyar, menggelar diskusi merujuk sebuah buku bertajuk "Menitip Mayat di Bali" karya Gde Aryantha Soethama.

"Dialog yang terangkum dalam agenda Pustaka Bentara itu digelar Minggu (9/4) malam," kata Penata Acara tersebut Juwitta K. Lasut di Denpasar, Jumat.

Ia mengatakan, "Menitip Mayat di Bali" merupakan buku kumpulan esai terkini Gde Aryantha Soethama, yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas (2016). Buku yang berisi 69 esai itu merupakan sebentuk "solilokui" (suara hati) orang Bali.

Bali terbilang sebagai pulau yang beruntung, dikunjungi turis dari 180 bangsa di dunia. Memang, sedari masa kolonial, sewaktu pariwisata mulai memasuki Bali, terdapat sekian pengamat yang menyuarakan keprihatinan dan mencemaskan masa depan kebudayaan Bali. "Bagaimana kalau Bali tiada lagi?".

"Penitipan mayat ini menjadi pilihan terbaik untuk menghindarkan orang Bali dari kemelut adat yang bisa saja muncul akibat kepanikan menghadapi persoalan jenazah yang dilarang dikubur," tulis Gde Aryantha Soethama dalam bukunya.

Tampil sebagai pembicara Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt, seorang budayawan yang juga pemerhati sastra dan pariwisata. Ia akan berbagi kajian terkait transformasi sosial kultural yang dialami Bali selama ini.

Ketua Program Studi Magister (S2) Kajian Pariwisata, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana itu kerap diundang sebagai narasumber seminar internasional di berbagai negeri.

Ia mengkritisi pandangan tentang Bali, baik suara-suara yang pesimistis, skeptis, dan bahkan juga yang optimistis.

Nyoman Darma Putra baru-baru ini juga menerbitkan buku, "Wisata Kuliner Atribut Baru Destinasi Ubud" (Jagat Press, 2016) bersama Putu Diah Sastri Pitanatri dan "Mengemban Tutur Leluhur - Biografi Tjokorda Gde Putra Sukawati" (Jagat Press, 2016).

Sebagai esais, Aryantha Soethama telah menerbitkan sejumlah buku berisi pemikiran kritisnya tentang Bali. Antara lain Bali Tikam Bali (2004), Bolak Balik Bali (Arti Foundation, 2006), ditetapkan sebagai buku nonfiksi terbaik oleh Pusat Bahasa (2006), Dari Bule Jadi Bali (2010), serta Jangan Mati di Bali (2011).

Selain itu, ia juga pernah menjadi wartawan, koresponden, dan pemimpin redaksi. Laporan jurnalistiknya tentang desa terbaik dibukukan dalam Sang Juara, Sembilan Desa Terpilih di Bali (1995).

Esai-esai dalam buku "Menitip Mayat di Bali" memiliki gagasan unik, diungkapkan melalui bahasa yang jernih, menyentuh, serta ringan namun mengesankan.

Pembahasan buku ini juga merefleksikan berbagai kejadian atau peristiwa sehari-hari yang mengemuka dalam masyarakat pulau ini mulai dari kemelut adat perihal jenazah yang dilarang dikubur.

Demikian pula ragam kejadian sebagai akibat keberadaan pariwisata, baik berdampak positif maupun negatif. Dengan kata lain, yang terdepankan adalah cerminan situasi paradoksal Bali yang global sekaligus yang lokal.

"Sesungguhnya Bali adalah sekumpulan besar pernik-pernik pelik. Kian hari pernik-pernik pelik itu semakin bertambah dan membuncah akibat pulau ini kian terbuka. Banyak tantangan muncul, dan masyarakat Bali selalu yakin sanggup menghadapinya karena pandangan mereka tentang karma yang selalu berpihak pada kebajikan," jelas Gde Aryantha Soethama.

Gde Aryantha Soethama mulai belajar menulis ketika remaja, dengan mencipta puisi. Ia kemudian menulis cerita pendek, laporan perjalanan, dan karya jurnalistik, untuk surat kabar di pulau kelahirannya, Bali, serta sejumlah majalah dan koran Jakarta.

Kumpulan cerpennya Mandi Api (Penerbit Buku Kompas, 2006) meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award (2006), diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi "Ordeal by Fire" (2009) oleh Vern Cork. Ia menetap di Denpasar, menjadi penulis lepas, sembari mengurus percetakan dan penerbitan. (WDY)

Pewarta: Pewarta: I Ketut Sutika

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017